Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Afghanistan Azerbaijan
Fakta konkrit pengorbanan
Puing mortir
Jadi souvenir
Kenang-kenangan sebuah kekuasaan...."
Lirik lagu Lapangan Merah yang ditulis Fariz R.M. pada tahun 1990 tentang konflik di Afganistan berkumandang lagi di pentas pertunjukan Zaman Emas Fariz R.M., Kamis malam 21 Agustus, di Plennary Hall, Jakarta Convention Center. Lagu yang dirilis tahun 1990 pada album grup Wow, Rasio dan Misteri, ini dibawakan oleh sisa personel Wow, Fariz R.M. (drum), Musya Joenoes (gitar), serta didukung gitaris yang paling sering mendukung proyek rekaman Fariz, yaitu Eet Syahrani dan Arry Shaf (vokalis Baron Band), menggantikan dua personel asli Wow, Iwan Majid (vokal, keyboard) dan Darwin B. Rachman (bas).
Bisa jadi Lapangan Merah merupakan satu-satunya lagu dari repertoar Fariz R.M. Yang menyelinap ke wilayah lain: politik. Padahal tema-tema yang memihak pada kritik sosial sebetulnya cukup banyak bertebaran di album-album solo Fariz ataupun sederet grup musik yang pernah didukungnya, semisal Mereka di Jalan, Sirkus Optik & Video Game (Symphony), Jerit Jakarta (album solo Peristiwa 1981-1984), atau lagu-lagu yang terdapat pada album Revolusi, Ular, Hiu & Cenderawasih (Fariz R.M. Group, 1994).
Juga di saat Fariz R.M. berkolaborasi dengan Renny Jayoesman dalam album Tabu (1994), yang liriknya antara lain merupakan kontribusi dari Noorca M. Massardi dan Yudhistira A.N.M. Massardi. Pada akhirnya, publik lebih banyak mengetahui jatidiri Fariz lewat lagu-lagu bernuansa asmara seperti Sakura, Barcelona, Persimpangan, atau Di Antara Kita. Tapi, tak bisa dimungkiri, khazanah musik Fariz R.M. memang laksana bianglala, sarat warna.
Fariz, yang akrab dipanggil Bule ini, dengan luwes berlenggang dari satu jenis musik ke jenis musik lainnya. Dia membawakan tema disko, jazz, rock, blues, hingga new age, tanpa sedikit pun terkesan "maksa". Ini salah satu keunggulan putra bungsu pasangan Roestam Moenaf dan Anneke Moenaf itu yang rasanya jarang dimiliki pemusik negeri ini. "Dia itu genius, cepat menyerap sekaligus meng-create. Itu sejak lama saya perhatikan, ketika dia datang bermain ke rumah saya di Pegangsaan dengan bercelana pendek. Bule sering ber-jam session dengan kedua adik saya, Oding dan Debby," kisah Keenan Nasution, pemain drum yang kemudian mengajak Fariz mendukung album solo perdananya, Di Batas Angan-Angan (1978).
Pergaulan Fariz dengan lingkungan pemusik Pegangsaan seperti Nasution Bersaudara dan Chrisye mau tidak mau membuat wawasan musiknya semakin bertambah. Apalagi ketika duduk di bangku SMA III, Jakarta, Fariz bersama teman-temannya seperti Raidy Noor, Adjie Sutama, Addie M.S., dan Iman R.N. bernaung di bawah Vocal Group SMA III, yang sempat berprestasi di ajang Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1977. "Tiga lagu karya anak SMA III, yaitu Angin, Akhir Sebuah Opera, dan Di Malam Sang Sukma Datang, berhasil masuk 10 besar lagu terbaik," tutur Keenan Nasution, yang saat itu bertindak sebagai salah satu juri.
Dari rentang 1977 hingga sekarang, ada benang merah yang bisa ditarik dari perjalanan musikal Fariz: eksplorasi dan semangat berkolaborasi. Dua hal inilah yang memicu karya-karyanya bak puspa ragam. Ia termasuk "berani" melakukan hal-hal musikal yang sebelumnya tak pernah dijangkau orang. "Saya adalah pemusik pemikir," ujar pemusik yang sejak usia delapan tahun telah belajar piano klasik pada Prof. Charlotte J.P., guru piano ibunya, itu.
Sosoknya mulai dilirik orang ketika merilis album Sakura (Akurama, 1980), yang semuanya dilakukannya sendiri. Bayangkan, di album ini, dengan sistem rekam overdubbed, Fariz memainkan berbagai instrumen, seperti drum, kibor, gitar, bas, perkusi, sendirian. Bisa jadi Fariz terinsiprasi Stevie Wonder atau Mike Oldfield, pemusik yang bermain tunggal dalam sejumlah album rekamannya. Warna musiknya pun fresh dan groovy.
Di saat tren musik di negeri ini masih terbuai dalam balada yang mendayu-dayu, Fariz malah menawarkan konsep musik yang danceable ala Earth Wind & Fire dengan penonjolan pada aransemen brass section sebagai aksentuasi dan teknik bernyanyi falsetto. Setahun kemudian, Fariz R.M. membentuk grup Transs, yang personelnya antara lain Erwin Gutawa, pemusik yang sekarang banyak dikaitkan dengan aransemen berbau orkestral. Dengan Transs, Fariz menawarkan konsep musik fusion, yang akhirnya membuat sejumlah grup musik terinspirasi untuk menggarap musik fusion, yang memadukan jazz dan rock. Transs adalah grup yang maunya beridealisme tinggi. Ini terlihat dari kalimat yang tertera pada sampul album Transs, Hotel San Vicente (1981): "pembaharuan musik Indonesia dalam warna, personalitas, dan gaya". Boleh jadi kalimat itu berkonotasi gagah-gagahan belaka. Namun patut diakui, sejak pemunculan Transs, mulailah muncul grup-grup fusion seperti Krakatau, Karimata, Emerald, dan lain-lain.
Tak cukup setahun, Fariz telah siap dengan formasi Symphony, grup yang banyak memainkan warna new wave dengan mengandalkan tekstur bunyi synthesis seperti yang dimainkan The Police atau Duran-Duran. Di tahun 1983, Fariz menggandeng Iwan Madjid dan Darwin B. Rachman dalam Wow. Kali ini mereka memainkan musik rock progresif, yang mengacu ke grup musik rock progresif legendaris Yess dan Emerson Lake and Palmer.
Masih belum cukup? Fariz lalu berbaur dengan pemusik jazz, antara lain berguru dengan almarhum Jack Lesmana. Bersama Candra Darusman, Fariz ikut mendukung kelompok jazz Lima Sekawan, yang kerap tampil di TVRI pada acara Nada & Improvisasi yang digagas Jack. Bahkan Fariz sempat membentuk grup GIF (Gilang Ramadhan, Indra Lesmana, Fariz R.M.) di pertengahan tahun 1980-an. Trio ini sempat tampil dalam album solo Indra Lesmana, Tragedi (1985). Ia juga membuat album pop jazz untuk penyanyi jazz Jacky, Gairah Baru (1980), dengan menggaet pemain drum jazz Karim Suweilleh.
Berbagai macam band telah dimasukinya, dari Kharisma (grup vokal yang dibentuk Harry Roesli), Giant Step, sampai The Rollies, yang kesemuanya berbasis di Bandung, karena pada tahun 1978-1980 Fariz tercatat sebagai mahasiswa ITB jurusan seni rupa, hingga ke grup-grup yang rata-rata lebih banyak berkutat di studio rekaman macam Jakarta Rhythm Section, Superdigi, Rikardo Batista, dan entah apa lagi. Juga termasuk rajin melakukan kolaborasi seperti Miracle bersama Mus Mujiono dan Utha Likumahuwa, atau Kelompok 7 Bintang bersama Deddy Dhukun, Mus Mujiono, Jopie Latul, Trie Utami, Atiek C.B., dan Malyda
Dalam catatan, Fariz telah menghasilkan lebih dari 15 album solo serta sekitar 90 lebih album dalam bentuk grup ataupun kolaborasi serta genre musik yang berbeda. Dia juga ikut menggarap musik sejumlah album penyanyi solo, dari Emilia Contessa, Achmad Albar, Andi Meriem Mattalata, Nourma Yunita, Delly Rollies, Jimmy Manoppo, Gito Rollies, dan sederet panjang lainnya. Fariz pun tercatat paling banyak melakukan duet dengan penyanyi wanita seperti Iis Sugianto, Anita Carolina Mohede, Neno Warisman, Marissa Haque, Nourma Yunita, Renny Jayoesman, Yanti Noor, Titi D.J., Malyda, termasuk Janet Arnaiz, penyanyi dari negeri tetangga Filipina.
Saat itu, tepatnya di era 1980-1990-an, banyak kritikan yang menuding Fariz tidak serius dalam bermusik karena terlalu banyak keluar-masuk kelompok musik dan over-exposed. Tapi Fariz punya jawaban yang serius pula: "Saya ingin bereksplorasi sekaligus memperluas wawasan bermusik." Rasanya jawaban ini memang tidak sekadar kilahan semata, tapi punya makna yang luas. Apalagi kontribusi Fariz dalam konstelasi musik Indonesia termasuk pilar yang menopang keberadaan musik pop itu sendiri. Sadar atau tidak, Fariz telah banyak menorehkan tren musik tertentu di khazanah musik negeri ini. Dia tetap memburu sesuatu yang baru. Mungkin ini tersirat dalam lirik lagu Selangkah ke Seberang.
Selangkah ke seberang, arah citaku ini
Selangkah ke seberang arah terungkap dalam diri...
Akankah Fariz tetap "melangkah" di saat usianya kini telah bertambah?
Denny Sakrie, pengamat musik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo