Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Catatan harian tukang kasur

Pengalaman tukang kasur, endang permana, 22. tahun 1966 minggat dari pgap garut, karena bujukan temannya. pernah jadi juara ii mtq garut. tiap hari berkeliling sejauh 15 km.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari yang terik di Tanjung Priok, seorang anak muda dengan muka letih berlepas lelah di pingBir kali. Kepalanya terbenam dalam topi anyaman, tapi tahi lalat besar di pipinya masih jelas kelihatan. Tubuhnya kecil tetapi kuning. Formatnya ini menyebabkan ia terkenal dengan julukan "Jepang Kecil". Tetapi akan ketahuan nanti, sebagaimana umumnya orang bertubuh kecil, justru dalam wadah yang alit itu tersimpan ambisi atau kemauan yang besar. Namanya Endang Permana. Umur 22 tahun. Kelahiran, plus KTP, Garut. Ia bekerja sebagai tukang kasur. Protesi yang meman8 merupakan tujuan utamanya ketikamulai urban ke Ibukota. "Tahun 1966, waktu saya baru saja masuk PCAP (Pendidikan Guru Agama tingkat Pertama red) teman karib saya datang ke rumah lalu mengajak saya ke Jakarta. Karena bujukan uang yang membuat saya silau, saya mau," kata Endang kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. "Habis waktu itu saa kan masih kecil iadi gampang tergoda." Dami Kesehtan Tak banyak pertimbangan lagi Endang membonceng temannya mengadu nasib di Ibukota. Tugasnya mula-mula membantu mengisi kain kasur. Tapi pekerjaan ini hanya bisa memukaunya selama I minggu. Mungkin karena sebe lumnya ia sudah terbiasa bekerja dalam lingkungan yang lebih penuh variasi. Ia pernah bergabung dengan Orkes Gambus Al Hidayah, kemudian Jass Rany akhirnya Aneka Irama. Di samping mengandalkan suara, ia juga memetik mandolin, bas dan gitar. Operasinya. di radio-radio amatir terus ke pelosok gunung di tanah Garut, telah menanamkan jiwa bertualang dan kebiasaan hidup enak. "Makanya jadi pembantu tukang kasur terus-terusan nggak enak," kata Endang. "Saya putuskan bisa berdiri sendiri. Dan akhirnya saya memang tidak tergantung dari teman saya!". Endang mestinya tidak perlu jadi tukang kasur. Hidup keluarganya bolell dikatakan cukup, kalau tidak malahan lebih dari cukup. Saudara-saudaranya pada jadi orang. Ada yang kerja baikbaik di Ancol, ada yang jadi polisi, ada juga yang berpangkat. Tapi Endang ini memang a8ak malas sekolah - lebih merasa bahagia pegang duit dari pegan buku. Anehnya lagi, ia toh masih menyebut keahliannya mengisi kain kasur hanya sebagai kerja sambilan. Yang dianggapnya kerja pokok adalal kesibukannya selarna seminggu dalam satu bulan yang diserahkannya di toko mebel. Di sana ia mencat, memelitur, mengelas dan sebagainya. Tiga minggu selebihnya ia mengangkat tongkat di pundak - digantungi kain bergaris-garis sambil berkoar: "Kasur! Kasurrrr!" Endang menyediakan kain kasur dan tenaga, sementara para langganan yang berminat memberikan kapok. Kalau lagi mujur, dua sampai tiga stel kain bisa amblas satu hari. Satu stel ia ambil untung sampai Rp 1.000. Rekor yang pornah dipecahkannya mencatat Rp 1 ribu. Tapi kalau lagi malang, sampai 2 hari mondar-mandir dengan mulut pegal berteriak, langganan tak muncul-muncul. Rumahnya di Warakas Priok, yang ditinggalkannya pukul 6 pagi untuk kembali pukul 6 snre, tak solamanya melihat pemuda ini berwajah cerah. Dengan jarak tempuh 17 km setiap hari, sering ia kelihatan capek. Untuk menambah umur setiap tiga hari ia mengharuskan tubuhnya minum jamu telur campur madu. Dan karena ia sebenarnya bukan tukang kasur bakat ahli maka di meja di rumahnya terlihat botol vitamin B1, B12, B Kompleks dan vitamin C. "Demi kesehatan, mas," ujar Endang. Orang Gedongan Bila kita memapas seorang tukang jual kain kasur, penghidupan itu tampaknya mustahil. Rasanya sia-sia: melintas masuk kampung ke luar kampung mencari-cari orang yang pingin punya kasur. Sebuah kasur biasanya makan waktu bertahun-tahun sebelum benar-benar harus diganti, bukan? Tapi Endang sudah membuktikan: ini pekerjaan yang cukup enak, meskipun memang berat -- harus berani memapas panas pada musim kemarau dan hujan kalau musim hujan. Endang harus jalan terus. Berhenti berarti macet. Akibatnya betis mungkin jadi keras kemungkinan sakit pun banyak. Kalau sudah begini, Endang cepat-cepat pulang ke kampung, sebagaimana juga dilakukan oleh 3000 orang rekan-rekannya yang berada di Priok. Satu kali Endang merasa tubuhnya gawat. Ia ambil langkah mudik. Tapi sampai di Bogor, perasaannya mendingan. Namun ia teruskan juga perjalanannya. Sampai di Bandung tiba-tiba saja geringnya musnah. Ia merasa keras dan girang kembali. Jakarta, yang semula terasa sebagai neraka, tiba-tiba kembali memanggil. Sebagai seorang yang gemar lagu-lagu Kus Plus yang menyanyikan Jakarta: " . . . ke Jakarta aku kan kembali, walau apapun yang terjadi . . .", Endang segera membatalkan niat mudik. Balik ke Jakarta untuk mengumpulkan duit. Mengambil Rp 1 ribu untuk setiap 1 stel baik dari rumah kampung maupun rumah gedongan. Jangan disangka rumah gedongan lebih subur dari rumah kampung --dari segi ekonomi tukang kasur. Satu kali Endang pernah nyap-nyap. Ia dapat pesanan dari penghuni gedung mewah yang punya mobil mahal dan peralatan lux. Melihat suasana rumahnya saja Endang sudah ngeri, apalagi pemilikllya tampak garang. Jepang Kecil berusaha bekerja dengan hati-hati sekali. Sementara diam-diam dalam hatinya muncul harapan: barangkali akan dapat tip lumayan. Ia bekerja tekun, rapih dan berharap. Toh sampai tengah hari tak ada yang mengulurkan sedikit air teh atau air putih kepadanya. Selesai bekerja, Endang masih berusaha memberi servis memuaskan dengan menolong membersihkan rumah dari kapok-kapok yang belepotan. Tapi waktu ia minta tolong diambilkan sapu pada anak juragan, tuan kecil itu membentak: "Eh, abang kok berani-berani suruh saya!" Hati Endang langsung mengkeret, karena sakil. Lebih kacau lagi, tatkala pemhayaran ditunda baru akan dibayar sore harinya itu pun kalau nyonya narik arisan. "Orang gedongan kok gitu !" Tukang Kasur asal Garut itu cepat putar akal. Ia sambar sepeda motor kakaknya. Dipakainya pula pakaian yang paling keren. Dengan gagahnya kemudian ia muncul: menagih hutang. Di depan rumah juragan itu, ia tidak langsung turun tapi membunyikan klakson. Tuan kecil muncul, menegurnya dengan sopan: "Mencari siapa Oom?" Tapi dasar dari udik, hati Endang luruh lagi: tak sampai hati marah-marah seperti yang direncanakannya. Dengan baik-baik ia mengutarakan maksudnya. Endang Permana ini tiba-tiba pula dijamu oleh juragan dengan sopan santun. Diberi segelas susu dan rokok Dunhill. Uang pun langsung diterimanya, karena nyonya rumah memang dapat tarikan arisan. Adegan ini ditutup Endang dengan komentar: "Yah, semua itu gara-gara motor pinjaman". Nyonya Sok Pada kesempatan lain, Endang dapat panggian seorang nyonya rumah yang cantik. Waktu sudah menunjukkan pukul 3. Endang menyanggupi akan menggarap kasur sekitar satu sampai satu setengah jam. Nyonya cantik yang rupanya tinggal sendirian itu kelihatan sangsi: apa nanti tidak kesorean. Entah bagaimana seorang tetangga nyeletuk: 'Ala, tidur saja di situ kan nggak apa-apa ya Bang!" Waktu itu hati Endang jadi ketar-ketir. Tapi nyonya itu cepat melabrak: "Ya tidur di kandang dengan ayam saya!" Endang yang rupanya punya harga diri langsung sakit hati. Timbul niat membalas penghinaan itu. Tukang kasur itu mulai memakai "ilmu" yang pernah dipelajarinya. Ia memang pemah mempelajari ilmu yang disebut Batalarasera sebagai bekal merantau. Gurunya orang Cirebon yang sudah meninggal. Ilmu ini bisa dipergunakan untuk jarak jauh sekalipun. Misalnya menurut pengakuannya, ia bisa membuat orang terbakar hanya dengan tiupan lewat medium: koran yang dikuwel-kuwel. Nah, dengan ilmu ini. Endang mulai berkonsentrasi sambil membaca rapal untuk menjatuhkan nyonya cantik yang sok itu. Tak berapa lama kemudian ada perubahan. Muka nyonya yang semula merenggut, mulai senyum-senyum. Lalu mulai menatap wajah Endang. Menata jam Seiko di tangan Endang, dan kalung emas berbobot 20 gram di leher Endang. Semua dilakukannya dengan penuh perasaan. Bahkan ia menawarkan Endang untuk mandi -- pakai sabun dan odol sesudah pekerjaan selesai. Tidak itu saja. Endang dimintanya membantu mengangkat kasur ke kamar. Ini sudah mulai berbahaya. Hati Endang mulai kembang-kempis. Nyonya itupun langsung saja mencoba berbaring merasakan kasurnya yang baru. Di sini Endang mulai deg-degan. Ia menatap dengan bengong. Nah. Kebengongannya inilah rupanya yang melunturkan kekuatan ilmu itu. Tiba-tiba saja - plak! - tangan nyonya cantik itu mendarat di pipi Jepang kecil ini. Endang kemudian cepat-cepat pergi. Juara MTQ Internasional Tapi jangan menyangka tukang kasur semuanya punya ilmu seperti Endang. Bekas pemain gambus ini memang spesial. Ia tukang kasur yang romantis. Meskipun ilmu kebatinannya melarang ia untuk kontak secara hitam dengan kaum wanita, ia sendiri punya buku harian yang mengagumkan. "Buku harian saya bertumpuk coretan di masa pacaran. Pacar saya memang banyak. 57 orang gadis pernah saya pacari," kata Endang dengan tenang. "Yah, ini mungkin penyakit turunan. Bapak saya kawinnya juga sampai 10 kali." Dengan suksesnya di bidang pacar sekiranya ini benar - tidak berarti tukang kasur ini tak pernah digerayangi kejadian yang mengerikan, sebagaimana dialami tukang kasur biasa. Dalam kehidupan tukang kasur memang ada juga kcbiasaan memberi hutang kepada pemesan. Satu kali Endang ketemu dengan pemesan yang sadis. Begitu jatuh waktu penagihan, Endang Permana datang. Tapi apa yang kemudian diterimanya'? Bukannya uang, tapi sebuah belati langsung menempel di lambung kiri. Keadaan Endang kritis - untung ia ingat pesan gurunya: "Jangan melawan kalau masih ada kesempatan untuk menghindar." Tapi anehnya, tak berapa lama kemudian penodong itu jatuh dengan sendirinya. Ia tidak mampu berbuat apa-apa, malahan mencium kaki Endang, katanya. Akibatnya dahsyat. Sejak itu nama Endang tersohor. Pencoleng-pencoleng Priok sampai ke Senen pada angkat topi kalau mereka lagi pakai topi. "Makanya jangan suka nggodain tukang kasur," kata Endang kepada TEMPO. "Tukang-tukang kasur sangat kompak, melebihi ABRI. Siapa yang mengganggu pasti celaka. Mereka bisa babak belur dan kalau nasib sial rumah pengganggu bisa dibakar." Pesan yang kedengaran tak kalah sadisnya ini diucapkannya sebelum bulan Rajab. Kini Endang tukang kasur yang pandai ini, mungkin sudah mengikat bahtera hidupnya bersama seorang gadis Tasikmalaya. Setelah menikah ia masih punya cita-cita lain. "Saya pungin mengikuti MTQ Tingkat Internasional, sekalian bisa ikut naik haji." Siapa mengira, tahun 1975 ia pernah jadi juara MTQ Tingkat Tsanawiyah dan tahun berikutnya juara II, di Garut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus