Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelari gunung Omar Agoes menjadi orang Indonesia pertama yang mengikuti dan menyelesaikan lomba lari di Gurun Sahara, Marathon des Sables.
Lomba lari ultramaraton di gurun pasir ini berlangsung selama enam hari dan menempuh jarak 250 kilometer.
Ia mendedikasikan larinya untuk pengasuhan berkualitas anak-anak yang menjadi yatim-piatu karena orang tua mereka terkena Covid-19
MEMBAWA tas punggung seberat 10,5 kilogram, Omar Agoes berlari melintasi Gurun Sahara di Afrika Utara selama enam hari pada 3-9 Oktober lalu. Pelari gunung (trail runner) 49 tahun itu menjadi orang Indonesia pertama yang mengikuti dan menyelesaikan Marathon des Sables, lomba maraton di gurun pasir terpanjang di dunia dengan lintasan sejauh 250 kilometer. Bertanding di kategori putra usia 40-49 tahun, Omar melangkahi garis finis pada Sabtu, 9 Oktober lalu. Ia mencatatkan waktu 53 jam 33 menit 53 detik.
Omar bercerita, di dalam tasnya terdapat satu kaus kaki dan dua baju ganti, bahan makanan berkalori tinggi untuk kinerja lari, dendeng, dan kacang-kacangan. Ia juga membawa sandal, kantong tidur, dan kompor. Selain itu, tak lupa ia membawa peralatan medis seperti plester, obat-obatan, hingga pompa penyedot racun. "Komponen paling berat itu makanan. Sehari makanan yang saya bawa harus memenuhi kebutuhan 2.000 kalori," kata Omar saat ditemui seusai latihan lari rutinnya di Jalan Senopati, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Oktober lalu.
Marathon des Sables (MDS) yang digagas oleh promotor konser dari Prancis, Patrick Bauer, adalah lomba lari terberat di dunia. Sebab, peserta dihadapkan pada berbagai tantangan selama mengikuti lomba, dari kelelahan, dehidrasi, hingga kaki melepuh. Omar mengatakan tantangan lomba lari ini tidak main-main. Selama enam hari mengikuti lomba, peserta harus memenuhi kebutuhan pribadi secara mandiri. Panitia MDS mengizinkan peserta membawa tas dengan bobot 6,5-15 kilogram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelari ultramarathon Indonesia, Omar Agoes ketika mengikuti lomba Marathon de Sables 1 Oktober hingga 11 Oktober 2021, di Ouarzazate, Maroko/Dok Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia hanya menyediakan air sebanyak 12-20 liter untuk setiap peserta per hari. Setiap kali peserta menyelesaikan satu dari enam etape, panitia menyediakan tempat istirahat berupa tenda yang dibuat dari terpal. Saat Omar mengikuti lomba, dia bercerita, suhu di Gurun Sahara mencapai 52 derajat Celsius. “Keadaan ekstrem tersebut membuat lebih dari separuh dari sekitar 700 pelari gagal mencapai garis finis,” ujarnya. “Yang tersisa sekitar 300 orang dan satu orang harus berpulang, meninggal,” tutur Omar, yang berprofesi sebagai bankir.
Omar mengatakan, dalam lomba, peserta kesulitan memakai dan melepas kaus kaki karena kaki terasa ngilu, bahkan sampai berdarah. Dia pun sempat mengalami dehidrasi hingga urinenya berwarna kecokelatan. Omar mengungkapkan, untuk mengantisipasi dehidrasi, dia harus mengonsumsi 12-15 kapsul elektrolit setiap hari. "Yang lebih berbahaya dari dehidrasi itu hiponatremia atau kondisi gangguan keseimbangan elektrolit. Ini yang paling sering membuat orang meninggal ketika mengikuti MDS," ucapnya.
Omar pun sempat ingin berhenti ketika air kencingnya berwarna cokelat. Ia khawatir ginjalnya bakal rusak permanen. "Pas ketemu tim medis malah dibilang kalau belum berdarah masih enggak apa-apa," ujarnya.
Omar membutuhkan persiapan matang untuk mengikuti lomba lari ini. Dia berniat mengambil bagian sejak lima tahun lalu. Guna mencapai tujuannya, dia pun berlatih lima hari dalam sepekan selama dua setengah tahun untuk mempersiapkan diri. “Ikut lomba juga ada dua persyaratan medis. Pertama harus sudah divaksin dengan merek yang masuk kategori mereka, yaitu Moderna, Pfizer, dan AstraZeneca. Kedua, memberikan hasil elektrokardiogram atau rekam jantung kurang dari tiga bulan sebelum event,” katanya.
Kini Omar menjadi orang Indonesia pertama yang sukses berlari menaklukkan Gurun Sahara. Dalam catatan resmi di situs Marathon des Sables, Omar menempati peringkat ke-240. Pelari asal Maroko, Rachid El Morabity, tampil sebagai yang tercepat di kategori pria dengan catatan waktu 21 jam 17 menit 32 detik. Ini kemenangan kedelapannya dan yang ketujuh secara berturut-turut sejak 2014. Posisi kedua diraih Mohamed El Morabity, yang menorehkan waktu 21 jam 32 menit 12 detik.
Omar tak hanya menorehkan sejarah sebagai orang pertama asal Indonesia yang berhasil menaklukkan Gurun Sahara dengan berlari. Dia mendedikasikan larinya untuk pengasuhan berkualitas anak-anak yang terkena dampak Covid-19 dalam pendampingan SOS Children’s Villages Indonesia. Tujuannya adalah menggalang dana bagi anak yatim-piatu di SOS Children’s Villages Indonesia agar mereka mampu bertahan melewati pandemi Covid-19.
Nama lengkap: Omar Agoes
Tempat dan tanggal lahir: Bogor, Jawa Barat, Maret 1972
Pendidikan: Bachelor of Science in Finance University of Utah, Amerika Serikat
Tinggi badan: 178 sentimeter
Berat badan: 74 kilogram
Pekerjaan: Bankir
Prestasi sebagai atlet:
• 2 kali mengikuti Pekan Olahraga Nasional di cabang olahraga layar
• Mitra tanding tim nasional layar Singapura
• Anggota tim layar J/24 dari Singapura yang menjadi juara IV dalam Kejuaraan Dunia J/24 2016
Prestasi di Ultramaraton:
• Finisher pertama Indonesia di Marathon des Sables 2021
• Finisher Ultra-Trail du Mont-Blanc 2017
• Finisher Run To Care Bali 2019
Omar mengatakan upayanya itu adalah bagian dari program lari amal Run To Care bersama SOS Children's Villages Indonesia. "Dari sisi sosial saya fokuskan ke anak yatim-piatu,” ujarnya. Omar menjelaskan, kesempatan mengikuti Run To Care Bali 2019 membuat dia mengetahui langsung kehidupan anak-anak di SOS Children's Villages. Dalam program lari ini, Omar berkontribusi untuk lebih dari 7.200 anak yang telah atau terancam kehilangan orang tua. “Wajah anak-anak yatim itu juga yang menjadi penyemangat saya untuk terus berlari hingga finis,” tuturnya.
Pelari gunung Indonesia, Arief Wismoyono, mengapresiasi capaian Omar menjadi orang Indonesia pertama yang mencapai garis finis dalam MDS. Arief menyebutkan tantangan ultramaraton yang telah 35 kali diadakan itu setara dengan Ultra-Trail du Mont-Blanc (UTMB), yang disebut sebagai lomba yang setara dengan Olimpiade bagi para pelari gunung dunia.
Arief, atlet Indonesia dengan capaian terbaik di UTMB lewat catatan waktu 35 jam 56 menit 29 detik, merasa tertantang mengikuti MDS. "Secara popularitas, MDS enggak kalah dari UTMB, tapi atlet Indonesia jarang yang mau ikut karena mahal banget. Bisa mengeluarkan berapa ribu dolar, harus punya sponsor kuat jika ingin berpartisipasi di MDS," ujar Arief saat dihubungi, Jumat, 29 Oktober lalu.
Selain masalah dana, Arief menambahkan, suhu yang bisa mencapai 50 derajat Celsius bisa menjadi tantangan tersendiri. Menurut dia, dibutuhkan mental kuat untuk bisa bersaing dan menaklukkan ganasnya rute di MDS. "Pelari gunung yang dapat podium di UTMB pas ikut MDS enggak bisa bersaing dan enggak bisa jadi juara. Kalau di UTMB, pelari Eropa udah terbiasa dingin, kalau MDS ini panas, jadi pasti hasil bakal beda," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo