Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Yang Ingin Bertahan dalam Hidup dan Musik

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nun awal tahun 1980-an, panggung musik populer Indonesia yang penuh sesak itu bak langit Jakarta yang bertaburan bintang. Fariz Roestam Moenaf adalah salah satu bintang yang sinarnya tampak paling mencorong ketika ia meluncurkan album Sakura (1980), yang membuat remaja tahun 1980-an histeris. Dia lelaki tampan berkulit putih, bersuara unik, menguasai beberapa alat musik, produktif mencipta lagu, dan asyik tanpa sungkan menjahit lagunya dengan pengaruh dari band The Police hingga irama Latin. Namun, di awal 1990-an, sang bintang tampak seperti "tertembak" nasib buruk dan jatuh meluncur, melorot ke bumi. Karena itu, semua penggemarnya ingin tahu bagaimana sang bintang bisa "lahir kembali" dalam konser Zaman Emas Fariz R.M., sebuah konser yang digelar Wens Production dan Five Production untuk merayakan pesta perak (25 tahun) karier bermusik Fariz. Pagi itu, ketika matahari tak terlalu garang pada Jakarta, TEMPO kemudian mendapat kesempatan mengikuti sang bintang sehari menjelang pementasan. Di kawasan Bintaro Jaya yang nyaman, Fariz dan istrinya, Oneng Diana Riyadini, sibuk menyiapkan sejumlah perlengkapan seperti kostum pementasan dan sepatu yang akan dibawa. Fariz akan check in ke Hotel Hilton menjelang pertunjukan. Pagi itu, Fariz memulai hari dengan menyeruput segelas air rebusan temulawak di meja makan. Sebelumnya, dia menikmati setangkup roti isi keju. Itulah sarapannya sehari-hari karena, "Mas Fariz selalu sarapan roti, tidak terlalu suka makan nasi," tutur Oneng. Lalu temulawak itu apaan? "Kalau temulawak ini obat," jawab Oneng. Sudah beberapa tahun Fariz rajin mengkonsumsi air temulawak plus air kelapa hijau untuk menyembuhkan penyakitnya. Pada 1994, Dokter Pudji Rahardjo, ahli penyakit dalam, telah menvonisnya terkena penyakit kanker hati. Pada tahun-tahun itulah bobot tubuh Fariz menurun drastis. Pipi cekung dan rambut yang memutih kemudian seperti menyulap wajahnya yang rupawan menjadi sehelai tubuh yang renta. Ini memang mengejutkan bagi para penggemarnya, yang dulu bukan hanya histeris karena lagunya, tapi juga karena wajahnya. Agaknya mereka inilah yang bakal menjadi penonton terbesar konsernya. "Saya sebenarnya ingin dihargai bukan semata karena profil, tapi karena karya musik saya," kata Fariz kepada TEMPO. Saat divonis sakit, Fariz sempat diperkirakan tak berumur panjang, hanya sampai tahun 2000. "Begitu tahun 2000 datang, saya telepon dokter. Saya bilang, 'Dok, alhamdulillah, saya masih hidup, masih bernapas'," kata Fariz seraya terkekeh. Fariz memang bersikap terbuka soal penyakit yang dideritanya. Ia juga tak menutup-nutupi kabar kebiasaannya mengkonsumsi narkoba yang diduga banyak orang yang membuat bobot tubuhnya menyusut. "Saya tidak munafik, dulu saya memang memakai ganja. Waktu muda dan masih gila. Tapi orang kan berubah. Banyak yang menjadi pertimbangan. Salah satunya karena keluarga. Apalagi barang-barang seperti itu yang sekarang beredar, kandungannya sudah enggak jelas lagi. Saya tidak mau memakai sesuatu yang tidak saya ketahui," katanya. Fariz menolak pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa narkoba bisa meningkatkan kegairahan dalam berkarya. "Bohong besar kalau kita nenggak minuman keras dan pakai barang begituan bisa asyik bermusik. Bermain musik itu kan butuh konsentrasi. Bagaimana kita bisa mendapat atmosfer asyik di panggung atau bikin lagu kalau kita lagi fly?" katanya meninggi. Semangat menjalani hidup menjadi resep bertahan Fariz hingga usia 44 tahun ini. Tak aneh, beberapa bulan lalu Fariz menyambar tantangan sejumlah teman untuk menggelar konser besar ini. Moesja Joenoes, gitaris band WOW, salah satu rekan yang paling rajin memprovokasi Fariz. Di mata Moesja, Fariz adalah musisi komplet. Dia tidak hanya bisa menyanyi, tapi juga memainkan instrumen dan mengkompos lagu dengan baik. "Dia layak untuk naik pentas musik sebesar ini. Karyanya hit dan melegenda," ujar Moesja dalam kesempatan terpisah. Moesja kini sibuk mengelola Radio Delta FM, Jakarta. Dialah satu-satunya rekan musisi lama selain Eet Sjahranie yang digandeng Fariz untuk naik pentas bersama. Sebelum berangkat pagi itu, Fariz menyempatkan diri pergi ke rumah sang ibunda, Nyonya Roestam Moenaf, yang tak jauh dari rumahnya. "Saya mau pamit sama Mami dulu, sekalian tukar mobil," kata Fariz. Sesudah mencium tangan Ibunda, kami meluncur ke Hotel Hilton, menyeruak di antara kemacetan daerah Bintaro. Sambil mengemudikan mobil Mitsubishi Kuda bercat merah, ayah dari tiga anak (si kembar Ravenska dan Rivenski, yang berusia 12 tahun, dan Syavergio Avia Difaputra, yang berusia 5 tahun) ini memaparkan perasaan harunya melihat sikap penggemarnya yang antusias dengan konser ini. "Di jalan, kalau saya bertemu masyarakat, mereka selalu tanya, kapan konsernya," kata Fariz. Semula dia agak khawatir karena minim sponsor. Tapi pers begitu gencar memberitakan rencana konser ini. "Saya selalu yakin, di tengah kesempitan, Tuhan selalu memberikan nikmat," ujar Fariz, yang telah menunaikan umrah dua kali ini. Fariz mempersiapkan konsep konser dengan matang, dari memilih lagu apa yang akan ditampilkan hingga dengan siapa saja lagu itu akan dinyanyikan. Yang beruntung dipinang menjadi penyanyi tamu di antaranya Reza, Katon Bagaskara, Syaharani, dan Sherina. Bersama sang keponakan, Sherina, Fariz menyanyikan tembang Tak Padam Tertiup Zaman. "Sherina itu luar biasa bakatnya," tutur Fariz. Pentas duet paman-keponakan ini sebagai wujud amanah mendiang ayah Fariz, Roestam Moenaf, yang ingin melihat Fariz berduet dengan Sherina. Ketika tengah hari, mobil yang kami tumpangi masuk pelataran parkir Hotel Hilton. Fariz mengurus untuk check in ke meja resepsionis sembari menjinjing tas hitam berisi keyboard, lalu meluncur ke lantai 10. Di dalam kamar, sambil menunggu jadwal latihan malam itu, ia masih menyempatkan diri memeriksa kembali urutan lagu yang akan dibawakan Kamis malam. Dwiki Dharmawan didapuk Fariz untuk mengaransemen hampir 20 tembang ciptaan Fariz yang akan ditampilkan malam itu. Hampir semuanya terhitung hit, seperti Kurnia Pesona, Sakura, Barcelona, dan Renungan. "Saya merasa sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti. Tapi tak ada salahnya dicek ulang. Saya takut, apakah yang saya sajikan di konser nanti bisa diterima dan dinikmati dengan baik oleh penonton," ujarnya menutup pembicaraan. Dan kekhawatiran Fariz ternyata tak terbukti. Tepukan riuh selalu saja diberikan oleh hampir 3.000 penonton yang menyesaki Jakarta Convention Center pada setiap akhir lagu.

Telni Rusmitantri


Fariz Roestam Moenaf

Nama Panggung

  • Fariz R.M.

    Tempat dan tanggal lahir

  • Jakarta, 5 Januari 1959

    Album

    Album original soundtrack

  • Badai Pasti Berlalu (1977)
  • Sakura (1980)

    Album dengan grup Transs

  • Hotel San Vicente (1981)

    Album dengan grup Symphony

  • Trapezium (1982)
  • Metal (1983)
  • Normal (1984)

    Album dengan

  • grup Jakarta Rhythm Section
  • Reinkarnasi (1984)
  • Aku Harus Pergi (1985)

    Album dengan grup Super Digi

  • Pandang Matamu (1985), bersama Nourma Yunita

    Album solo

  • Panggung Perak (1981)
  • Living in the Western World (1986)
  • Do Not Erase (1987), bersama Neno Warisman
  • Dua Dekade (2001), bersama Syaharani
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus