Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setiap orang memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menanggapi masalah, termasuk pandemi.
Hasil swaperiksa di situs Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) selama lima bulan pandemi menunjukkan satu dari lima orang berpikir lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri.
Sakit kepala atau nyeri otot yang berlangsung terus-menerus tanpa sebab bisa jadi gejala kecemasan atau depresi.
LONJAKAN angka kasus Covid-19 dalam sebulan terakhir membuat Anindya Phitaloka dirundung rasa cemas. Ia takut penyakit itu menghampiri dia dan keluarganya. Ia gelisah lantaran peningkatan jumlah penderita tersebut mengingatkannya pada masa ketika penyakit itu baru terdeteksi di Indonesia dan pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar pada April 2020. “Waktu itu ada gelombang layoff besar-besaran di kantor saya,” kata perempuan yang akrab disapa Nindy tersebut, Jumat, 25 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nindy, 34 tahun, bekerja di perusahaan penyedia jasa pemesanan tiket perjalanan dan hotel—salah satu sektor yang paling terkena dampak pandemi. Satu per satu rekan kerjanya terkena pemutusan hubungan kerja. Ia khawatir menjadi orang berikutnya yang dipecat. “Setiap ada notifikasi di handphone, saya jadi panik,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nindy tak siap jika diberhentikan mendadak. Dia tak yakin uang simpanannya cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan adiknya sampai ia mendapatkan pekerjaan baru, terlebih di masa pandemi seperti saat ini. Keadaan mentalnya makin tak keruan karena ia harus mengerjakan tugas yang ditinggalkan kawan-kawannya yang diberhentikan.
Kondisi tersebut membuatnya sulit berkonsentrasi dan mudah lupa. Jam tidurnya jadi acak-acakan. Ia baru bisa terlelap pada sekitar pukul 02.00 atau 03.00 dinihari dan sudah terbangun setelah azan subuh. Itu pun kadang ia masih bermimpi buruk, seperti dikejar-kejar, ketinggalan pesawat, tersesat, atau gagal menyelesaikan sesuatu. “Siangnya jadi tidak produktif, tapi rasanya capek banget,” tuturnya.
Ia merasa lebih tenang setelah minum obat dan mengikuti konseling oleh psikolog pada akhir tahun lalu. Namun, ketika jumlah kasus Covid-19 kembali meningkat sejak bulan lalu, insomnia dan mimpi buruk itu kembali datang. Notifikasi di telepon seluler lagi-lagi membuatnya waswas. “Jangan sampai kejadian April itu terulang lagi,” ucapnya.
Nindy tak sendiri. Banyak orang mengalami masalah mental akibat pandemi. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyediakan halaman swaperiksa untuk mendeteksi dini masalah psikologis yang berhubungan dengan pandemi di situs web mereka. Selama lima bulan pertama pagebluk, terdapat 4.010 swaperiksa. Hasilnya menunjukkan sebanyak 65 persen orang yang melakukan swaperiksa mengalami gejala kecemasan, 62 persen bergejala depresi, 75 persen bergejala trauma, dan satu dari lima orang berpikir lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri.
PDSKJI, Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Panel Sosial untuk Kebencanaan, serta Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI menggabungkan data mereka pada Maret-Mei 2020. Hasilnya memperlihatkan satu dari tiga orang (35 persen) dari 3.388 responden menunjukkan gejala depresi.
Sejumlah dokter dari FKUI dan Julius Center for Health Sciences and Primary Care Universitair Medisch Centrum Utrecht, Belanda, meneliti perihal gejala kecemasan. Mereka menyebarkan pertanyaan survei secara daring yang menyasar responden berusia lebih dari 18 tahun pada April-Mei 2020. Sebanyak 1.215 responden mengisi survei tersebut.
Hasilnya menunjukkan satu dari lima orang bisa mengalami kecemasan selama pandemi. Kelompok paling berisiko adalah perempuan muda, orang yang diduga positif Covid-19, dan mereka yang kurang mendapat dukungan sosial. “Mereka yang tidak puas dengan dukungan sosialnya, terutama dari rekan kerja dan keluarga, dua-tiga kali lebih berisiko mengalami gejala kecemasan,” kata salah seorang peneliti, Gina Anindyajati.
Dokter spesialis kesehatan jiwa, Andri, mengatakan setiap orang memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menanggapi masalah, termasuk pandemi. Sebagian orang bisa menerima keadaan tersebut, sebagian lain mengalami masalah kesehatan jiwa. “Kondisi biologis, psikologis, dan lingkungan setiap orang berbeda,” ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Omni Tangerang, Banten, itu.
Dalam gangguan kecemasan, dia melanjutkan, faktor-faktor tersebut menyebabkan amigdala kelewat aktif. Amigdala adalah bagian otak yang berfungsi mengendalikan respons fisik dan psikis yang terkait dengan ketakutan dan gairah. Amigdala bisa menjadi hiperaktif antara lain ketika kita terus-menerus terpapar kabar yang membuat cemas, seperti mengenai pandemi.
Pada tahap awal, informasi tentang pagebluk mungkin masih bisa ditanggapi dengan biasa saja. “Tapi kemudian dapat kabar saudaranya kena, ayah kawannya meninggal, tetangganya jadi sakit parah, sehingga kemudian memunculkan rasa cemas yang intens dan berlangsung terus-menerus,” ucap Andri.
Selain membuat orang sulit berpikir logis, gangguan kecemasan bisa termanifestasi menjadi gangguan tidur. Ia ingat, tepat setelah Lebaran tahun lalu, ketika angka kasus Covid-19 meningkat tajam, banyak pasiennya mengeluhkan gejala insomnia. Jumlah orang yang memeriksakan diri karena gangguan tidur ini terus meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. “Dua dari tiga pasien mengatakan pemicunya ya pandemi ini,” tutur Andri.
Kecemasan juga bisa membuat penderitanya mengalami psikosomatis. Misalnya tubuh merasakan gejala seperti terserang Covid-19 setelah membaca informasi tentang penyakit itu. Gangguan kecemasan juga biasanya menimbulkan masalah pada lambung, seperti penyakit mag dan gastroesophageal reflux disease yang membuat dada terasa panas. Juga nyeri yang tak kunjung membaik, seperti sakit kepala, nyeri otot, dan perasaan tidak nyaman. “Biasanya mereka yang mengalami gangguan kecemasan dan depresi mengalami ini,” ucap Lahargo Kembaren, dokter spesialis penyakit jiwa di Rumah Sakit Siloam dan Rumah Sakit Dr H Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat.
Depresi juga ditandai dengan hilangnya energi, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, masalah kecemasan, dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Tanda lain meliputi ketidakmampuan membuat keputusan, rasa tidak tenang, dan pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
Gangguan psikologis ini tidak hanya mempengaruhi aktivitas sehari-hari, tapi juga membuat kadar kortisol yang dikenal sebagai hormon stres melonjak. Peningkatan kadar kortisol menyebabkan peradangan sel-sel tubuh. Inflamasi yang terjadi terus-menerus tersebut akan meruntuhkan sistem imun. Padahal daya tahan tubuh yang prima sangat diperlukan untuk melawan Covid-19. “Karena itu, penting menjaga kesehatan mental selama pandemi,” ujar Andri.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo