Malam di ujung canting itu menetes lebih cepat dari yang dia duga. Jatuh di atas helai kain yang tengah dipegangnya, cairan berwarna cokelat itu terserap di luar garis motif kaligrafi yang sudah dibuat. Bentuknya persis seekor ulat bulu. "Aduh, bikin ulat bulu lagi," teriak Pungki Surachim, pemilik kain itu, gemas. Sudah sebulan lebih Pungki, 37 tahun, masuk kelas batik di Museum Tekstil, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Wanita ini tengah cuti dari pekerjaannya sebagai staf administrasi di San Francisco State University di California, Amerika Serikat. Dan Pungki menghabiskan liburan musim panasnya dengan belajar membatik. Katanya: "Membatik itu membawa ketenangan."
Pungki bertekad, bila sudah mahir dia kelak akan membuka kelas batik di lingkungan tempat tinggalnya di Oakland, AS. "Hitung-hitung promosi negeri sendiri," ujarnya kepada TEMPO seraya terus memainkan canting. Pungki hanya satu dari puluhan murid yang memenuhi ruang-ruang kursus batik di museum tersebut. Pengajarnya adalah pegawai museum. Kelas dibuka pada setiap hari kerja.
Alhasil, saban pagi, di halaman dan teras bangunan abad ke-19 itu belasan orang berkerumun mengelilingi kompor dengan wajan berisi malam alias lilin panas. Sesekali mulut mereka meniup canting—agar cairan malam tak macet di ujung canting—lantas menorehkannya di atas kain yang tergantung di gawangan (dudukan tinggi dari kayu untuk menyampirkan kain).
Kegiatan untuk para pembatik amatir ini ternyata kian menjadi tren yang digemari di kota besar macam Jakarta. Tahun ini saja, misalnya, Museum Tekstil sudah menerima hampir seribu murid. "Kami sampai kewalahan," ujar Tukiran Effendi, Kepala Seksi Edukasi dan Tata Pamer Museum Tekstil, kepada TEMPO. Kebanyakan wanita, murid-murid ini datang dari berbagai latar belakang. Mahasiswa, ibu rumah tangga, profesional, pengusaha. Di daerah, menurut Tukiran, kaum lelaki pun banyak yang tertarik masuk kelas batik.
Apa saja yang diajarkan untuk para pembatik amatir ini? Ya, segala rupa teknik membatik. Dari filosofinya, motif, teknik memakai canting, hingga pewarnaan alam. Biayanya terhitung murah. Satu paket—seluruhnya ada empat paket, dari dasar sampai lanjutan—cuma Rp 150 ribu per orang. "Kami kan lembaga non-profit. Biaya itu pas saja untuk beli alat," Tukiran menjelaskan. Sejak dibuka tiga tahun lalu, animo peserta terus meningkat. Padahal mereka tak punya ruang kelas khusus.
Nah, alasan orang belajar seni membatik juga bermacam-macam, dari iseng mengisi waktu hingga membuka bisnis usaha. "Awalnya, saya hanya ingin tahu saja," kata Novianti Kusumaningrum, 33 tahun, sekretaris di perusahaan pulp milik seorang konglomerat terkenal. Novi khatam kursus dua tahun lalu. Kini ia menyebut dirinya "lumayan" mahir. Keterampilannya itu dia manfaatkan untuk membuat berbagai kain batik yang dia butuhkan.
Sepulang kantor, bila tak ada kesibukan, ia membatik. Di rumahnya tersedia lengkap alat-alat membatik, dari gawangan, berbagai jenis canting, kompor, hingga leredan (kotak pencelupan dari kayu) kecil. "Kalau kainnya lebar, pencelupannya saya lakukan di museum," dia menjelaskan. "Saya juga memanfaatkan ilmunya," tuturnya lagi. Kini, wanita yang semula tak paham batik ini mampu menjadi penikmat batik yang kritis. Ia bisa membedakan mutu batik: yang kuno, asli, atau kodian.
Hobi ini juga mengalirkan berkah tak terduga bagi wanita muda ini. Beberapa kali ia diminta menjadi pembatik dalam pameran Indonesia di Timur Tengah dan Jepang oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
"Kalau pembatik asli, ya, simbok-simbok itu," katanya sembari tergelak. Selain tidak bisa berbahasa Inggris, tentu kurang "menjual" memamerkan simbok-simbok di negara orang.
Berkat pendidikan di Museum Tekstil, Novi juga berhasil mengembangkan metode pembuatan batik sebagai terapi psikologis untuk kaum profesional. " Dari cara orang mengolesi garis dengan malam, bisa terlihat karakter orang, apakah ia tipe pemimpin, kreator, atau pekerja," ujarnya. Temuannya itu kini dipakai oleh sebuah perusahaan pelatihan outbound.
Usia bukanlah batasan bila ingin belajar membatik. Suliantoro Suleman, 69 tahun, adalah contohnya. Dosen filsafat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengaku kini merasakan nikmatnya membatik, walau sejak kecil dia telah akrab dengan tradisi batik. Ibu dan neneknya piawai menorehkan canting, tapi Suliantoro tak mewarisi keterampilan itu. Selama bertahun-tahun dia merasa cukup dengan membeli batik di pasar. "Setelah tua, saya menyesal tidak bisa membatik," ujarnya.
Akhirnya, dia memutuskan untuk belajar. Seorang guru dipanggil untuk mengajar privat di rumahnya yang asri di Jalan Pakuningratan. Agar meriah, dia mengundang anak, cucu, hingga ibu-ibu tetangga. Setelah menguasai teknik membatik, Ibu Dosen makin kesengsem. "Saya baru sadar, ternyata membatik bisa menjadi terapi," ungkapnya. Suliantoro menemukan aktivitas membatik amat positif bagi ibu-ibu, terutama yang anaknya sudah mandiri. "Mereka punya banyak waktu luang. Membatik membuat mental menjadi tenang dan produktif," ujarnya.
Lebih dari itu, Suliantoro kini malah "kebablasan". Ia aktif mendorong kegiatan membatik di sejumlah tempat. Wanita sepuh ini bahkan dipercaya menjadi pengurus Dewan Kerajinan Nasional Yogyakarta. Suliantoro pun menyebarkan 400 potong bahan batik mentah kepada kelompok ibu-ibu di lima kabupaten dan kota di Yogya. Kain mori yang sudah diberi motif itu hanya tinggal dicanting dan diproses menjadi kain batik. "Selain mendidik, saya sekaligus ingin melihat seberapa besar keahlian membatik ibu-ibu di desa," ia menandaskan. Dulu wanita Jawa, ujarnya, identik dengan membatik. Suliantoro mengaku kelak ingin menggelar pameran batik karyanya. "Ini sekaligus menjadi tolok ukur keberhasilan belajar membatik saya," katanya.
Yogya bukan satu-satunya kota yang menggelar kelas-kelas batik di Jawa Tengah. Solo juga punya reputasi dalam menularkan ilmu perbatikan. Adalah perusahaan batik Danar Hadi yang membuka kelas membatik sejak enam tahun lalu. Disebut Batik Course, program ini dikemas sebagai paket wisata budaya terpadu. Karena itu, kelas membatik hanya diadakan bila ada kunjungan turis. Syaratnya lebih rumit dibanding kelas batik di Museum Tekstil.
Antara lain, peserta minimal 30 orang dan biaya kursus mencapai Rp 500 ribu per orang. Kelas berlangsung selama lima hari nonstop. Kelas untuk para turis ini banyak tersebar di Yogya. Dan ini dia: peluang bisnis bisa lahir dari kelas-kelas ini. Titik Suryanto, pengasuh Batik Course, menuturkan bahwa beberapa dari ratusan turis asing yang kursus di sana kemudian membuka toko dan menggelar workshop batik di negaranya. Sebut saja Rudolf Smend, yang mendirikan Galeri Smend di Koln. "Galeri Smend bahkan dibuka oleh Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 2002 lalu," ujarnya.
Kembali ke soal terapi psikologis yang bisa disalurkan dalam kelas-kelas batik, desainer Carmanita menjelaskan bahwa hal itu lahir dari sifat batik sebagai suatu "seni keterampilan". Menurut Carmanita, "Membatik amat membutuhkan keterampilan tangan." Batik identik dengan ketelatenan—dan bisa melatih orang menjadi sabar dan tenang.
Alhasil, di tengah Jakarta dan kota-kota besar yang riuh, sibuk, dan mudah melahirkan stres, membatik—memainkan canting dan malam—bisa menjadi perintang waktu yang menyegarkan batin dan pikiran.
Arif A. Kuswardono, Imron Rosyid (Solo), Heru C. Nugroho (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini