IA tak pernah kelihatan membawa casette recorder seperti
kegemaran wartawan Indonesia. Dengan pakaian sederhana, orang
Amerika itu selalu mengendarai sepeda motor suzuki dalam
berkeliling mengumpulkan bahan berita. Raphael (Rocky) Pura
namanya.
Wartawan Asian Wall Street Journal ini pernah menghangatkan suhu
politik Indonesia lewat tulisannya di AWSJ (5 Februari). Di situ
ia mengungkapkan suatu skandal, menyangkut simpanan uang US$ 35
juta milik Haji Thahir, bekas Asisten Umum Direktur Utama
Pertamina, Ibnu Sutowo. Kartika Ratna, janda kedua almarhum
Thahir diceritakannya berebut simpanan uang di Bank Sumitomo
cabang Singapura dengan pihak janda pertama.
Pura, 34 tahun, memang berhasil membuat scoop (berita istimewa).
Banyak koran Indonesia memanfaatkan dan mengutipnya. Sebelumnya,
ia juga telah banyak membuat tulisan bagus selama 4 tahun
bertugas di Jakarta. Keunggulannya diakui oleh sesama rekannya
dalam JFCC, klub koresponden asing di Jakarta. Karena Kepala
Biro AWSJ di Tokyo, Eduardo Lachica ditarik ke New York, Amerika
Serikat, Pura ditunjuk sebagai penggantinya. Suatu promosi bagi
Pura. Awal Juni ia dan istrinya, Wallaya (keturunan Muangthai),
akan meninggalkan Jakarta menuju Tokyo.
Bertugas di Jakarta, Pura terus terang mengemukakan bahwa ia
gembira walaupun tidak gampang mengumpulkan bahan cerita. Untuk
memperoleh data dan informasi di instansi pemerintah, ia sering
menemui kesulitan. Dilempar ke sana ke sini. Hubungan Masyarakat
di sini sering tidak berfungsi. Wewenangnya terbatas sekali.
"Sistem informasi di Indonesia tidak selalu cocok dengan
keperluan wartawan," kata Pura. "Kalau informasi itu jelek,
hukan salah wartawan sebenarnya."
Tapi justru suasana yang kurang terbuka di Jakarta ini
dianggapnya suatu tantangan yang mesti ditembus. Dalam
keterbatasan informasi dan data tadi, menurut Pura, ada lebih
besar kemungkinan wartawan membuat scoop.
Pura, yang gigih dan cermat, belum pernah mengalami kesulitan
dengan aparat keamanan di Jakarta mengenai berita yang dimuat
korannya. Sumber berita yang dikritik secara fair, katanya,
biasanya tak kebera{an. Mungkin pula karena selama ini ia pandai
membatasi diri.
Untuk mendapatkan informasi, menurut ceritanya, ia tidak pernah
mengeluarkan uang, dan tidak mau menerima amplop uang, apapun
alasannya. Sekalipun secara resmi diundang, jika perlu, AWSJ
mampu membiayai perjalanan wartawannya.
Kebanyakan koran Indonesia, bila diundang, tidak begitu
merisaukan biaya perjalanan. Bahkan uang saku wartawan pun
sering disediakan oleh pihak pengundang. Tapi tidak untuk Pura.
Juga dalam hal kebebasan pers, menurut Pura, terdapat perbedaan
cara memandang. Tradisi kebebasan pers di Barat memang tidak
sama dengan yang berkembang di Indonesia. Sekalipun demikian, ia
membanding keadaannya di negara Asean lainnya. Indonesia sudah
cukup maju," katanya.
Keluar-Masuk
Pura menyayangkan penulisan mengenai bidang ekonomi-bisnis
kurang mendapat perhatian layak di Indonesia. Ia menduga banyak
wartawan terkenal (senior) di Indonesia adalah spesialis bidang
politik. Bahkan koran-koran besar pun menurutnya tidak punya
lembaran ek-bis. Dari keadaan koran seperti itu Pura belum
merasa tertolong dalam tugasnya. "Saya masih terpaksa keluar
masuk kantor-kantor untuk membuat tulisan," ungkapnya.
Suatu hal yang menguntungkan, tuturnya, ialah para pengusaha
Indonesia mau memberikan informasi banyak, sekalipun cukup sulit
untuk menemui mereka. Bertemu dengan eksekutif perusahaan di
Jepang dianggapnya sangat mudah. "Tapi bila sudah bertemu dari
mereka sulit mendapatkan banyak informasi," katanya.
Di Jakarta Pura bekerja seorang diri mengumpulkan bahan.
Istrinya, Wallaya, sering membantu mengkliping, selain bekerja
di komisi urusan pengungsi PBB (UNHCR) di Jakarta. Tapi di
Tokyo, ada staf yang membantu sang wartawan.
AWSJ terbit pertama kali di Hongkong 1 September 1976, koran ini
merupakan edisi Asia dari Wall Street Journal, New York. Kini
oplahnya 21.000 (termasuk 2.000 beredar di Indonesia).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini