Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sendirian, Mengejar Haji Tthahir dll

Raphael pura, wartawan asian wall street journal yang bertugas di indonesia, lewat tulisannya mengungkapkan skandal haji thahir (eks asisten umum ibnu sutowo), kini ia ditunjuk sebagai kepala biro aswj.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA tak pernah kelihatan membawa casette recorder seperti kegemaran wartawan Indonesia. Dengan pakaian sederhana, orang Amerika itu selalu mengendarai sepeda motor suzuki dalam berkeliling mengumpulkan bahan berita. Raphael (Rocky) Pura namanya. Wartawan Asian Wall Street Journal ini pernah menghangatkan suhu politik Indonesia lewat tulisannya di AWSJ (5 Februari). Di situ ia mengungkapkan suatu skandal, menyangkut simpanan uang US$ 35 juta milik Haji Thahir, bekas Asisten Umum Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo. Kartika Ratna, janda kedua almarhum Thahir diceritakannya berebut simpanan uang di Bank Sumitomo cabang Singapura dengan pihak janda pertama. Pura, 34 tahun, memang berhasil membuat scoop (berita istimewa). Banyak koran Indonesia memanfaatkan dan mengutipnya. Sebelumnya, ia juga telah banyak membuat tulisan bagus selama 4 tahun bertugas di Jakarta. Keunggulannya diakui oleh sesama rekannya dalam JFCC, klub koresponden asing di Jakarta. Karena Kepala Biro AWSJ di Tokyo, Eduardo Lachica ditarik ke New York, Amerika Serikat, Pura ditunjuk sebagai penggantinya. Suatu promosi bagi Pura. Awal Juni ia dan istrinya, Wallaya (keturunan Muangthai), akan meninggalkan Jakarta menuju Tokyo. Bertugas di Jakarta, Pura terus terang mengemukakan bahwa ia gembira walaupun tidak gampang mengumpulkan bahan cerita. Untuk memperoleh data dan informasi di instansi pemerintah, ia sering menemui kesulitan. Dilempar ke sana ke sini. Hubungan Masyarakat di sini sering tidak berfungsi. Wewenangnya terbatas sekali. "Sistem informasi di Indonesia tidak selalu cocok dengan keperluan wartawan," kata Pura. "Kalau informasi itu jelek, hukan salah wartawan sebenarnya." Tapi justru suasana yang kurang terbuka di Jakarta ini dianggapnya suatu tantangan yang mesti ditembus. Dalam keterbatasan informasi dan data tadi, menurut Pura, ada lebih besar kemungkinan wartawan membuat scoop. Pura, yang gigih dan cermat, belum pernah mengalami kesulitan dengan aparat keamanan di Jakarta mengenai berita yang dimuat korannya. Sumber berita yang dikritik secara fair, katanya, biasanya tak kebera{an. Mungkin pula karena selama ini ia pandai membatasi diri. Untuk mendapatkan informasi, menurut ceritanya, ia tidak pernah mengeluarkan uang, dan tidak mau menerima amplop uang, apapun alasannya. Sekalipun secara resmi diundang, jika perlu, AWSJ mampu membiayai perjalanan wartawannya. Kebanyakan koran Indonesia, bila diundang, tidak begitu merisaukan biaya perjalanan. Bahkan uang saku wartawan pun sering disediakan oleh pihak pengundang. Tapi tidak untuk Pura. Juga dalam hal kebebasan pers, menurut Pura, terdapat perbedaan cara memandang. Tradisi kebebasan pers di Barat memang tidak sama dengan yang berkembang di Indonesia. Sekalipun demikian, ia membanding keadaannya di negara Asean lainnya. Indonesia sudah cukup maju," katanya. Keluar-Masuk Pura menyayangkan penulisan mengenai bidang ekonomi-bisnis kurang mendapat perhatian layak di Indonesia. Ia menduga banyak wartawan terkenal (senior) di Indonesia adalah spesialis bidang politik. Bahkan koran-koran besar pun menurutnya tidak punya lembaran ek-bis. Dari keadaan koran seperti itu Pura belum merasa tertolong dalam tugasnya. "Saya masih terpaksa keluar masuk kantor-kantor untuk membuat tulisan," ungkapnya. Suatu hal yang menguntungkan, tuturnya, ialah para pengusaha Indonesia mau memberikan informasi banyak, sekalipun cukup sulit untuk menemui mereka. Bertemu dengan eksekutif perusahaan di Jepang dianggapnya sangat mudah. "Tapi bila sudah bertemu dari mereka sulit mendapatkan banyak informasi," katanya. Di Jakarta Pura bekerja seorang diri mengumpulkan bahan. Istrinya, Wallaya, sering membantu mengkliping, selain bekerja di komisi urusan pengungsi PBB (UNHCR) di Jakarta. Tapi di Tokyo, ada staf yang membantu sang wartawan. AWSJ terbit pertama kali di Hongkong 1 September 1976, koran ini merupakan edisi Asia dari Wall Street Journal, New York. Kini oplahnya 21.000 (termasuk 2.000 beredar di Indonesia).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus