CINEAM adalah cita-cita para penganjur keluarga kecil. Desa
kecamatan, 30 km dari Tasikmalaya ini begitu mantap menahan
angka kelahiran, sampai-sampai orang menjulukinya desa miskin
anak-anak. "Ketika pertama kali kami sekeluarga bertugas di
sini, anak saya yang masih kecil menangis terus karena tak
punya teman bermain," kenang Uu Supena, 30 tahun, petugas
Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana di desa itu.
Kecamatan Cineam yang meliputi 10 desa itu dari tahun ke tahun
hanya memiliki 11 buah Sekolah Dasar. Di Desa Ciampanan
misalnya, 2 buah SD tahun kemarin hanya kedatangan 11 anak yang
mendaftar. "Tahun ini ada sepuluh ibu yang melahirkan, berarti 7
tahun mendatang anak-anak yang masuk sekolah tidak akan jauh
dari jumlah itu. Kecuali kalau ada pendatang baru yang bawa
anak, " cerita Kurwa, 56, pensiunan kepala SD Ciampanan.
Menarik sekali untuk melihat komposisi keluarga di Kecamatan
Cineam, terutama Desa Ciampanan. Desa tersebut dihuni 3.014
jiwa. Pukul rata tia luarga hanya punya dua anak. Hanya 1
keluarga yang memiliki 4. "ltupun pendatang baru," sahut Yoyo
Wachya, 38, jurutulis di balai desa. Karena itu tak heran
Kecamatan Cineam ini memegang rekor dalam pengendalian
pertumbuhan penduduk. Setahun hanya 0,2%. Berarti berlipat kali
jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat
yang 4«%.
Para petugas KB sempat repot di desa ini. Memang mengherankan
juga mengapa di daerah yang tipis angka kelahirannya ini sistem
target masih juga dikenakan. Para petugas KB digenjot untuk
mengejar 93 akseptor tiap bulan. Tapi mana bisa tercapai. "Dapat
2 orang akseptor saja seminggu sudah untung," kata Oman
Sutiaman, 35, pemburu akseptor di Kecamatan Cineam. Itupun
menurut ceritanya setelah berjalan mengelilingi seluruh pelosok,
bagai mencari anak yang hilang.
Ketika program keluarga berencana mulai ramai dijajakan di
desa-desa itu, penduduk merasa keberatan terhadap cara-cara
penjarangan kelahiran yang menggunakan pil, kondom ataupun
spiral. Sebab mereka sudah sejak zaman nenek moyang
mengendalikan kelahiran dengan cara yang lebih aman:
ramuan-ramuan obat tradisional.
Langkanya akseptor dan tipisnya angka kelahiran di desa tersebut
memancing BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)
Jawa Barat untuk meneliti berbagai tanaman obat yang digunakan
untuk menjarangkan kelahiran.
Bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam
Universitas Pajajaran, Bandung tahun 1978 diselenggarakan
penelitian terhadap 84 macam tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dipergunakan di desa-desa sana. Seperti di Desa Cilangkap dan
Cibitung (Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang), Desa Kopo dan
Gadu (Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung), Desa Ciampanan dan
Rajadatu (Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya), Desa
Margacinta dan Kertayasa (Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat tradisional yang
digunakan ternyata aman. "Tidak ditemukan efek samping," ujar
Drs. Zainal Alim, pimpinan proyek penelitian. Cuma yang agak
sulit hagi Zainal Alim ialah mencari takaran yang pasti dari
sesuatu obat. Sebab para pemakainya tidak menggunakan ukuran.
Begitu juga daun tanaman yang bagaimana yang sebenarnya lebih
berkhasiat. Muda, tua, kecil atau lebar. Hanya yang pasti dari
penelitian yang berlangsung setengah tahun itu Zainal dapat
menarik kearifan bahwa penduduk desa tadi "ternyata lebih maju
dalam hal ide keluarga berencana."
Ma Iti
Sudjai dari Biro Pengkajian dan Pengembangan Program BKKBN Pusat
terpesona dengan data-data yang masuk dari penelitian. Dari 400
responden yang dipilih di 4 kecamatan di Jawa Barat itu 193
orang punya anak hanya 1, 124 orang punya 2 orang anak, 73
beranak 3. Hanya 10 responden yang memiliki 4 anak. Sedangkan
yang lebih dari 4 anak samasekali tak ada.
Wanita-wanita di 8 desa Jawa Barat itu meramu sendiri ramuan
tanaman untuk menjarangkan kelahiran. Kemahiran itu merupakan
warisan turun temurun. Ada juga yang minta bantuan paraji (dukun
beranak). Seorang di antara paraji itu bernama Ma Iti yang
berusia 56 tahun dan praktek sejak tahun 1945.
Pasiennya, Mintarsih, 38 tahun, kepada wartawan TEMPO Hasan
Syukur, mengaku cuma punya 2 anak. Jamu dari Ma Iti katanya
menjarangkan kelahirannya sampai 6 tahun. "Lagi pula badan rasa
rasanya lebih kuat sehabis minum ramuannya," kata Mintarsih.
Mencari alat kontrasepsi yang aman. Inilah agaknya yang ingin
dicapai penelitian di Jawa Barat tersebut. Sebab nyatanya alat
kontrasepsi modern memang mendatangkan pengaruh buruk terhadap
kesehatan si ibu.
Dan menurut Deputi BKKBN Dr. Haryono Suyono, penelitian tidak
hanya terbatas di Jawa Barat. Dengan bantuan Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor sejak tahun kemarin telah dirintis pula
penelitian terhadap sekitar 30.000 buah gadung yang diduga bisa
digunakan sebagai bahan obat anti hamil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini