Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Momentum Bersejarah Inisiatif Ekosida

Tim panel ahli hukum dari berbagai negara berhasil merumuskan kejahatan ekosida, yang diharapkan bisa menjadi jenis kejahatan kelima dalam Statuta Roma. Menjadi momentum untuk mendorong kesadaran serupa di dalam negeri.

3 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tim panel ahli dari berbagai negara berhasil merumuskan definisi ekosida atau kejahatan lingkungan meluas.

  • Diusulkan masuk menjadi kejahatan kelima dalam revisi Statuta Roma

  • Diharapkan bisa mendorong perubahan kebijakan di bidang lingkungan di dalam negeri.

HARWATI, 45 tahun, terusir dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, karena bencana lumpur Lapindo. Saat terjadi semburan lumpur dari dalam tanah imbas pengeboran oleh PT Lapindo Brantas itu, desanya yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi pencarian gas tersebut menjadi daerah pertama yang terkena dampak sehingga ia segera diungsikan. Pada 2015, ia memilih pindah ke Desa Candipari, yang jaraknya 5 kilometer dari tempat tinggalnya semula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Candipari, Harwati kini tinggal bersama dua anaknya yang berusia 18 dan 20 tahun. Ia bekerja serabutan setelah suaminya meninggal pada 2008. Akibat luapan lumpur, ia mendapat kompensasi Rp 120 juta hanya untuk tanah dan bangunan. “Cerita kenangan masa kecil, tetangga, semua tertutup lumpur. Saya seperti kehilangan identitas,” katanya, Kamis, 1 Juli lalu. “Ini yang tidak bisa tergantikan oleh uang.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lumpur Lapindo sampai sekarang masih terus mengalir dan dibendung dengan tanggul yang kini setinggi 15 meter. Luas daerah yang terkena dampak sudah lebih dari 900 hektare. Sesekali Harwati datang ke Siring. Jejak rumahnya tak tampak lagi. Yang terlihat hanya hamparan luas lumpur. Ia masih menyekar ke makam keluarganya setahun sekali sebelum Ramadan. Karena lokasi persis makam itu sudah tak diketahui, dia hanya menaburkan bunga di area yang ia duga dulu adalah tempat makam tersebut.

Harwati adalah satu dari sekitar 40 ribu warga desa di Porong yang terusir dari rumah mereka akibat lumpur Lapindo. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana itu menghilangkan sekitar 9 desa dan menelan 1.810 rumah, 18 sekolah, 1 kantor komando rayon militer, 1 kantor kelurahan, 15 pabrik, serta 15 masjid dan musala. “Walhi mengkategorikannya sebagai ekosida (ecocide) karena skala kerusakannya,” ucap Koordinator Bidang Politik Walhi Khalisah Khalid, Rabu, 30 Juni lalu.

Khalisah menyadari hukum Indonesia belum mengenal konsep ekosida. Setahun setelah terjadi kasus Lapindo, Walhi mewakili keluarga korban menggugat 12 pihak, dari Lapindo Brantas hingga presiden. Hakim menolak gugatan itu pada 27 Desember 2007. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang menyelidiki kasus Lapindo, tidak memasukkannya sebagai pelanggaran HAM berat seperti dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dua delik pelanggaran HAM berat dalam undang-undang ini adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Bagi Khalisah, kini kabar baik untuk mendorong agenda tentang ekosida itu datang dari dunia internasional. Pada Selasa, 22 Juni lalu, 12 anggota panel ahli dari berbagai negara yang dibentuk oleh organisasi non-pemerintah di Belanda, Stop Ecocide Foundation, merumuskan definisi ekosida sebagai “tindakan melanggar hukum atau ceroboh yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa ada kemungkinan besar kerusakan lingkungan yang parah dan meluas atau jangka panjang yang disebabkan oleh tindakan tersebut”.

Istilah ekosida dipakai pertama kali pada 1970 oleh Arthur W. Galston, seorang ahli biologi Amerika Serikat. Pada 1972, Perdana Menteri Swedia saat itu, Olof Palme, menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada tindakan Amerika Serikat menyemprotkan zat kimia Agen Oranye dalam Perang Vietnam untuk menghilangkan tutupan hutan dan tanaman saat menghadapi musuhnya, tentara komunis Vietnam.

Setelah itu, sejumlah upaya dilakukan untuk menjadikan ekosida jenis kejahatan kelima dalam Statuta Roma, yang menjadi dasar keberadaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Saat ini ICC hanya mendakwa empat pelanggaran: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Pada 1996, sempat ada upaya memasukkan ekosida dalam Statuta Roma, tapi akhirnya poin itu dikeluarkan dari draf karena dinilai belum didefinisikan dengan baik.

Stop Ecocide Foundation, bersama koalisi pencinta lingkungan, pengacara, dan pembela hak asasi manusia, telah mendorong ekosida dijadikan jenis kejahatan kelima sejak 2017. “Ini momen bersejarah. Panel ahli ini berkumpul sebagai tanggapan langsung terhadap keinginan politik yang berkembang untuk jawaban nyata atas krisis iklim dan ekologi,” tutur Jojo Mehta, Ketua Stop Ecocide Foundation dan ketua panel, dalam siaran persnya, Selasa, 22 Juni lalu.

Untuk merevisi Statuta Roma, perlu ada negara yang mengajukan usul. Dalam sidang anggota yang meratifikasi Statuta Roma pada 2019, dua negara yang lewat pernyataan tertulis mendukung masuknya ekosida dalam statuta itu adalah Vanuatu dan Maladewa. Jika usul ini gol, pengadilan internasional dapat meminta pertanggungjawaban kepada pemimpin pemerintahan dan bisnis yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ekologis.

Di Indonesia, menurut Khalisah, ekosida sudah dikenalkan sejak 2004. Pada waktu itu, Walhi menerbitkan buku berjudul Ecocide: Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada 2019, Walhi juga menerbitkan Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi, buku yang mengulas argumentasi mengenai dugaan ekosida dalam kasus Lapindo, kebakaran hutan dan lahan 2015, serta pembangunan bendungan Koto Panjang di Kabupaten Kampar, Riau.

Dalam kasus Lapindo, meski sudah berlangsung lebih dari 15 tahun, Walhi menilai perkara ini masih jauh dari selesai. Dampak bencana itu bukan hanya soal hilangnya tanah dan bangunan. “Justru kita menghitung kerugian oleh semburan lumpur yang bisa jadi sangat kompleks dan multidimensi terhadap lingkungan, kesehatan, sosial-ekonomi, dan pendidikan,” ujar Ketua Walhi Jawa Timur Tri Jambore, Kamis, 1 Juli lalu. Walhi terus meneliti dampak kandungan logam baik di udara maupun di air akibat semburan lumpur.

Selain lumpur Lapindo, kasus yang dikategorikan layak disebut ekosida adalah kebakaran hutan dan lahan. Menurut Walhi, kebakaran pada 2015 menelan 24 jiwa serta menyebabkan 600 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut dan sekitar 60 juta orang terpapar asap. Itu belum termasuk hancurnya ekosistem esensial yang memiliki fungsi sosial, ekologis, budaya, dan ekonomi. Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Ari Rompas mengatakan kebakaran itu bisa didefinisikan sebagai ekosida. “Dampaknya luas, kerusakannya besar, kehilangan biodiversity dan emisi karbonnya juga tinggi,” ucapnya, Selasa, 29 Juni lalu.

Ari dan kawan-kawan mengajukan gugatan warga negara dalam kasus kebakaran hutan dan lahan 2015. Ia menggugat presiden hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah. Dalam gugatan itu, penggugat antara lain meminta pemerintah menegakkan hukum terhadap korporasi dan membangun rumah sakit paru. Gugatan dikabulkan sebagian hingga di tingkat Mahkamah Agung. Kasus itu belum selesai karena pemerintah mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Belum adanya konsep ekosida dalam hukum Indonesia itulah yang juga menghadang Komnas HAM saat menangani kasus Lapindo. Menurut anggota Komnas HAM periode 2007-2012, Ridha Saleh, rapat paripurna Komnas tidak menetapkan kasus Lapindo sebagai pelanggaran HAM berat karena secara normatif berbeda dengan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diakui Undang-Undang Pengadilan HAM. “Namun sidang paripurna membuat rekomendasi agar Komnas HAM mendorong ekosida masuk hukum nasional, jadi kejahatan kemanusiaan, melalui amendemen,” katanya, Rabu, 30 Juni lalu.

Anggota Komnas HAM periode 2012-2017, Muhammad Nurkhoiron, mengatakan rekomendasi itu sudah disampaikan kepada pembuat undang-undang. “Revisi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 juga diusulkan pada periode kami untuk direvisi. Tapi tidak ada respons dari DPR,” tuturnya, Jumat, 2 Juli lalu. Komnas HAM saat itu juga memonitor kasus Lapindo, tapi dalam soal pemenuhan hak korban.

Agus Pambagio, penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mengatakan ekosida belum diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti halnya genosida dan sejenisnya. Ia belum sempat berdiskusi khusus tentang hal ini dengan Menteri Lingkungan sehingga belum mengetahui posisi Kementerian Lingkungan. “Menurut saya, kalau lembaga swadaya masyarakat mau mengadvokasi ke PBB dan pemerintah, boleh saja asalkan materinya lengkap,” ujarnya, Jumat, 2 Juli lalu. Ia juga menyebutkan perlunya publikasi melalui diskusi atau advokasi agar masyarakat paham mengenai hal tersebut.

Walhi pernah melakukan survei tentang ekosida terhadap 1.000 orang di tujuh provinsi pada akhir 2020. Sebanyak 87,20 persen responden setuju perusakan lingkungan hidup yang berdampak luas dikategorikan sebagai ekosida dan digolongkan sebagai kejahatan hak asasi manusia berat. Khalisah Khalid berharap perkembangan terbaru dalam soal ekosida ini bisa meningkatkan kesadaran publik sehingga dapat mendorong perubahan kebijakan di dalam negeri.

ABDUL MANAN (STOP ECOCIDE FOUNDATION)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus