KANDUNGAN tidak selalu berisi jabang bayi. Yang mendekam dalam rahim bisa jadi kantung-kantung berisi air bening, bertangkai dan berumpun yang mirip buah anggur. Inilah yang disebut mola hidatidosa, alias hamil anggur. Di negara maju rata-rata satu yang hamil anggur dari dua ribu kehamilan. Di negara berkembang insidensi hamil itu sangat tinggi, yaitu 1 pada 300 kehamilan. "Kita di Indonesia belum punya angka nasional," kata Prof. Djamhoer Martaadsoebrata, Sabtu dua pekan lampau, dalam seminar "Cara Hidup Sehat Dalam Mengurangi Risiko Penyakit Kanker" di Bandung. Menurut Djamhoer, yang ada hanya angka penderita di rumah sakit, dan itu sangat tinggi. Di rumah sakit provinsi di seluruh Indonesia, perbandingan hamil anggur adalah 1:55 sampa 1:145. Di RS Hasan Sadiki Bandung, dalam sepuluh tahun terakhir ini tiap tahunnya dirawat rata-rata 95 pasien hamil anggur. Angka tadi mencolok dibandingkan dengan angka di negar lain. Di negara-negara di Eropa setahun rata-rata ditemukan 8 kasus. Di Indonesia, satu rumah sakit saja ada 95 kasus. Angka tinggi ini merisaukan guru besar obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung itu. "Karena dampak hamil anggur bisa sangat parah bila tidak diobati," ujarnya. Gejala hamil anggur sama dengan hamil normal. Bedanya, pada hamil anggur kadar hormon kehamilan lebih tinggi dari keha- milan normal. Kelebihan hormon ini membuat perkembangan hamil anggur menjadi cepat. Usia kehamilan 2 bulan, misalnya, akan kelihatan seperti hamil 5 bulan. Walau rahasia hamil anggur sudah terungkap sejak abad VI, hingga sekarang penyebabnya masih belum bisa dipastikan. Na- mun, dari data statistik bisa diketahui, kelompok wanita yang sering terkena penyakit ini terjadi pada wanita di bawah usia 20 tahun dan di atas 35 tahun. Juga pada mereka yang mempunyai anak lebih dari tiga. Bahkan kelainan ini lazim terjadi dalam keluarga sosio ekonomi rendah. Penyakit ini berkaitan dengan masalah sosio budaya, perilaku, dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan hamil di bawah usia 20 tahun pada masyarakat kita. Atau getol mempunyai anak banyak karena sex preference, budaya jenis kelamin favorit, sehingga sang ibu terus melahirkan sampai dia mendapat anak laki-laki. Masalah sosio ekonomi bukan soal tak mampu. Ini lebih banyak berkaitan karena kurang informasi, misalnya soal gizi. "Gizi yang buruk berpengaruh terhadap terjadinya hamil anggur," ujar Djamhoer. Sedangkan angka kematian karena hamil ini juga masih tinggi di Indonesia. Bahaya utama hamil anggur adalah perdarahan mendadak dan banyak. Makin besar rahim, makin banyak darah yang keluar, dan makin besar kemungkinan terjadi kematian. Penyebab kematian, karena penderitanya tidak memeriksanya secara teratur. Menurut Djamhoer, bila pendarahan sedikit-sedikit, mereka tenang-tenang saja. Perdarahan terjadi bukan karena pecahnya gelembung air dalam rahim, tapi karena gesekan gelembung itu dengan dinding rahim. Gelembung itu sendiri berisi cairan putih bening, seperti air ketuban. Selain karena perdarahan, penderita hamil anggur dapat pula meninggal karena komplikasi, seperti keracunan kehamilan, payah jantung, dan kanker. Terapi umum mengatasi hamil anggur ini harus dikuret, seperti mengatasi keguguran. Kuret yang dilakukan terhadap penderita hamil anggur, kata Djamhoer, tak perlu dikerok seperti orang yang keguguran, tapi cukup dengan "vakum kuret" -- penyedotan sisa-sisa gelembung dalam rahim. Setelah dikuret, penderita dianjurkan agar tidak hamil dulu selama setahun. Setelah itu, dia baik kembali. Seandainya mereka hamil lagi, kehamilannya itu normal. Namun, sebanyak 10-15% penderitanya bisa pula terkena kanker. Ini disebut khoriokarsinoma, yang galib terjadi dalam waktu enam bulan sampai satu tahun setelah hamil anggur. Kanker ini tumbuh dalam rahim, bahkan dapat menyebar ke paru-paru, hati, dan otak. Kalau empat minggu usai kuretase rahim belum bersih, harus dicurigai adanya kanker ganas. Bila kanker sudah menyebar ke paru-paru, gejalanya seperti penderita tuberkulosa lanjut: sesak napas, sakit dada, batuk darah. Dan bila telah menyerang saraf pusat atau otak, penderitanya akan lumpuh. Perkembangan kanker khorio-karsinoma cepat sekali. "Dalam waktu 3 sampai 4 bulan saja dapat mencapai stadium puncak yang dapat mengakibatkan kematian," kata Djamhoer. Namun, walau ganas sifatnya, kanker ini dapat diobati tuntas, bila dilakukan pada stadium dini. Pasien pasca-khoriokarsinoma bahkan masih bisa mempunyai anak. Pengobatan khoriokarsinoma terutama dilakukan dengan obat antikanker. Operasi dan penyinaran hanya tambahan saja. Bila keganasan ditemukan pada stadium dini, pengobatan cukup dengan satu jenis obat atau sitostatika. Dalam keadaan dini, menurut Djamhoer, keberhasilan dapat mencapai 100%. Kalau keadaan sudah lanjut, diperlukan pengobatan kombinasi dengan tindakan operasi dan penyinaran. Toh hasilnya sering tak begitu menggembirakan. Di Indonesia, obat sitostatika untuk khoriokarsinoma sudah beredar. Harganya memang masih mahal. Untuk sekali pengobatan bisa Rp 100 ribu. Padahal, pengobatannya tak cukup sekali saja, minimal harus tiga kali. Ini sangat memberatkan penderita yang kebanyakan dari kalangan ekonomi lemah. Sering penderita tidak tertolong karena tak mampu membeli obat antikanker ini. Karena faktor sosio ekonomi itu sering dipilih jalan operasi. "Jiwanya memang tertolong, tapi si pasien tidak bisa mendapat keturunan lagi," kata Djamhoer. Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini