JUNI tahun depan, seorang astronaut Indonesia akan tercatat sebagai orang In donesia pertama yang keluar dari atmosfer bumi, masuk ke ruang angkasa. Program sudah dipastikan: astronaut Indonesia pertama itu akan berangkat bersama satelit komunikasi Indonesia Palapa B-3. Astronaut Indonesia itu hampir pasti seorang ilmuwan yang akan ikut melakukan penelitian - bidangnya masih akan ditentukan kemudian. Ia, seorang dari dua pilihan terakhir yang lulus seleksi dan lulus pula dari tahap seleksi sebelumnya. Dua orang ini yang satu diterbangkan, yang satu lagi cadangan dlpilih dan delapan orang calon yang sama-sama akan diberangkatkan ke Amerika Serikat - untuk menjalani tes terakhir di sana. Kesibukan mempersiapkan astronaut Indonesia pertama itu sudah terasa beberapa bulan terakhir. Tahap awal, pendaftaran calon sudah berakhir 28 Februari lalu. Tahap selanjutnya, yang kini mulai ramai, mempersiapkan tes kesehatan untuk menyeleksi 150 lebih calon yang mendaftar (lihat: Boks). Untuk keperluan itu, 1 Maret pekan lalu diselenggarakan Simposium Kesehatan Penerbangan dan Antariksa di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Antariksa TNI AU (Lakespra), Jakarta, yang juga pelaksana tes. Selain membahas kriteria seleksi di bidang kesehatan, simposium juga membahas berbagai aspek kesehatan yang berhubungan dengan kondisi tubuh di antariksa. Muncul sebagai pembicara Dr. Sunaryo dari Lapan, dr. Suryanto dan dr. Sukardji dari Lakespra Dr. Pollan dari Amerika Serikat, dan sejumlah ahli lainnya. Pertemuan ilmiah ini terhitung sangat pentmg dalam mempersiapkan astronaut. Selain kesehatan di ruang angkasa belum lama dlteliti - di negara maju sekalipun - Indonesia, bidang ini dalam beberapa hal sama sekali baru. Dr. Pollan dalam simposium mengemukakan beberapa pokok perkembangan penelitian kesehatan di ruang angkasa itu yang dilakukan dalam beberapa misi ke ruang angkasa. Dalam misi Mercury (1961 - 1963), Pollan mengisahkan, terjadi kehilangan berat pada astronaut. Setelah diteliti, ternyata terjadi dehidrasi - mengurangnya jumlah air dalam tubuh - pada para astronaut. Pengurangan cairan ini diperkirakan ada kaitannya dengan kerja otot-otot jantung. Pada misi Gemini (1965-1966), disimpulkan bahwa manusia dapat hidup dan bekerja dalam waktu cukup lama di bulan. Namun, banyak perubahan kesehatan yang mengejutkan ditemukan. Terungkap, jumlah sel darah merah ternyata menyusut. Kadar kalsium pada tulang berkurang dan nitrogen pada otot menurun. Dan yang mengkhawatirkan, terjadi gangguan keseimbangan pada proses metabolisme. Seluruh perubahan ini, menurut Pollan, besar kemungkinan akan diderita hampir setiap astronaut. Walaupun perubahan-perubahan itu bervariasi, dalam penelitian, semua jenis perubahan kesehatan itu dialami lebih dari 50% astronaut. Pada misi Apollo (1968--1972), gejala-gejala ini dilawan dengan penjagaan kesehatan yang ketat. Dan ketika Skylab diluncurkan (proyek ini berlangsung 1973--1974), sebagian besar perubahan itu dapat diredakan dengan obat-obatan. Para pembicara dari Indonesia sendiri, khususnya dr. Sukardji dandr. Suryanto, menekankan pembicaraan pada faktor-faktor kesehatan yang dekat hubungannya dengan kriteria seleksi, yang bisa dipastikan akan diterapkan dalam penerimaan calon astronaut mendatang. Sukardji membahas masalah-masalah fisiologis, sementara Suryanto mengemukakan aspek-aspek kejiwaan. Dalam wawancara, Sukardji menjelaskan, standar kesehatan yang ditetapkan NASA (Lembaga Penerbangan & Antariksa AS) untuk astronaut Indonesia nanti adalah pilot kelas III - payload specialist. Para ilmuwan dan operator peralatan penelitian umumnya masuk kategori ini. Sementara itu, pilot pengemudi dan navigator dikelompokkan pada kategori pilot I dan pilot II. Persyaratan kesehatan yang dituntut pada pilot III, terhitung jauh lebih ringan daripada persyaratan pilot I dan II. Penglihatan, pendengaran, persepsi kedalaman, persepsi warna, gerak, dan tinggi badan pada pilot I dan II, pada tabel persyaratan, dinyatakan mutlak harus memenuhi ukuran tertentu. Pada pilot III, itu tidak perlu. Namun, lepas dari perbedaan itu, menurut Sukardji, terdapat persyaratan dasar yang harus dipenuhi semua astronaut. Misalnya kemampuan mengatasi keadaan di atas 10.000 kaki dan kemampuan melawan gaya tarik bumi ketika menembus batas atmosfer. Pada ketinggian 10.000 kaki (lebih dari 3 kilometer) tekanan darah bisa turun drastis. "Kurangnya tekanan darah bisa menimbulkan hipoksia," ujar Sukardji, "dan kurangnya oksigen ini akan membahayakan otak." Bahaya lain akan muncul ketika pesawat menembus atmosfer. Pada keadaan ini tubuh akan merasakan pengaruh gaya tarik bumi yang disebut G-force. "Pada saat ini, terjadi tarikan darah dari atas, yang bisa mengakibatkan astronaut pingsan," kata Sukardji. Menghadapi dua keadaan itu, menurut Sukardji, calon astronaut tak boleh bertekanan darah rendah, dan sebaiknya memiliki volume jantung yang tidak terlampau besar. Jantung besar, yang umumnya dimiliki olahragawan yang kelebihan latihan, justru tidak tahan menghadapi G-force. Psikiater dr. Suryanto, dalam mengajukan persyaratan seleksi, mengutarakan bahwa dari sisi psikis astronaut sama sekali tak boleh memiliki kelainan jiwa sedikit pun. Dari mulai fobi - takut pada sesuatu - sampai psikosis, atau bakat gila. "Soalnya, kita menghadapi lingkungan yang sama sekali asing," katanya. Tes psikologis bahkan melacak sifat-sifat yang terhitung normal. Seorang calon juga tidak diperkenankan impulsif - kebiasaan bertindak karena keinginan mendadak. Maka, tampaklah bahwa calon astronaut selain cerdas sebagai ilmuwan, juga dipersyaratkan tenang dan memiliki kondisi fisik tidak terlalu berotot - ideal, tapi juga biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini