TUDUHAN subversi akhirnya menjadi seperti komputer kompatibel. Kejahatan apa pun -- bukan cuma politik -- bisa dihubungkan dengan tuduhan subversi. Setelah lewat satu dasawarsa, para hakim kini kembali tampak "ringan tangan". Gampang sekali menggunakan pasal subversi untuk kejahatan nonpolitik. Yang bisa dijaring dengan tuduhan subversi bukan cuma kejahatan penyelundupan, yang dianggap akan mengganggu kestabilan ekonomi. UU Anti subversi (PNPS 11/1963) juga digunakan untuk judi buntut, pemalsuan pestisida, dan lain-lain. Korban tuduhan subversi pertama adalah Oei Ten Ming alias Miming, 36 tahun. Ia diadili di Pengadilan Yogyakarta karena menjadi bandar judi buntut, mendompleng undian resmi SDSB. Majelis hakim agung yang diketuai Roeskamdi belum lama ini mengukuhkan vonis subversi dari pengadilan bawahannya terhadap Miming. Berdasarkan itu, Miming tetap harus menjalani hukuman 4 tahun 6 bulan penjara. Menurut Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana, Adi Andojo Soetjipto, sikap keras itu sudah menjadi yurisprudensi tetap dari MA. "Pengertian politik itu tidak harus politik obyektif atau klasik seperti makar atau spionase. Tapi juga politik subyektif, yang menurut situasi dan kondisi bisa dianggap sebagai delik politik," kata Adi Andojo. Memang, Adi Andojo mengakui UU ampuh tersebut tak bisa diterapkan sembarangan. Artinya, tetap untuk kasus pidana yang berlatar belakang politik. Cuma, itu tadi, istilah politik tak harus terbatas pada politik praktis. Tapi bisa pula mencakup berbagai kebijaksanaan negara, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik. Pendapat itu bagaikan mengulang sejarah 10 tahun lalu. Ketika itu, sekitar 1978, hakim-hakim sependapat dengan Jaksa Agung Ali Said. Yakni menghukum para penyelundup hasil "operasi 902" dengan UU Antisubversi. Waktu itu pula, vonis-vonis subversi itu kemudian mengundang kritik tajam dari para ahli hukum. Sebagian dari mereka, di antaranya bekas Ketua MA dan Menteri Kehakiman, Prof. Oemar Seno Adji. UU itu dianggap hanya bisa diterapkan untuk kasus-kasus berlatar belakang politik. Akibat kritik tersebut, sebagian besar penyelundup dibebaskan MA. Dan tak terdengar lagi adanya kasus berdelik ekonomi diajukan dengan UU Antisubversi. Tapi, dalam suasana begitu, pada 1984, tiba-tiba muncul berita bahwa MA meng- eluarkan vonis kasasi, yang membenarkan tuduhan subversi atas penyelundup tekstil Mohanlal Kanchand. Angin segar itulah rupanya yang kemudian dimanfaatkan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Sukarton pun kembali menggali senjata UU Antisubversi, untuk berbagai kasus penyelundupan. Bahkan belakangan, jurus serupa juga diterapkannya untuk kasus judi buntut dan pemalsuan pestisida. Reaksi keras pun bermunculan lagi dari para ahli hukum. Dekan FH Undip Semarang, Dr. Muladi, misalnya. Ia menganggap para bandar judi buntut itu lebih tepat dijaring dengan pasal judi dalam KUHP atau UU Perjudian Tahun 1974. Praktisi hukum yang lain menilai, pemanfaatan UU Antisubversi dengan ancaman hukuman mati itu bagaikan "menembak nyamuk dengan meriam". Ternyata, MA sependapat dengan jurus Sukarton itu. Dengan keputusan MA tertanggal 19 Juni l990 itu, Miming juga boleh dibilang memecahkan rekor vonis subversi judi buntut tertinggi kendati masih di bawah 5 tahun penjara. Sebelumnya, pelaku judi buntut di Semarang, Nyonya Tjio Giok Nio dan dua rekannya, juga diadili dengan tuduhan subversi, cuma diganjar 2 tahun 6 bulan sampai 3 tahun penjara. Sementara itu, A Yung di Medan kena 2 tahun penjara. Sampai pekan lalu, salah seorang pembela Miming, Aria Gunawan, mengaku belum mengetahui vonis MA itu. Toh Aria tetap berpendapat bahwa kliennya tak bisa digebuk dengan vonis subversi. "Kalau bandar buntut saja dinyatakan subversi, kenapa orang yang mencuri kabel telepon tidak dikenai pasal itu? Padahal, pencuri kabel telepon itu kan lebih mengganggu stabilitas," katanya. Aria sendiri mengaku sependapat dengan argumentasi Dr. Muladi, bahwa kasus judi buntut lebih tepat dengan KUHP atau UU Perjudian. Ia juga yakin, kedua jaring hukum itu bakal dipergunakan jika saja kliennya itu digerebek polisi. Tapi itulah, sialnya, pada Februari 1989, Miming justru ditangkap petugas Tim operasi 812 (tim pemberantasan judi buntut), yang dikoordinasikan Jaksa Agung. Happy S., G. Sugrahetty D.K. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini