Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menerapkan gaya hidup minim sampah bisa dimulai dari rumah.
Zero waste adalah kegiatan yang meminimalkan, memilah, dan mengolah sampah dengan baik dan benar.
Produksi sampah secara nasional mencapai 67,8 juta ton pada 2000.
DUA gentong berbahan tanah liat berisi kompos dari limbah rumah tangga mengisi halaman belakang rumah panggung Westiani Agustin. Setiap hari ia dan keluarganya memilah dan mengolah sampah rumah tangga basah dan kering, seperti sisa sayur, kulit buah, dan kulit bumbu dapur. Kompos yang mereka hasilkan dijadikan pupuk tanaman untuk kebun di sekitar rumah mereka di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada aneka tumbuhan di sana, dari bunga telang, singkong, srikaya, hingga jati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama suaminya, Bintang Hanggono, dan kedua anaknya, Westiani menerapkan pola hidup minim sampah. Untuk mengurangi sampah plastik, mereka membawa tas setiap kali belanja kebutuhan sehari-hari atau menenteng wadah saat membeli makanan dan minuman di warung. “Semaksimal mungkin kami tidak menyumbang sampah,” ucap Ani--sapaan akrabnya--kepada Tempo di rumahnya, Senin, 18 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ani, 44 tahun, mulai melakoni hidup minim sampah sejak bergiat dalam bidang pendidikan lingkungan untuk anak di Earthkids Yogyakarta pada 2000-2004. Ia aktif mendampingi warga kampung di Yogyakarta untuk memilah sampah. Sebagian penduduk mengelola bank sampah.
Ia merasa prihatin melihat kerusakan lingkungan akibat sampah yang terus bertambah. Tempat pembuangan sampah terpadu di Kecamatan Piyungan, Bantul, tak lagi sanggup menampung sampah sejak 2016. Setiap hari sekitar 600 ton sampah dari Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta berjejalan di tempat pembuangan akhir itu.
Andhini Miranda saat mengumpulkan sisa makanan untuk diolah menjadi makanan baru di rumahnya, 28 Oktober 2021/Dok. Andhini Miranda
Pencemaran lingkungan juga mengusik Andhini Miranda sejak 2012. Kala itu ibu rumah tangga yang tinggal di Tangerang Selatan, Banten, itu tengah hamil tua. Ketika sedang melihat-lihat barang keperluan bayi di Internet, ia membaca artikel tentang sampah popok sekali pakai. Andhini paham popok sekali pakai bisa mencegah kotoran bayi bocor, tapi ia kemudian menyadari ada lapisan plastik dalam popok yang sulit terurai di alam.
Andhini, 40 tahun, bahkan kerap menjumpai sampah popok sekali pakai dibuang begitu saja tanpa dibersihkan kotorannya terlebih dahulu. Ia juga kerap melihat popok di sungai yang pada akhirnya mencemari laut. “Dari situ saya mulai menaruh perhatian untuk menerapkan gaya hidup nol sampah,” tutur Andhini, Sabtu, 16 Oktober lalu.
Dari berselancar tersebut, ia mendapati fakta seorang bayi membutuhkan paling sedikit empat popok sehari. “Dalam setahun kira-kira sampah popok mencapai 1.440 buah. Itu baru satu bayi dalam satu rumah,” kata Andhini, yang berpendidikan seni rupa dan desain.
Cara Andhini Miranda berbelanja dengan membawa wadah sendiri, memakai kantong kain, dan dalam jumlah sesuai kebutuhan/Dok. Pribadi
Andhini juga menemukan fakta masalah sampah dapat menciptakan lingkungan tidak sehat untuk anaknya. Ia lalu menceritakan keresahannya itu kepada Kendra Paramita, suaminya. “Akhirnya kami memutuskan hal paling gampang yang bisa kami lakukan, yaitu mengganti produk popok sekali pakai,” tuturnya.
Di Bandung, Anilawati Nurwakhidin mengenal konsep zero waste sejak menjadi relawan di Yayasan Pengembangan Biosains Bioteknologi pada 2005. Saat itu perempuan yang akrab disapa Anil ini baru lulus dari Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Yayasan yang didirikan pada 1993 itu berubah nama menjadi Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) sejak 2019.
Di rumah kontrakannya di Bandung timur, terdapat keranjang Takakura di kolong bak cuci piring untuk mengompos sisa makanan lunak. Saat Tempo menyambangi rumahnya pada Senin, 18 Oktober lalu, keranjang itu telah terisi penuh dan menguarkan aroma khas saat dibuka. “Lagi error, kepenuhan,” ujar Anil, 39 tahun. Biasanya secara rutin ia mengambil isi bagian bawah keranjang, tapi kesibukan kerja menimbulkan masalah dalam sistem pengolahan sampah mandirinya itu.
Keranjang Takakura untuk pengomposan sampah organik di rumah Anilawati di Bandung, 18 Oktober 2021. (TEMPO/ Anwar Siswadi)
Awalnya Anil merasa konsep nol sampah itu ekstrem. Sejak bergabung dengan lembaga yang dipimpin David Sutasurya tersebut, ada larangan keras di kantornya. “Jangan bawa sampah," tuturnya.
Aturan itu memaksa semua orang di YPBB mencari cara membawa makanan dan minuman tanpa menghasilkan sampah. Solusinya adalah menggunakan wadah yang dapat dipakai berulang kali, baik untuk bekal makanan dari rumah maupun untuk membeli makanan di warung. Namun saat itu belum banyak pilihan wadah seperti sekarang dan kemampuan ekonominya juga minim karena ia belum bergaji. Meski begitu, lambat-laun ia dapat belajar menerapkan konsep nol sampah.
Westiani, Andhini, dan Anilawati adalah bagian dari sedikit orang yang merasa khawatir atas terus bertambahnya jumlah sampah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat produksi sampah nasional mencapai 67,8 juta ton pada 2000 atau kurang-lebih 185.753 ton per hari. Artinya, setiap penduduk menghasilkan kurang-lebih 0,68 kilogram sampah per hari. Mayoritas sampah tersebut menumpuk di tempat-tempat pembuangan akhir.
Ada banyak cara mengurangi jumlah sampah. Upaya tersebut dapat dimulai dari rumah. Maurilla Sophianti Imron, misalnya, memulainya dengan memakai menstrual cup sebagai ganti pembalut sekali pakai. Menurut dia, seorang perempuan dapat menghabiskan kurang-lebih 11 ribu pembalut selama hidupnya. Pembalut sekali pakai tersebut berakhir di tempat sampah dan mencemari lingkungan. “Awalnya dipertanyakan oleh keluarga, karena kita memasukkan menstrual cup ini ke dalam organ intim kita. Dipertanyakan apakah ini sehat,” kata pendiri dan Head of Program Management Zero Waste Indonesia itu, Selasa, 19 Oktober lalu.
Maurilla Sophianti Imron/Antara
Maurilla, 30 tahun, mengenal konsep zero waste ketika kuliah dan bekerja di Belanda beberapa tahun lalu. Saat itu ia belum menerapkan sepenuhnya gaya hidup tersebut. Ia hanya menjalankan aturan di Belanda yang melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.
Lambat laun gaya hidup yang ia terapkan berkembang. Setiap kali ke restoran ia selalu membawa wadah sendiri. Ia tak mau lagi menggunakan kemasan plastik. “Kendalanya, ya, merasa jadi alien sih, ha-ha-ha.... Dilihatin, mungkin dipikirnya aneh kali, ya,” katanya.
Maurilla menerapkan gaya hidup minim sampah setelah menonton video penyelam asal Inggris tentang kehidupan bawah laut Pulau Nusa Penida pada 2017. Video tersebut memperlihatkan kondisi bawah laut di pulau itu yang berisi sampah plastik. Ia kemudian mencari tahu apa yang terjadi dan menemukan solusi berupa gaya hidup zero waste.
Ia menuturkan konsep gaya hidup zero waste terkadang dimaknai sebagai gaya hidup yang benar-benar bersih dari sampah. Padahal sebenarnya itu adalah kegiatan yang meminimalkan, memilah, dan mengolah sampah dengan baik dan benar. Dalam zero waste, ucap dia, terdapat prinsip 6R, yaitu rethink, refuse, reuse, reduce, rot, dan recycle. “Ketika orang mendengar mengenai zero waste, orang akan berfokus pada kata zero-nya,” ucapnya.
Menurut dia, tidak semua barang tersedia dalam bentuk curah atau tidak terkemas. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita sulit mendapatkan jenis barang seperti itu. Ia mencontohkan minyak goreng yang tak mudah ditemukan dalam bentuk curah. “Kalau tidak ada sama sekali, carilah minyak yang terbungkus dalam plastik yang paling mudah didaur ulang dan disetorkan ke bank sampah,” ujar Maurilla, memberi saran.
Seperti Maurilla, Westiani berupaya mengurangi sampah mulai dari rumah. Ia dan suaminya yang bergiat di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yogyakarta memberi contoh kepada dua anaknya sejak kecil. Mereka tak sembarangan membuang sampah plastik. Bila ada sampah plastik di rumah, mereka mencuci dan menyimpannya. Setiap tiga bulan, pemulung datang untuk mengambilnya.
Di rumahnya, ia membuka usaha pembuatan pembalut dari kain. Dibantu dua pekerja, sebelum masa pandemi, setiap bulan Ani memproduksi rata-rata 100 set pembalut bermotif batik yang mereka pasarkan melalui media sosial. Usaha yang berdiri sejak 2018 itu ia namai Biyung yang berarti ibu dalam bahasa Jawa. Pada zaman dulu para ibu menggunakan kain sebagai pembalut saat menstruasi. Pembalut kain, menurut dia, jauh lebih aman karena tidak mengandung zat kimia berbahaya, seperti dioksin, pemutih, pewangi, dan plastik.
Ihwal popok kain, Andhini sudah mengenakan pada bayinya sejak lahir. Pada saat bersamaan ia dan suaminya mulai membawa tas kain dan tumbler ke mana pun mereka pergi. Mereka akan membawa pulang sampah plastik dari produk yang mereka beli untuk didaur ulang. Sampah tersebut mereka pilah lalu disetorkan ke bank sampah. Namun bank sampah tidak menerima sampah yang tidak dapat didaur ulang, seperti pembalut, popok, tisu, kapas, dan kemasan saset isi ulang. Mereka terpaksa membawanya kembali ke rumah.
Pada 2018, Andhini dan suami sepakat menghilangkan fungsi tempat sampah di rumah. Mereka menghentikan konsumsi produk-produk yang sampahnya tidak bisa didaur ulang. “Di tahun itu, saya ingat kami berhenti makan mi instan dan makanan dalam kemasan,” tutur Andhini, yang sejak 2015 memberikan edukasi soal sampah ke pendidikan anak usia dini hingga sekolah dasar. Tiga tahun kemudian ia membuat akun Instagram @021suarasampah yang berisi aktivitasnya seputar pemilahan dan pengolahan sampah.
Mereka menerapkan tiga metode pemilahan sampah, yaitu sampah organik, anorganik, dan residu. Sampah organik seperti sisa makanan akan diolah menjadi makanan baru. Kulit buah naga mereka tumis dan kulit semangka dijadikan acar. Sampah anorganik dipilah sesuai dengan materialnya dan diserahkan ke bank sampah. Adapun residu yang tidak diterima oleh bank sampah dijadikan hiasan.
Bagi Amelia Majid, 23 tahun, komitmen mengurangi sampah di rumah dilakukannya dengan berpikir ulang saat hendak membeli sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Ia akan menimbang baik-buruk barang tersebut, termasuk soal sampah yang dihasilkannya. “Kalau lebih banyak buruknya, kami enggak beli,” kata Amelia, yang bekerja di Divisi Strategic Engagement Greeneration Foundation, Sabtu, 16 Oktober lalu.
Amelia Majid. (Dok.Pribadi)
Untuk mengurangi produksi sampah di rumah, Amelia memilah sampah organik dan anorganik. Ia akan memanfaatkan sampah plastik yang masih bisa digunakan, seperti botol plastik, untuk wadah minyak dan cairan cuci piring. Adapun sampah organik diolah menjadi kompos. “Kebetulan semenjak pandemi ayahku mulai mencoba bercocok tanam. Jadi pas banget komposnya digunakan sendiri,” ujarnya.
Amelia juga mulai mengurangi penggunaan tas plastik sekali pakai. Ia menggunakan tas kain untuk belanja. Saat membeli jajanan ia membawa wadah sendiri. Untuk kebutuhan sehari-hari seperti sampo, ia membeli yang berkemasan botol. “Sejak di Greeneration, aku tahu tentang start-up yang bisa refill kebutuhan rumah tangga,” tuturnya.
Hal serupa dilakukan rekan sekantor Amelia, Syahputrie Ramadhani, 23 tahun. Menurut dia, sampah yang menumpuk di tempat pembuangan akhir bermula dari rumah. Ia berupaya mengurangi produksi sampah dengan menyediakan wadah buat jajan, tempat minum, dan tas belanja. “Kalau memiliki banyak benda itu kan bisa jadi sampah juga. Makanya barang itu dipakai berulang,” ujar Project Officer di Greeneration Foundation itu, Senin, 18 Oktober lalu.
Pengalaman Syahputrie menjadi relawan di Greenpeace pada 2018 mengubah pandangannya tentang sampah. Saat itu Greenpeace mendatangkan kapal legendaris mereka, Rainbow Warrior, ke Jakarta dengan misi antara lain tentang mengurangi sampah. Dari situ ia mendapat pelajaran mengenai pentingnya mengurangi sampah.
Syahputrie merasakan manfaat dari mengurangi membeli makanan dan minuman dalam kemasan. Selain lebih hemat dan sehat, ia dapat mengurangi produksi sampah di rumah.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), ANWAR SISWADI (BANDUNG), HAFSAH CHAIRUNNISA, HURRYYATI ALIYAH (JAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo