Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Geraldus Munthe sudah begitu akrab dengan lupa. Ia kerap lalai menaruh barang sejak tiga tahun lalu. “Seperti obeng, saya ingat saya yang terakhir pegang, tapi saya lupa di mana menaruhnya,” kata pria 61 tahun yang bekerja di bengkel sepeda motor itu, Rabu, 13 November lalu.
Munthe harus menghabiskan banyak waktu untuk mencari barang-barang tersebut. Ia sudah berkeliling bengkel, tapi tetap tak menemukannya. Biasanya perkakas tersebut tak sengaja dijumpai oleh pegawai lain saat Munthe sudah menyerah.
Kejadian seperti itu sudah jarang terjadi sejak ia rutin memakan tempe setiap hari mulai Juli lalu. Munthe diajak menjadi subyek penelitian pengembangan probiotik asal tempe untuk mencegah penurunan fungsi kognitif pada orang lanjut usia yang dilakukan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Para peneliti yang terdiri atas dosen lintas fakultas itu memasok tempe untuk Munthe setiap minggu. Ia diberi jatah 100 gram tempe per hari yang boleh diolah menjadi makanan apa pun asalkan tidak digoreng terlalu kering. Istri Munthe biasanya memasaknya menjadi tempe goreng, dicampurkan ke dalam sayur, atau dimasak dengan kecap.
Setelah rutin mengkonsumsi tempe, memori Munthe membaik. Munthe terkadang masih lupa menaruh perkakas, tapi beberapa saat kemudian dia ingat tempat terakhir ia meletakkan barang tersebut. “Meski ada jeda waktu untuk mengingat, ini sudah lumayan,” ujar warga Kalideres, Jakarta Barat, itu.
Soen Meri, 68 tahun, yang juga ikut dalam studi tersebut, punya cerita mirip. Ia sebelumnya merasa tak punya masalah dengan memori. Tapi daya ingatnya jadi makin tajam setelah mengkonsumsi tempe setiap hari. Perempuan yang tinggal di Cengkareng, Jakarta Barat, itu jadi ingat beberapa kejadian puluhan tahun silam.
Ia, misalnya, tiba-tiba ingat sudah doyan tempe sejak usia 20-an. Waktu itu tetangganya, Anyuk, memasak tempe setiap hari. Semula ia mengira Anyuk sedang berhemat. Tapi, setelah tahu beberapa saudara Anyuk menjadi dokter, Soen jadi ikut-ikutan memasak tempe. “Jangan-jangan mereka jadi pintar karena makan tempe,” katanya.
Namun kebiasaan mengkonsumsi tempe berkurang sejak Soen menikah. Suaminya tak begitu suka penganan hasil fermentasi tersebut. Ia kembali rutin melahap tempe setelah diajak menjadi subyek penelitian mulai Juni lalu.
Para dosen Unika Atma Jaya yang melakukan penelitian penasaran terhadap manfaat probiotik alias mikroba yang dikandung dalam tempe. Banyak penelitian dunia yang menyimpulkan microbiome alias mikroba yang numpang hidup di tubuh kita ternyata mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Microbiome, terutama yang hidup di usus, sudah terbukti berhubungan dengan banyak penyakit, seperti diabetes, kanker, obesitas, peradangan kulit, autisme, ankylosing spondylitis, dan rheumatoid arthritis. Mikroba yang hidup di badan kita juga mempengaruhi kewarasan otak.
Maka salah satu cara menyehatkan fisik dan mental adalah dengan mengembangbiakkan microbiome yang bervariasi dalam usus. Makin bervariasi populasi microbiome, makin seimbang kesehatan usus kita. Salah satunya mengkonsumsi makanan berfermentasi yang mengandung mikroba bervariasi, seperti tempe.
Usus menghasilkan 9 dari 10 hormon serotonin yang menciptakan perasaan nyaman dan tenang. Menurut dosen Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya, Yogiara, hormon yang bisa membuat tenang tersebut dapat menembus dinding usus, berjalan ke aliran darah, masuk ke otak, dan mengendalikan hipotalamus supaya bisa mengelola stres. “Mikrobiotik dalam usus sering disebut sebagai otak kedua karena bisa mengendalikan mood,” ujarnya.
Para dosen tersebut menguji tempe, makanan tradisional Indonesia yang dibuat dengan cara difermentasi. Sejak dulu, tempe terbukti mengandung banyak mikroba. Mereka menguji apakah tempe bisa mencegah penurunan fungsi kognitif alias demensia pada orang lanjut usia.
Mereka meneliti 84 lansia. Para lansia ini dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama diberi tempe yang dibuat oleh pabrik higienis. Kelompok kedua diberi tempe yang dibuat di usaha rumahan. Sedangkan kelompok ketiga tak diberi tempe. “Kelompok ketiga menjadi grup kontrol,” tutur peneliti senior Yvonne Suzy Handajani.
Jumlah Penderita Demensia di Indonesia
Setiap bulan, mereka mendatangi para lansia tersebut untuk melakukan tes kognitif. Ada beberapa metode uji yang mereka gunakan, yakni Mini Mental State Examination untuk mengukur atensi-kalkulasi, orientasi, memori, bahasa, konstruksi, dan registrasi; Boston Naming Test untuk menguji fungsi bahasa; Verbal Fluency untuk mengukur kemampuan bahasa; Visiokonstruksi untuk menguji pemahaman tentang ruangan; serta Word List Memory Immediate Recall untuk mengukur memori.
Hasil penelitian tahap pertama (6 bulan), yang diluncurkan Rabu, 13 November lalu, menyatakan ada peningkatan kemampuan kognitif pada para lansia yang mengkonsumsi tempe dibandingkan dengan yang tidak. Jika antarkelompok yang mengkonsumsi tempe itu dibandingkan, fungsi kognitif global dan fungsi bahasa mereka yang mengkonsumsi tempe buatan pabrik lebih meningkat. “Tempe buatan pabrik lebih berpengaruh pada peningkatan fungsi kognitif,” kata Yvonne.
Para peneliti belum bisa menjelaskan penyebab perbedaan pada mereka yang mengkonsumsi tempe pabrik dan tempe yang diproduksi di rumah. Namun Yogi mencurigai kemungkinan faktor variasi mikroba yang dikandung dua tempe tersebut. “Ke depan, penelitian kami mengarah ke sana,” ujarnya.
Yvonne mengatakan tempe yang semula dikhawatirkan akan menyebabkan asam urat naik--yang membuat sebagian subyek penelitian sebelumnya mundur--ternyata tak terbukti. Dalam diskusi kelompok, para subyek penelitian justru mengatakan tidur mereka lebih pulas dan kondisi badan mereka jadi lebih enak.
Soen Meri juga merasakan hal ini. Kondisi badannya jauh lebih enak setelah ia kembali rutin memakan tempe. Asam uratnya pun tetap stabil.
Dari hasil penelitian tersebut, Yogi menyarankan masyarakat rutin mengkonsumsi makanan berfermentasi, terutama tempe jenis apa pun. Tempe boleh dimasak dengan cara apa saja asalkan tidak digoreng terlalu kering, misalnya dibuat keripik, karena akan sangat merusak mikroba yang tumbuh di sana.
Dokter spesialis saraf Yuda Turana mengatakan demensia juga bisa diperlambat dengan rutin melakukan stimulasi otak lewat kegiatan sosial, seperti mengunjungi teman, jalan-jalan, ikut kegiatan keagamaan, dan berolahraga. Mereka yang sering melakukan kegiatan sosial terbukti lebih tak cepat pikun dibandingkan dengan mereka yang tak aktif. “Kita tak dapat menghentikan, tapi bisa memperlambat proses penuaan,” katanya.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo