DIBAYANGI boikot besar-besaran, Konperensi AIDS Internasional VI di San Francisco, Amerika Serikat, dibuka Rabu pekan lalu. Sekitar 100 delegasi, termasuk dari Prancis dan Palang Merah Internasional, menolak hadir dalam konperensi setahun sekali ini. Protes dimaksud ditujukan pada peraturan khusus keimigrasian AS, yang menangkal masuk orang asing yang terinfeksi virus HIV, penyebab AIDS. INS, badan keimigrasian AS, berhak penuh untuk melakukan tes darah di perbatasan negara tersebut, selain boleh mendeportasikan pendatang yang dicurigai membawa virus HIV. Sebenarnya, Presiden George Bush telah mengeluarkan per- aturan visa khusus untuk 10 hari. Penderita AIDS dan pembawa virus HIV boleh masuk ke AS menghadiri konperensi tadi. Na- mun, masih saja muncul diskriminasi terhadap korban AIDS di berbagai perbatasan AS. Sikap tersebut mengundang demonstrasi besar. Konperensi sela- ma lima hari di Moscone Convention Center itu berlangsung te- gang. Polisi anti-huru-hara menempatkan barikade dan pasukan berkuda untuk melawan sekitar 15.000 demonstran -- terdiri dari korban AIDS, ilmuwan, wartawan, aktivis dan pekerja sosial. Di depan gedung konperensi, demonstran membagikan pamflet. Demo mendapat simpati peserta konperensi. Bahkan pejabat WHO, organisasi Kesehatan Sedunia, menggunakan pita merah di lengan sebagai tanda simpatisan. Dr. Michael Merson, Direktur Program Global Melawan AIDS dari WHO, menyatakan protes secara resmi di atas mimbar. "Kebijaksanaan yang diskriminatif itu bukan cara sebenarnya mencegah penyebaran AIDS," katanya. "Dari semua negara anggota WHO, hanya AS yang menjalankan kebijaksanaan seperti ini." Komisi AIDS Nasional AS secara resmi bahkan menyatakan tidak setuju pada sikap pemerintahnya. "Tidak ada satu pun alasan medis yang membenarkan diskriminasi pada mereka yang terinfeksi HIV," kata Dr. Ms. June Osborn. "Peraturan itu hanya berlaku bagi penderita yang punya indikasi tuberculosis." Osborn, atas nama komisi yang dipimpinnya, secara terbuka mengumumkan apologi. Sebagai warga negara Amerika, negara yang dikenal sangat menjunjung demokrasi, ia sangat kecewa dan malu. "Bagaimana mungkin peraturan yang tidak masuk akal dan tidak punya pertimbangan medis itu bisa lahir," ujarnya. Diskriminasi terhadap para penderita AIDS dan pembawa virus HIV adalah masalah kesehatan sosial yang sudah dikaji sejak dulu. Inilah diskriminasi jenis baru yang lahir pada masyarakat modern. Malah, perlakuan itu tak kalah keji dengan diskriminasi lain di masa lalu. Sikap yang didasari ketakutan berlebihan dan kebencian pada kaum homoseks (kelompok risiko tinggi terkena AIDS) itu bisa mempengaruhi program penanggulangan AIDS. Tentu saja korban AIDS dibuat tertutup dan menolak bekerja sama. Lebih berbahaya lagi bila mereka, karena dendam, secara sengaja menularkan HIV kepada siapa saja melalui hubungan seks. WHO, dalam program globalnya, menyatakan sementara ini AIDS hanya bisa ditanggulangi dengan kerja sama. Karena metode terapi dan vaksin penangkalnya belum ditemukan, tak sebuah pun program epidemiologi bisa ditempuh. Pencegahan penularan, misalnya, memerlukan kerelaan dan kemauan bekerja sama dari pembawa virus HIV. Malah, belum ada cara untuk memaksa para pembawa virus ini memeriksakan dirinya. Juga sangat sulit mencegah mereka menyebarkan virus. Kesan krisis akibat munculnya AIDS atau sindroma runtuhnya daya tahan tubuh -- semakin sulit diabaikan. Konperensi tahunan yang diselenggarakan enam tahun terakhir ini, sebuah indikator adanya krisis. Konperensi ini tidak ada bandingnya dalam sejarah ilmu kesehatan. Pertemuan tahun ini, di San Francisco, dihadiri 12.000 ahli dari 80 negara. Mereka membahas sekitar 1.000 paper dan presentasi yang, semuanya itu, membicarakan satu sindroma. Krisis juga tercermin pada angka statistik penderita yang terus-menerus menyajikan kejutan baru. Data WHO menunjukkan sudah 8 juta orang di dunia terinfeksi virus HIV. Sekitar 700.000 sudah menderita AIDS, dan 100.000 di antaranya tewas. Angka-angka ini diduga cuma separuh dari angka yang sebenar- nya. Banyak penderita dan pembawa virus enggan melapor, khu- susnya di negara-negara yang fasilitas kesehatannya sangat minim. Angka terakhir yang paling mengejutkan adalah melonjaknya persentase kenaikan penderita di kalangan anak-anak yang baru lahir. Peningkatan jumlah penderita pada usia bayi mencapai 38%. Ini kenaikan tertinggi di antara semua kelompok resiko setahun terakhir ini. Kenaikan jumlah penderita di kalangan homoseks, yang dianggap punya risiko paling tinggi, setahun terakhir hanya 11%. Sementara itu, belum ditemukan metode terapi dan obat yang bisa diandalkan mencegah peningkatan jumlah penderita itu. Dari 71 jenis percobaan yang dibahas dalam pertemuan San Fransisco, hanya beberapa percobaan yang dianggap menunjuk- kan kemajuan. Di antaranya Alpha Interferon, Ribavirin dan kombinasi AZT, serta CD-4. AZT dan CD-4 dianggap yang paling maju. Namun, menurut para ahli, obat ini belum terkategori sebagai penyelamat. AZT yang dipasarkan dengan nama Retrovir ini hanya mampu membuat penderita bertahan beberapa tahun. Di sisi lain, obat ini punya dampak samping yang sangat merusak. "Semua penelitian mencari obat AIDS cuma berhasil di tingkat laboratorium. Secara praktis, belum memberi harapan," kata Luc Montagnier. Ilmuwan dari Prancis ini penemu virus HIV. Dan AIDS yang pada tahun 2000 diperkirakan akan melumpuhkan 10 juta orang di dunia, masih bakal merajalela dengan bebas. Kita belum mampu melawannya. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini