Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gaya hidup minim gula membutuhkan komitmen dan konsistensi agar tak menyerah di tengah jalan.
Pergaulan turut mempengaruhi kekuatan seseorang dalam menjalani pola hidup minim gula.
Banyak orang tak menyadari telah terkena diabetes karena tak mengalami gejala.
POLA hidup sehat dengan membatasi konsumsi gula di tengah perkembangan industri makanan dan minuman manis bukan hal mudah. Seseorang butuh komitmen dan konsistensi untuk menghindari produk makanan dan minuman kekinian yang bercita rasa manis. Pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya di balik kebiasaan konsumsi makanan atau minuman berbahan gula, salah satunya bisa memicu diabetes, menjadi fondasi gaya hidup berbeda tersebut.
Sherlina Euodia, 28 tahun, telah menjalaninya selama enam tahun terakhir. Pencinta kopi ini telah meninggalkan kegemarannya pada varian kopi susu gula aren yang sedang tren di kalangan anak muda. Hampir setiap hari dia hanya memesan black coffee tanpa gula atau pemanis.
“Saya anak kopi. Hampir setiap hari minum kopi untuk bekerja. Tapi sejak 2017 sudah tanpa gula. Malah jadi lebih terasa aroma dan rasa kopinya,” kata pekerja swasta asal Bekasi, Jawa Barat, ini kepada Tempo, Jumat, 11 November lalu.
Sherlina berkisah, dia sangat menyukai minuman manis sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu saban jam istirahat atau pulang dia memesan minuman yang diolah dari kemasan sachet. Seiring dengan pertambahan usia, dia pun mulai keranjingan minuman kemasan dan soft drink yang kerap berada di etalase minimarket.
Kebiasaan itu berhenti saat dia mulai memasuki semester akhir kuliah. Saat itu dia sempat menonton sebuah video yang menunjukkan efek minuman soda yang bisa melepaskan bekas kotoran atau kerak pada lantai atau benda. Meski tak menjelaskan secara detail, dia juga sempat membaca sebuah buku psikologi yang menjelaskan hubungan berlawanan antara kecemasan dan konsumsi gula.
“Dulu banyak yang bilang kalau stres makan cokelat atau es krim. Ternyata hal itu sebenarnya justru berbahaya,” ucap Sherlina.
Keputusannya pun makin bulat ketika menyaksikan seniornya di kampus mendapat vonis diabetes. Dia melihat bagaimana penyakit akibat tingginya kadar gula dalam darah tersebut merusak tubuh dan kehidupan sehari-hari. Temannya tersebut pun harus menjalani hidup yang ketat hanya untuk memperpanjang usia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roro Widi Astuti/Dok Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini Sherlina mengatur semua asupan makanan dan minuman ke dalam tubuhnya. Selain menghindari gula dan pemanis, dia memulai diet plant based atau pola konsumsi yang berfokus pada sumber nabati. Hal ini membuat dia rutin membawa bekal ke tempat kerja. Dia pun memilih cemilan vegan atau rendah gula untuk mengobati rasa lapar di tengah jam kerja.
Sherlina menuturkan, dia tetap mengizinkan tubuhnya mencoba atau memakan santapan manis. Khususnya saat liburan atau berkumpul dengan teman pada akhir pekan. Meski demikian, dia tetap mengatur jumlah atau porsi makanan dan minuman tersebut.
“Karena circle (pertemanan) saya itu sudah dekat. Jadi mereka tahu saya membatasi diri dari gula. Jadi kadang pesan minuman atau cake tapi untuk bareng atau share,” tuturnya.
Sherlina mengatakan sudah tak terpengaruh saat melihat iklan santapan manis. Dia juga tak terganggu saat teman-temannya memesan makanan atau minuman manis saat bertemu. Menurut dia, kerabat dan temannya justru mendukung dan membantu komitmennya menjalani pola makan minim gula.
•••
BERDASARKAN data International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menduduki posisi kelima sebagai negara dengan kasus penyakit diabetes tertinggi di dunia pada 2021. Menurut data tersebut, sebanyak 19,5 juta warga Indonesia berusia 20-79 tahun tercatat sebagai penyandang diabetes.
Padahal angka kasus penyakit akibat tingginya kadar gula dalam darah tersebut di Indonesia tercatat 7,29 juta pada 2011. Berarti dalam kurun 10 tahun peningkatan kasusnya mencapai 166,9 persen. Kondisi ini diprediksi akan makin parah, bisa mencapai 28,6 juta orang pada 2045.
Berdasarkan data yang sama, Kementerian Kesehatan pun menemukan peningkatan prevalensi penyakit diabetes dari 1,5 per mil pada 2013 menjadi 2 per mil pada 2018. Prevalensi juga meningkat pada potensi gagal ginjal selama periode yang sama, yaitu 2 menjadi 3,8 per mil. Selain itu, serangan stroke meningkat dari 7 menjadi 10,9 per mil.
Peningkatan ini selaras dengan tren konsumsi gula masyarakat Indonesia dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata orang Indonesia menikmati 1.123 gram gula selama periode 2021. Berarti, setiap orang diperkirakan bisa mengkonsumsi gula sebanyak 160 gram.
Kementerian Kesehatan sendiri sebenarnya sudah mengeluarkan peraturan yang menganjurkan batas konsumsi gula hanya 10 persen dari total kebutuhan energi, yaitu 200 kilokalori per hari. Angka tersebut setara dengan 50 gram gula atau empat sendok makan.
Pada sebagian orang, kebiasaan konsumsi gula dalam jumlah tinggi dan sering memang tak langsung memunculkan gejala gangguan metabolik dari tingginya gula darah. Biasanya, para penderita berawal dari kondisi kelebihan berat badan atau obesitas.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi obesitas juga menunjukkan peningkatan grafik. Setidaknya satu dari tiga orang dewasa dan satu dari lima anak berusia 5-12 tahun memiliki bobot yang melebihi indeks massa tubuh.
Diabetes pun kemudian tak lagi menjadi penyakit kelompok lanjut usia yang kemampuan metabolisme tubuhnya menurun. Pada saat ini, kelompok penyandang diabetes terbesar berusia 40-60 tahun. Namun mulai banyak juga kasus-kasus pada kelompok usia 20 tahun. Bahkan ada anak dan balita yang juga tercatat menjadi penderitanya, meski hanya diabetes tipe 1—penyakit autoimun yang menyebabkan pankreas hanya sedikit atau tidak bisa memproduksi insulin.
•••
DI tengah kian tingginya angka penyandang diabetes, sejumlah orang mulai sadar untuk mengurangi konsumsi makanan atau minuman bergula, seperti Sherlina Euodia sebelumnya. Hal yang sama juga telah berhasil dijalani Roro Widi Astuti, 33 tahun, pengacara yang sempat menggandrungi minuman teh dalam kemasan yang populer di Indonesia. Dia selalu membeli minuman kemasan saat berbelanja di minimarket. Dia pun kerap memesan minuman manis dalam botol tersebut saat makan di sejumlah kantin atau restoran.
Bahkan, Roro menambahkan, dia sudah terbiasa mengkonsumsi minuman manis sejak kecil. Saat itu kakek dan neneknya memiliki kebiasaan membeli dan menyediakan minuman kemasan serta minuman bersoda di dalam rumah. Para cucu mereka kemudian bebas meminum semua sajian tersebut selama berkunjung.
Kebiasaan itu makin menjadi-jadi ketika Roro bekerja sebagai pengacara. Pada banyak kesempatan, dia dan timnya harus bekerja lembur hingga subuh. Saat itu mereka kerap pergi ke restoran siap saji 24 jam untuk memesan makanan dan es krim.
Roro mulai menghentikan konsumsi makanan dan minuman manis secara berlebihan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan pada 2017. Saat itu dokter menemukan adanya gejala hormone imbalance pada tubuh Roro. Kondisi ini berpotensi memicu diabetes karena beberapa anggota keluarga dia pun memiliki riwayat masalah gula darah.
“Saya kemudian mengundurkan diri dari pekerjaan. Mulai memperbaiki pola hidup dan memulai clean eating,” tutur Roro.
Roro berkisah betapa beratnya melarang diri sendiri untuk membeli dan mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan. Dia mengaku butuh waktu hingga tiga bulan untuk bisa mengendalikan diri dari godaan minuman kemasan berpemanis. Setelah melalui tahap tersebut, dia mulai menyaring ketat semua makanan. Salah satunya dengan memeriksa detail setiap bahan atau ingredient pada kemasan barang.
“Jadi lebih sadar saja untuk mengendalikan apa saja yang masuk ke mulut. Kalau ada barang bahannya mulai aneh-aneh, lebih baik tak usah dibeli,” katanya.
Saat ini Roro terbiasa menghitung jumlah nutrisi yang masuk ke tubuh. Dia juga mempelajari sejumlah informasi tentang pengolahan bahan makanan. Termasuk potensi tingginya gula pada buah yang diolah menjadi jus. Selain itu, sedapat mungkin dia membeli bahan pangan organik meski cukup sulit didapat dan lebih mahal.
“Saya juga menyeimbangkannya dengan pola tidur yang cukup dan olahraga. Saya biasa melakukan yoga, lari, dan paddling,” tuturnya.
Karmila Munadi, 35 tahun, juga telah menjalani pola hidup minim gula sejak 12 tahun lalu. Berbeda dengan Roro dan Sherlina, dia memang harus menjaga asupan glukosa ke dalam tubuh karena telah menjadi penyandang diabetes tipe 2—kondisi tubuh tak mampu memproduksi atau menolak insulin.
Karmila berkisah manakala diabetes akhirnya mengubah banyak hal dalam kehidupannya. Dia mengatakan memang memiliki potensi tinggi karena ayahnya adalah penyandang diabetes. Hal ini membuatnya rutin mengecek gula darah menggunakan glukometer sejak usia remaja. Hasilnya, kadar glukosa dalam darah berada pada ambang batas normal. Secara fisik, dia pun tak mengalami perubahan berat badan dan sering buang air kecil.
Stand minuman manis dalam kemasan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Juni 2020/Tempo/Tony Hartawan
Dia justru mendapat hasil berbeda ketika menjalani tes kesehatan sebagai syarat rekrutmen di sebuah perusahaan. Saat itu dokter menunjukkan kadar gula darahnya sudah mencapai 250 miligram per liter dari batas atas normal, yaitu 140 miligram per liter. Dia pun mengaku tak merasakan gejala umum diabetes seperti sering buang air kecil dan turun berat badan.
“Merasa down banget. Karena mengatur pola hidup diabetes itu seumur hidup. Diatur polanya supaya tetap hidup,” kata Karmila.
Karmila kemudian mulai menata pola konsumsi melalui konsultasi dengan dokter gizi. Dokter memintanya mengatur semua asupan makanan dengan memperhatikan jenis, jumlah, dan jarak makan. Dia menjelaskan, dokter tak melarang konsumsi makanan dan minuman manis. Tapi porsi dan durasi makannya harus lebih sedikit dari kondisi normal.
Dia pun mengaku sudah cukup bisa menyesuaikan diri dengan diabetes. Dia masih bisa menjalani hobinya untuk bertualang menyantap berbagai makanan. Hal ini dilakukan dengan mengajak teman sehingga satu porsi makanan bisa dibagi dengan beberapa orang. Dia pun terbuka tentang kondisi penyakitnya kepada orang sekitar sehingga paham terhadap pola konsumsinya.
“Lingkungan sih cukup mendukung. Tapi memang yang paling susah mengontrol diri sendiri,” ucap Karmila.
Banyak fase dalam rutinitasnya membuat dia merasa lelah dan bosan dengan pembatasan asupan makanan. Dia mengatakan masih terus berjuang keras untuk konsisten menjaga pola makan atau minum glukosa dengan mulai menghindari olahan berbahan gula, mengganti nasi dengan beras porang, dan lebih banyak masak makanan sendiri.
Kini Karmila justru makin harus menjaga diri setelah didiagnosis mengalami systemic lupus erythematosus atau lupus. Penyakit autoimun tersebut membuatnya menjadi penyandang diabetes tipe 1 yang harus rutin menyuntikkan insulin ke tubuh.
“Sebenarnya setiap orang memang punya kendali untuk memilih apa yang masuk ke dalam mulutnya,” tutur Karmila.
•••
PENDIRI Persatuan Diabetes Indonesia Muda, Anita Sabidi, mengatakan jumlah penyandang diabetes tipe 1 dan tipe 2 makin muda. Selain menderita autoimun, jumlah penyandang yang berawal dari pola hidup konsumsi makanan atau minuman bergula juga meningkat. Hal ini juga yang membuatnya giat membatasi konsumsi gula pada keluarga dan orang terdekat.
Anita sendiri adalah penyandang diabetes tipe 1 sejak 25 tahun lalu. Perempuan 38 tahun ini pun sudah memulai pola konsumsi minim gula sejak usia remaja. Dia harus menghitung setiap nutrisi yang masuk ke tubuh sehingga kadar gula darah tetap pada ambang normal. Setiap hari dia harus makan dalam porsi terukur sebanyak lima kali. Semua makanan pun hanya sayuran dan protein hewani.
Dia juga sudah melewati berbagai situasi kritis, terutama saat mengalami gagal ginjal selepas melahirkan. Dia menerangkan, penyandang diabetes tak hanya penuh pantangan dalam makanan. Hamil dan melahirkan juga kerap menjadi fase antara hidup dan mati bagi mereka. Anita pun menunjukkan alat insulin pump berwarna hitam dengan tali karet yang mengarah pada sisi perutnya.
“Diabetes itu pada intinya bagaimana membuat pankreas tak bekerja terlalu berat,” tutur Anita.
Anita pun kemudian menerapkan diet pada anak-anaknya yang juga memiliki potensi diabetes. Berdasarkan penelitian, penyakit ini kerap diwariskan secara genetik. Orang yang memiliki orang tua atau keluarga penyandang diabetes memiliki risiko lebih besar menjadi penderita.
Hal ini juga yang membuat Anita terus memberi edukasi mengenai tingginya potensi diabetes pada anak muda. Dia menilai generasi muda saat ini memiliki akses yang mudah dan murah pada minuman manis. Beberapa dari mereka menjalani gaya hidup tersebut karena merasa sehat atau tanpa gejala.
“Biasanya setelah dicek kadar gula darahnya tinggi dan sudah terjadi komplikasi. Ini yang bahaya,” ujar Anita.
FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo