Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Mereka Perupa Difabel

Biennale seni rupa internasional penyandang disabilitas digelar di Yogyakarta. Ruang ekspresi dan apresiasi seni bagi perupa difabel.

30 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran seni rupa internasional penyandang disabilitas.

  • Menghadirkan karya seniman difabel dari dalam dan luar negeri.

  • Ruang ekspresi dan apresiasi seni bagi perupa difabel.

BERDIRI melingkar, tiga seniman tuli sedang membahas karya seni yang dipajang di Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan menjelaskan lukisannya yang banyak berbicara tentang sejarah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, tak ada juru bahasa isyarat di ruang galeri. Melalui aplikasi di telepon seluler, Bagaskara memberitahukan alasannya melukis Pangeran Diponegoro. "Teman-teman tuli belum banyak paham sejarah," kata Bagaskara, Kamis, 28 Oktober lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan Bagas dipajang dalam pameran perdana Jogja International Disability Arts Biennale 2021. Semua perupa dari 10 negara yang berpameran adalah penyandang disabilitas. Perupa asal Filipina, Australia, Selandia Baru, Mesir, Kroasia, Amerika Serikat, Kolombia, dan Brasil mengirimkan karya dalam bentuk file salinan. 

Panitia terhambat rumitnya pengiriman karya secara langsung dari negara asal selama masa pandemi Covid-19. Dampaknya, sebagian besar karya perupa luar negeri hanya berupa cetakan kertas mirip fotokopi. Padahal, bila yang dipamerkan karya asli mereka, geregetnya akan jauh lebih terasa. 

Perupa yang tampil dalam Disability Arts Biennale memiliki beragam disabilitas, di antaranya tuli, gangguan mental, gangguan bipolar, Down syndrome, dan cerebral palsy. Ekshibisi penyandang disabilitas skala internasional perdana di Indonesia bertajuk “Rima Rupa” itu menampilkan 96 karya seni lukis, batik, kolase, fotografi, instalasi, dan video. 

Karya mereka menggambarkan kerapuhan fisik sekaligus kekuatan manusia. Ada yang membicarakan pandemi, binatang, alam, transportasi, kepahlawanan, religiositas, dan tradisi, ada pula yang membahas diskriminasi terhadap difabel. 

Sebagian perupa pernah berpameran tunggal. Salah satunya Winda Karunadhita. Pelukis asal Bali yang lumpuh total sejak berumur 6 tahun ini pernah memamerkan karya tunggalnya di Bekasi, Jawa Barat, untuk kegiatan amal Yayasan Metropolitan pada 2019. Dia juga pernah tampil dalam acara Kick Andy pada 2016. 

Lukisan Winda yang bertema tradisi Bali dan budaya Tionghoa kerap diborong kolektor luar negeri asal Republik Dominika, Australia, Inggris, Jerman, Portugal, dan Prancis. Dua tema lukisan itu muncul di Galeri R.J. Katamsi. 

Lukisan berjudul Kasih Ibu karya perupa Dwi Putra Mulyono dalam pameran sogja International Disability Arts Biennale di Galeri R.J Katamsi Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Bantul, Yogyakarta, 28 Oktober 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Tengoklah dua lukisan berjudul Tari Oleg Tamulilingan dan Sepasang Merak. Dua karya itu menggunakan bahan cat minyak di kanvas berukuran 50 x 70 sentimeter. Tari Oleg Tamulilingan menggambarkan sepasang penari Bali dalam warna cerah, seperti kuning, merah, dan hijau. 

Dalam tradisi Bali, tari khas itu melukiskan keluwesan penari perempuan dan penari laki-laki yang bertenaga. Oleg tamulilingan punya filosofi percintaan, gerak-gerik kumbang yang sedang bermain-main dan bermesraan dengan sekuntum bunga di taman yang indah. 

Adapun Sepasang Merak mengeksplorasi cerita dua burung merak yang hinggap di ranting pohon dengan bunga yang sedang bermekaran. Bulu-bulu merak dengan warna biru dan kuning itu menyimbolkan harmoni dalam mitologi Cina. 

Merak menggambarkan keindahan dan keberuntungan. Orang-orang percaya bahwa bila mereka meletakkan lukisan merak di dalam rumah, hubungan keluarga selalu berjalan harmonis. “Lukisan itu baru saja terjual, dibeli pengusaha asal Surabaya,” kata Winda. 

Penyandang disabilitas daksa ini mengatakan mengalami kelainan genetik muscular dystrophy yang membuat semua fungsi otot tubuhnya melemah. Tangan kanan yang ia gunakan untuk melukis harus senantiasa ditopang tangan kiri sebagai alat bantu. Kini Winda menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal karena penyakit lever pada 2014. Lukisan yang ia buat di Kampung Singaraja menjadi satu-satunya tumpuan untuk membiayai kehidupan keluarganya. 

Berbeda dengan karya Winda, lukisan berjudul Kasih Ibu ciptaan Dwi Putra Mulyono mengeksplorasi kerinduan seorang anak terhadap sosok ibu. Pak Wi—sapaan akrab Dwi Putra—adalah penyandang disabilitas mental dan wicara. Pak Wi, yang berumur 58 tahun, menderita skizofrenia. 

Lukisan berbahan akrilik pada kanvas berwarna pastel berukuran 90 x 140 sentimeter itu menggambarkan seorang perempuan sedang memangku anak. Nawa Tunggal, adik Pak Wi, mengatakan lukisan itu diciptakan setelah Pak Wi melihat gambar atau stiker Bunda Maria dan Yesus yang masih anak-anak. Pak Wi memindahkan penglihatan itu ke kanvas dengan mencampurkan warna secara bebas. “Dia melepas kemerdekaan dan kegairahan,” ucap Nawa. 

Sebelum Disability Arts Biennale, karya-karya lain Pak Wi menghiasi pameran di Jogja Gallery pada 12-22 Oktober lalu. Pak Wi berkolaborasi dengan Nawa Tunggal dalam pameran itu. 

Menurut Nawa, Pak Wi intens menggambar sejak tahun 2000. Nawa memberikan kertas setelah dia sering melihat Pak Wi mencoreti tembok tetangga rumah di Yogyakarta. Setiap kali melihat kanvas, Pak Wi bergairah melukis tanpa mengenal waktu. 

Kapan pun dia bisa melukis obyek apa saja. Misalnya, dia bisa melukis figur binatang setelah melihat buku-buku siswa sekolah dasar. Ketertarikan Pak Wi terhadap kesenian muncul sejak remaja. Dia gemar menonton pergelaran wayang di dekat rumahnya di Gedong Kiwo setiap sore. 

Karya visual lain yang menarik adalah kolase poster yang dicetak di kertas ciptaan seniman asal Inggris, Caroline Cardus. Cardus adalah seniman sekaligus aktivis gerakan seni difabel. Karyanya banyak berbicara tentang hak penyandang disabilitas dan feminisme. 

Ada enam karya Cardus yang mengeksplorasi narasi tentang penyandang disabilitas yang berkuasa atas tubuh sendiri. Poster-poster itu mirip rambu lalu lintas pengguna jalan.

Lihatlah karya berjudul Wheelchair Users Shouldn’t Be Left Out. Karya berukuran 30 x 30 sentimeter itu menggambarkan tiga difabel di atas kursi roda pada rambu lalu lintas berbentuk segitiga berkelir merah. Sementara itu, dua orang nondifabel berjalan di lantai berlapis yang lebih tinggi. 

Pameran seni rupa Jogja International Disability Arts Biennale di Galeri R.J Katamsi Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Bantul, Yogyakarta,28 Oktober 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Ada juga karya berukuran sama berjudul Do Not Assume I Am a Robber yang menggambarkan seorang polisi dan warga sipil. Di tengah dua figur itu terdapat gaun pendek tanpa lengan. 

Kurator pameran, Sukri Budi Dharma, yang juga penyandang disabilitas daksa, menyebutkan panitia Disability Arts Biennale memilih judul “Rima Rupa” untuk menggambarkan keberagaman kultur, umur, dan tema karya. Pameran ini digelar karena seniman penyandang disabilitas kurang mendapat tempat yang memadai di dunia seni rupa. Pemerintah, misalnya, lebih banyak memberi ruang kepada difabel di bidang olahraga. 

Selain itu, seniman difabel selama ini kerap hanya dilihat dari sudut pandang disabilitasnya, bukan kualitas gagasan berkesenian mereka. “Padahal banyak seniman Indonesia yang kreatif dan karyanya diakui di panggung internasional. Sejumlah seniman difabel kerap tampil dalam pameran internasional luar negeri,” tutur Sukri. 

Dalam sejarah seni rupa dunia, beberapa seniman penyandang disabilitas terbukti bisa menjadi ikon yang berpengaruh. Contohnya seniman Meksiko, Frida Kahlo. Kahlo, yang punya kekhususan tubuh, polio, dikenal dengan lukisan potret diri yang dikultuskan oleh sebagian feminis. Kehidupannya makin tragis ketika dia mengalami insiden kecelakaan yang merusak tulang belakangnya. 

Karya perupa dalam Disability Arts Biennale pertama ini terasa kurang terfokus dan seperti gado-gado karena panitia mencampur semua tema karya. Sukri menyatakan “pameran itu tidak menetapkan tema tertentu karena baru sebatas memberikan ruang ekspresi dan apresiasi seni rupa terhadap penyandang disabilitas di tingkat nasional ataupun internasional”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus