Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Berbeda dengan Tuberkulosis atau TBC biasa, TB MDR atau Tuberkulosis Multidrug-Resistant Tuberculosis adalah jenis TBC yang resisten terhadap manfaat dua obat antituberkulosis yang paling kuat, yaitu isoniazid dan rifampisin. Di Indonesia sendiri, terdapat hampir dua ribu kasus TB MDR dari keseluruhan 184.000 pasien TBC.
Baca: Beda Batuk Biasa dengan Gejala TBC, Perhatikan Durasinya
Salah satu orang yang harus menjadi pasien TB MDR ini adalah Paran Sarimita Winarni. Sebenarnya, sejak tahun 2008 silam, ia adalah seorang pasien TBC biasa. Namun sayangnya, dokter yang menanganinya tidak memberi tahu secara detail cara minum obat. Sehingga, tubuhnya pun kebal dengan obat penyembuh dan dinyatakan TB MDR sejak tahun 2011.
“Dulu yang saya rasakan hanya batuk. Saya berobat ke dokter tapi tidak sembuh. Dia cuma bilang obatnya diminum sampai habis tanpa panduan kapan dan dosisnya berapa banyak. Akhirnya pindah dokter dan didiagnosis TB MDR,” katanya dalam acara Upaya Johnson & Johnson dalam Penanggulangan TBC di Jakarta pada Rabu, 8 Mei 2019.
Pada saat itulah, Paran berada dititik terendah dalam hidupnya. Ia bahkan pernah berpikir untuk bunuh diri karena stigma masyarakat dan repotnya serangkaian pengobatan yang harus dijalaninya.
“Sejak tahu saya kena TB MDR, jujur rasanya mau mati saja. Banyak orang yang takut ketularan. Jadi menjauh dari saya. Dan setiap harinya, saya harus minum 15 pil selama 20 bulan. Ditambah lagi suntik dari hari Senin sampai Jumat. Sudah seperti mayat hidup,” kayanya.
Tapi, ia mengatakan bahwa dirinya mendapat kekuatan saat bertemu dengan teman-teman yang juga menderita TB MDR. Sebab, mereka mengerti betul apa yang sedang dihadapi Paran. “Dulu saya enggak tahu kalau ada komunitas TB MDR. Begitu saya tahu dan bergabung, semangat untuk sembuh langsung naik drastis. Karena disana kita juga bisa saling curhat,” katanya.
Kini, Paran pun berhasil mengalahkan penyakit yang dideritanya itu. Sejak April 2014 silam, dirinya dinyatakan sembuh dari TB MDR. “Saya dapat sertifikat yang tulisannya selamat. Bagi orang biasa, mungkin sertifikat ini hal yang biasa. Tapi bagi ex TB MDR, ini life changing. Saya bahkan memigurakan dan dipampang di rumah,” katanya.
Baca: TBC Mudah Menular, Perlukah Penderita Pisah Alat Makan?
Ia pun berpesan agar masyarakat lebih menjaga gaya hidupnya. Sebab, penyakit TBC tersebut disebabkan oleh gaya hidup yang salah. “Saya suka makan di pinggir jalan. Dan kalau pulang kantor di Cikini ke rumah di Cijantung biasa naik kereta tanpa masker. Karena mobilitas yang tinggi dan makanan yang tidak sehat, saya rentan terkena kuman yang salah satunya TBC. Sekarang saatnya teman-teman untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi baik sebelum terlambat,” katanya.
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini