DALAM hidup ini, sesungguhnya kita selalu terlibat dengan bakteri. Sebagian bakteri memang bermanfaat pada manusia, karena menjadi flora normal dalam tubuh kita, membantu pembusukan tinja di dalam usus, misalnya. Tapi sebagian bakteri lain hanya berada di tubuh karena infeksi. Mereka tergolong kuman patogen, yang menyebabkan orang jatuh sakit. Tapi belakangan, batasan antara kedua bakteri itu jadi kabur. Ada apa? Karena pemakaian antibiotik yang sembrono. Berangkat dari kenyataan ini, para "ahli kuman" -- tergabung dalam Ikatan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia -- mengingatkan hal ini dalam seminar Penanggulangan Infeksi Campuran Aerob-Anaerob, 14 Januari lalu, di Jakarta. Dihadiri sekitar 250 peserta -- ada yang dari Bandung, Yogya, Solo, dan Bali -- seminar yang merupakan bagian kegiatan Dies UI ke-40 itu juga mendatangkan mikrobiolog Jepang, Prof. Kazue Ueno. Kaburnya batas normal dan patogen tadi bisa dijelaskan dengan sebuah contoh. Dari penelitian Bagian Mikrobiologi FKUI selama Februari-April 1988 -- terhadap penderita infeksi saluran kemih -- diketahui bahwa kondisi bakteri-uri (bakteri dalam urine) pada kelompok A (penderita yang belum pernah minum antibiotik) ternyata berbeda dengan kelompok B (penderita yang pernah mendapat antibiotik ataupun yang kena infeksi nosokomial di rumah sakit). Menurut Drs. H.A. Rahim, seorang pembicara di seminar, bakteri-uri pada kelompok A terutama disebabkan E.coli, sejenis kuman flora normal yang banyak terdapat di usus. Sementara pada kelompok B, lebih sering disebabkan kuman Proteus, Klebsiella, Pseudomonas, dan Streptokokus fekalis. Keempat kuman ini juga butuh udara (jenis aerob). Tapi berhubung kondisi tubuh berubah -- oleh pemakaian antibiotik yang kurang baik -- maka Proteus cs. yang tadinya normal jadi patogen. "Karena tindakan kita sendiri, flora normal berubah jadi patogen," kata dr. Usman Chatib Warsa, Kepala Bagian Mikrobiologi FKUI yang Juga ketua panitia seminar. Pergeseran ini akhirnya menyukarkan penilaian hasil laboratorium, hingga pemilihan obat pun ikut terpengaruh. Ada contoh lain: 57,6% biakan kuman pada 33 kasus infeksi luka bedah di Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM (sejak Februari sampai Oktober 1987), ternyata sudah kebal (resisten) terhadap antibiotik standar yang selama ini diberikan. Lebih dari itu, persoalan juga menimpa kelompok kuman yang selama ini jarang diperhitungkan, yakni bakteri anaerob (yang antioksigen). Menurut dr. Pratiwi Soedarmono, Ph.D. wakil ketua panitia, dulu diperkirakan kuman anaerob tidak patogen dan hanya yang aerob yarig senng jadi patogen. Dari banyak studi, belakangan terbukti bahwa hal itu tidak benar. "Sekarang dapat dikatakan, kuman anaerob pasti ada di hampir segala tempat dalam tubuh yang terinfeksi," kata Pratiwi, calon astronaut yang ahli biologi molekuler itu, pada TEMPO. Bakteri anaerob adalah kelompok kuman yang senang di tempat yang tidak terjangkau oksigen. Contohnya: Clostridium tetani, penyebab tetanus. Clostridium bisa berbiak pesat jika luka cukup dalam (karena tak ada oksigen di situ), tapi ia mampus jika luka (di permukaan) berhubungan langsung dengan udara. Tapi pada penelitian lebih lanjut, ternyata bakteri anaerob -- terutama jenis Bacteroides fragilis -- menjadi penyebab utama banyak infeksi di rongga panggul. Juga pada infeksi telinga tengah (congek) berbagai kuman anaerob sering pula jadi biangnya. Sebab itu, Usman menyarankan agar pola pikir dokter diubah, tidak lagi hanya memikirkan bakteri aerob melulu. Mengapa? Selama ini sering dokter meminta pemeriksaan tes kepekaan kuman hanya terhadap bakteri yang aerob atau anaerob. "Kita anjurkan untuk memeriksakan keduanya sekaligus," ucap Usman Chatib Warsa lagi. Usul itu didukung Pratiwi. Pasalnya, peran bakteri anaerob ini memang penting. Ia mampu menghasilkan enzim Betalaktamase, yang merusakkan daya kerja sebagian jenis antibiotik. Maka, Pratiwi menganjurkan agar dokter mempertimbangkan pemberian obat yang bisa membunuh sekaligus kuman aerob dan anaerob, dan tak lagi memikirkan yang aerob saja. Kuman anaerob terpopuler, Bacteroides fragilis, misalnya, menurut Prof. Kazue Ueno dari Fakultas Kedokteran Universitas Gifu, Jepang, juga resisten terhadap berbagai penisilin dan sebagian sefalosporin. Sebabnya terutama karena kromosom sel bakteri itu menghasilkan Betalaktamase, yang bahkan bisa dipindahkan kepada bakteri lain. "Banyak studi menunjukkan, partikel DNA bisa ditransferkan dari E.coli kepada Bacteroides fragilis, juga dari Bacterioides satu kepada Bacteroides lain dan sebaliknya," tutur Ueno. Pratiwi menambahkan, kendati turunan penisilin mampu membunuh kuman aerob, toh pemakaian antibiotik itu belum cukup untuk melumpuhkan kuman anaerob yang terdapat pada infeksi campuran. Nah, enzim itu pada gilirannya bisa menyebabkan kuman aerob (yang tadinya sensitif) jadi kebal. "Gen bakteri resisten memang dapat ditularkan, dari yang anaerob kepada yang aerob," kata Pratiwi, memperkuat Ueno. Maka, para ahli menyarankan supaya menggunakan sejenis obat yang mampu memberantas sekaligus infeksi campuran aerob-anaerob, yakni cefmetazole. Menurut Usman, antibiotik chloramfenikol sebetulnya juga efektif. Tapi ia punya efek samping pada fungsi sumsum tulang. Kecuali untuk mengobati tifus, chloramfenikol kini tak lagi dipakai di banyak negara. Di Indonesia sejauh ini, bila dokter menduga adanya infeksi campuran aerob-anaerob, biasanya ia memberikan dua macam antibiotik, misalnya turunan penisilin (untuk aerob) dan metronidazole (untuk yang anaerob). Memang, seperti kata Pratiwi, terapi ini boros. Tapi dengan ditemukannya obat untuk infeksi gabungan, kita bisa agak lega. "Ini juga anugerah bagi dokter, karena sekarang kita tak harus mengkombinasikan dua obat," tutur Pratiwi.Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini