PERIHAL PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dalam dua pekan terakhir ini tiba-tiba mencuat, karena dua pernyataan Menteri Dalam Negeri Rudini yang tajam sekaligus menyentuh rasa keadilan. Pertama, Menteri menyatakan, sudah selayaknya bila orang-orang kaya yang tidak lumrah dikenai pungutan PBB khusus. "Orang-orang seperti ini pantas dikenai pajak 100 kali lipat dari tarif PBB sebenarnya," demikian Menteri pada acara Rapat Koordinasi Nasional Dipenda (Dinas Pendapatan Daerah) seluruh Indonesia, di Solo, Kamis, 12 Januari lampau. Sepuluh hari kemudian, selepas pertemuan antara para gubernur dan Presiden Soeharto di Bina Graha, Rudini mencetuskan pikiran baru. Katanya, ia sedang mempertimbangkan usul agar Menteri Keuangan menetapkan bahwa para penunggak PBB tiga kali berturut-turut dikenai sanksi: tanah dan bangunannya dianggap tidak bertuan, sehingga menjadi milik negara. Ini erat kaitannya dengan banyak tanah milik orang kota di kawasan pedesaan, yang dibiarkan tidak produktif dan PBB-nya tidak dibayar. Mengapa kedua sasaran Rudini dialamatkan kepada orang-orang kaya? Mungkin karena penggelapan PBB yang selama ini mereka lakukan, mungkin karena pemilikan mereka atas tanah dan rumah cukup besar jumlahnya, dan mungkin juga karena pemungutan PBB belum dilakukan sebagaimana mestinya. Yang pasti potensi penerimaan PBB sesungguhnya bisa ditingkatkan, namun selama ini tidak digarap. Tapi satu hal belum bisa segera terjawab: bagaimana cara meningkatkan pungutan PBB itu? Gubernur DKi Jakarta Wiyogo Atmodarminto, dalam kesempatan terpisah, spontan menyambut gagasan Rudini, seraya berkata, "Saya setuju, sangat setuju." Hanya soal mewah itu belum jelas kritrianya. Dari Sumatera Utara, dua anggota DPRD Sum-Ut -- H. Hasrul Azwar, (PPP) dan Laden Sinaga (PDI) -- mengemukakan, seperti ditulis Kompas, bahwa PBB khusus cocok diberlakukan di sana, karena banyaknya rumah dan pekarangan yang sangat luas, di perkebunan terutama. Tapi mengenai penguasaan tanah/rumah oleh negara -- karena penunggakan PBB -- Direktur PBB Karsono Surjowibowo pekan lalu mengungkapkan bahwa selama masa transisi, sampai tahun 1990, tidak akan ada penyitaan oleh negara. Ucapan ini tidak seirama dengan gagasan Rudini, yang justru condong pada penyitaan. Dari sini terlihat, dari kalangan pengambil keputusan, masih ada ketidaksatuan sikap mengenai PBB. Tentu saja sikap yang bervariasi juga bisa muncul dari masyarakat. Ahli kebidanan dr. Untung Praptoharjo, misalnya, tak ingin rumahnya dikategorikan mewah. "Saya ingin rumah yang sehat saja," ujarnya. Rumah Dokter Untung itu terletak di kawasan elite: Candi Baru. Dibeli 5 tahun silam seharga Rp 130 juta, rumah peninggalan Belanda itu -- 2.500 m2 di atas tanah 5.000 m2 -- lalu direnovasi dengan biaya ratusan juta rupiah. PBB-nya sekitar Rp 275 ribu. Terhadap gagasan pajak khusus rumah mewah, ia berkomentar, "Asal kenaikan pajaknya wajar, saya akan tetap membayarnya." Yang jelas, sudah muncul aturan baru tentang PBB ini, melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (Sumarlin) No. 25/KMK.04/1989 tanggal 9 Januari, yang menetapkan Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak (BNJBTKP) Rp 3,5 juta -- pada aturan lama Rp 2 juta. Namun, sebelumnya sudah muncul keputusan No. 1324/KMK.04/1988 tanggal 28 Desember, yang mengubah klasifikasi maupun besarnya NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak), tanah, dan bangunan. Kedua peraturan itu mulai diberlakukan per 1 Januari 1989. BNJBTKP memang agak meringankan wajib pajak, tidak seperti pada PTKP (Pendapatan Tak Kena Pajak) pada Pajak Penghasilan yang sudah 4 tahun tak dinaikkan. Namun, penggolongan nilai jual tanah dan bangunan jadi lebih rinci sekarang. Dan kalau dihitung-hitung, dengan aturan baru itu, ada wajib pajak yang kena PBB lebih mahal dan ada yang malah turun. Tanah seharga Rp 1,8 juta per m2, misalnya, yang dulu nilai jual tanahnya (sebagai obyek pajak) ditetapkan Rp 1.650.000, sejak 1989 ini hitungannya jadi Rp 1.862.000. Sehingga, pajaknya yang dulu cuma Rp 1.650 per m2 naik menjadi Rp 1.862. Wajib pajak yang punya tanah seluas 1.000 m dengan bangunan di atasnya 500 m2 (harga bangunan kira-kira Rp 650.000 per m2) yang tahun-tahun lalu PBB-nya kena Rp 2 juta, tahun ini mesti membayar sekitar Rp 2.212.00 -- naik hampir 11%. Sementara itu, pemilik rumah 200 m2 di atas tanah 1.000 m2 di pedesaan -- dengan harga tanah per m2 Rp 4 ribu dan harga bangunan per m2 kurang dari Rp 52 ribu -- dulu bayar PBB sekitar Rp 13.600. Tapi setelah muncul aturan baru, PBB yang harus dibayar malah berkurang, yakni sekitar Rp 13.500. Namun, penetapan PBB masih repot pelaksanaannya. Data pertanahan, kata Wijogo, berubah dari waktu ke waktu, sehingga sulit ditarik PBB-nya. Contoh: tanah milik Mabes ABRI di Duren Sawit, Jakarta Timur. Pada mulanya tak jelas pemiliknya. "Ini harus kita kejar terus. Nggak mungkin Mabes ABRI nggak ngerti," tutur Wijogo, yang kemudian lega, kasus itu akhirnya selesai juga. Kesulitan Pemda Ja-Bar serupa. Menurut Soehoed W.P., masih perlu pembenahan administrasi pemilikan/pemanfaatan tanah dan bangunan. Karsono yakin, bila wajib pajak membayar sesuai dengan kewajibannya maka target tercapai. "Penunggak iuU yang paling banyak di perkotaan," tutur Karsono. Namun, Direktur PBB sudah siap menggebrak lagi. Misalnya, memeriksa sertifikat tanah dan menilai bangunan. Dan juga, Dirjen Pajak mulai memanfaatkan dana Bank Dunia untuk menilai tanah dan bangunan yang mahal-mahal di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di samping itu, dibentuk tim intensifikasi, yang tugasnya memonitor kegiatan pendataan sampai penagihan PBB. Jelas di sini, sudah ada kesamaan pendapat: PBB perlu data akurat. Suhardjo Hs., Bachtiar Abdullah, Tri Budianto Soekarno, Hedy Susanto (Bandung), Bandelan A. (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini