Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pertemuan Difabel Netra dan Relawan Mata

Be My Eyes menghubungkan difabel netra dengan relawan. Membantu orang dengan gangguan penglihatan melihat dunia, kapan saja, di mana saja.

8 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Difabel netra pengguna aplikasi pencari sukarelawan, Cheta Nilawaty, saat bekerja di Jakarta. TEMPO/ Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Google Play dan App Store menyediakan banyak aplikasi untuk membantu para difabel netra, termasuk Be My Eyes.

  • Be My Eyes bekerja dengan menghubungkan penyandang tuna netra dengan relawan untuk mengidentifikasi benda-benda di depan mereka.

  • Nilai kemanusiaan dari para relawan menjadi nilai ketimbang aplikasi lain yang mengandalkan AI.

Cu Bu Men, penyandang disabilitas netra, baru tiba di Panti Sosial Bina Netra dan Rungu Wicara Cahaya Bathin di Cawang, Jakarta Timur, pada Kamis siang, 2 Mei lalu. Warga Pontianak, Kalimantan Barat, tersebut hendak mengikuti pelatihan jasa pijat di panti sosial milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki 25 tahun itu termasuk yang datang awal. Teman-teman asramanya kebanyakan belum datang, sedangkan lainnya berkegiatan di luar kamar. Maka, ketika panitia membagikan paket alat-alat kebersihan diri, Cu Bu Men tak punya orang untuk ditanyai. Dia pun membuka ponsel dan mengaktifkan Be My Eyes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Be My Eyes adalah aplikasi yang menghubungkan difabel netra serta penderita gangguan penglihatan dengan relawan untuk membantu mereka dalam kegiatan keseharian. Caranya sederhana, seperti melakukan video call dengan kamera belakang sehingga relawan bisa membantu penyandang gangguan penglihatan mengidentifikasi benda di depan mereka.

Aplikasi Be My Eyes. Dok. Be My Eyes

Pada siang itu, panggilan dari Cu Bu Men mampir di ponsel saya, yang baru rampung makan siang dan menunggu pesanan kopi. "Siang, Kak. Bisa bantu liatin barang-barang ini?" ujarnya. Secara bergantian, dia menampilkan detergen bubuk, pewangi pakaian, botol sampo, sabun batang, dan lotion anti-nyamuk. Saya menyebutkan merek dan jenisnya.

Di latar belakang, terlihat kamar asrama dengan deretan tempat tidur tingkat sonder penghuni. Dalam praktik sehari-hari, pengguna dan relawan pantang menyebutkan lokasi dengan alasan keamanan. Namun saya menjelaskan ada kepentingan peliputan sehingga membutuhkan informasi lebih banyak soal Cu Bu Men dan dia tidak berkeberatan. 

Pria blasteran Taiwan-Pontianak itu mengaku sebagai pengguna setia Be My Eyes sejak empat tahun lalu. Menurut dia, aplikasi tersebut sangat membantunya. Tanpa aplikasi itu, dia harus menunggu lama kedatangan petugas asrama untuk meminta penjelasan soal isi paket alat kebersihan diri tersebut. Adapun pada siang itu, dia bisa langsung bebersih diri dan beristirahat sembari menunggu kedatangan teman-teman asramanya. Semua jadi lebih efisien. 

Memang, Cu Bu Men melanjutkan, kebanyakan orang Indonesia dengan senang hati mau membantu penyandang disabilitas netra. Namun, kalau sedikit-sedikit bertanya untuk urusan remeh-temeh, malah Cu Bu Men yang jadi tidak enak hati. "Paling tidak seminggu sekali pakai aplikasi ini," ujarnya.

Lewat Be My Eyes, penyandang gangguan penglihatan bebas menanyakan apa saja. Pada kesempatan lain, Tempo mendapat panggilan untuk membaca tulisan di layar laptop yang kelamaan loading.

Irma Hikmawati, 50 tahun, ikut merasakan manfaat aplikasi yang bisa diunduh gratis di Play Store dan App Store ini. "Seringnya untuk memilih warna baju dan membaca nominal uang," katanya kepada Tempo. 

Irma dan suaminya sama-sama difabel netra. Mereka biasa bergantung pada orang rumah, termasuk asisten rumah tangga. Sejak direkomendasikan Be My Eyes oleh kawannya pada 2018, dia bisa mendapat bantuan dengan mudah, kapan pun, di mana pun, selama mendapat koneksi Internet.

Kerap kali bantuan itu bersifat urgen, misalnya, mengidentifikasi obat. "Kemasan obat relatif sama. Cuma, beda warna dan itu tidak bisa kami kenali. Jadi, kami butuh bantuan," kata sarjana hukum dari Universitas Padjadjaran tersebut. Mau tengah malam pun, relawan-relawan Be My Eyes bersiap sedia. Hanya, jika sudah waktu tidur, secara otomatis Be My Eyes mencari relawan yang berada di zona waktu lain yang sedang terang. 
 
Be My Eyes dikembangkan oleh Hans Jorgen Wiberg, perajin mebel di Denmark, pada 2012. Wiberg memiliki penglihatan terbatas. Di situs webnya, dia menyadari para penyandang disabilitas netra membutuhkan banyak bantuan, termasuk untuk menyelesaikan aktivitas harian yang oleh banyak orang dianggap ringan. Dengan taksiran 285 juta orang buta dan berpenglihatan terbatas di dunia, jumlah bantuan yang mereka butuhkan bisa tak terhingga.

Aplikasi ini rampung pada 2015. Pada 2017, saat baru tersedia untuk pengguna iPhone, Be My Eyes digunakan oleh 32 ribu difabel netra dan 457 ribu relawan. Kini, berdasarkan data terbaru yang dirilis pada tahun lalu, komunitasnya mencakup 615 difabel netra dan 7,2 juta relawan. Layanan bantuan ini tersedia dalam 180 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Be My Eyes memang bukan satu-satunya aplikasi untuk membantu orang dengan gangguan penglihatan. Irma, misalnya, juga pengguna Envision yang membantunya mengidentifikasi teks dan informasi visual lewat kecerdasan buatan atau AI. Hanya, Irma lebih demen memakai Be My Eyes. "Karena terhubung dengan orang, jadi dijawab cepat dan bisa langsung tanya-tanya," ujarnya.

Lain orang, tentu saja, lain pilihan. Cheta Nilawaty, jurnalis Tempo yang difabel netra, malah lebih suka meminta bantuan AI. Aplikasi andalannya adalah Seeing AI. Dia cukup mengarahkan kamera ponselnya ke suatu obyek, lalu AI akan menjelaskannya. Bagi wartawan yang sedang menempuh studi master di Murdoch University, Perth, itu, AI lebih jujur ketimbang sebagian manusia.

Cheta kerap menggunakan Seeing AI untuk mengidentifikasi uang. Meski demikian, dia juga pantang bersandar penuh pada kecerdasan buatan dan berupaya lebih mandiri. Misalnya, membedakan nilai uang berdasarkan lipatan dan lokasi di dompet. "Saya hafalin semua," ujarnya. Cheta meneruskan kebiasaan tersebut meski kini lebih sering bertransaksi dengan uang elektronik. Dia bersyukur hidup di zaman teknologi informasi saat hampir semua aplikasi di ponsel ramah difabel netra, termasuk ojek online.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Reza Maulana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus