Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cineam Yang Menakjubkan

Bkkbn meneliti berbagai tanaman obat yang digunakan untuk menjarangkan kelahiran yang telah lama dipakai oleh penduduk di desa-desa kecamatan cineam, jawa barat.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CINEAM adalah cita-cita para penganjur keluarga kecil. Desa kecamatan, 30 km dari Tasikmalaya ini begitu mantap menahan angka kelahiran, sampai-sampai orang menjulukinya desa miskin anak-anak. "Ketika pertama kali kami sekeluarga bertugas di sini, anak saya yang masih kecil menangis terus karena tak punya teman bermain," kenang Uu Supena, 30 tahun, petugas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana di desa itu. Kecamatan Cineam yang meliputi 10 desa itu dari tahun ke tahun hanya memiliki 11 buah Sekolah Dasar. Di Desa Ciampanan misalnya, 2 buah SD tahun kemarin hanya kedatangan 11 anak yang mendaftar. "Tahun ini ada sepuluh ibu yang melahirkan, berarti 7 tahun mendatang anak-anak yang masuk sekolah tidak akan jauh dari jumlah itu. Kecuali kalau ada pendatang baru yang bawa anak, " cerita Kurwa, 56, pensiunan kepala SD Ciampanan. Menarik sekali untuk melihat komposisi keluarga di Kecamatan Cineam, terutama Desa Ciampanan. Desa tersebut dihuni 3.014 jiwa. Pukul rata tia luarga hanya punya dua anak. Hanya 1 keluarga yang memiliki 4. "ltupun pendatang baru," sahut Yoyo Wachya, 38, jurutulis di balai desa. Karena itu tak heran Kecamatan Cineam ini memegang rekor dalam pengendalian pertumbuhan penduduk. Setahun hanya 0,2%. Berarti berlipat kali jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat yang 4«%. Para petugas KB sempat repot di desa ini. Memang mengherankan juga mengapa di daerah yang tipis angka kelahirannya ini sistem target masih juga dikenakan. Para petugas KB digenjot untuk mengejar 93 akseptor tiap bulan. Tapi mana bisa tercapai. "Dapat 2 orang akseptor saja seminggu sudah untung," kata Oman Sutiaman, 35, pemburu akseptor di Kecamatan Cineam. Itupun menurut ceritanya setelah berjalan mengelilingi seluruh pelosok, bagai mencari anak yang hilang. Ketika program keluarga berencana mulai ramai dijajakan di desa-desa itu, penduduk merasa keberatan terhadap cara-cara penjarangan kelahiran yang menggunakan pil, kondom ataupun spiral. Sebab mereka sudah sejak zaman nenek moyang mengendalikan kelahiran dengan cara yang lebih aman: ramuan-ramuan obat tradisional. Langkanya akseptor dan tipisnya angka kelahiran di desa tersebut memancing BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Jawa Barat untuk meneliti berbagai tanaman obat yang digunakan untuk menjarangkan kelahiran. Bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam Universitas Pajajaran, Bandung tahun 1978 diselenggarakan penelitian terhadap 84 macam tumbuh-tumbuhan yang biasanya dipergunakan di desa-desa sana. Seperti di Desa Cilangkap dan Cibitung (Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang), Desa Kopo dan Gadu (Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung), Desa Ciampanan dan Rajadatu (Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya), Desa Margacinta dan Kertayasa (Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat tradisional yang digunakan ternyata aman. "Tidak ditemukan efek samping," ujar Drs. Zainal Alim, pimpinan proyek penelitian. Cuma yang agak sulit hagi Zainal Alim ialah mencari takaran yang pasti dari sesuatu obat. Sebab para pemakainya tidak menggunakan ukuran. Begitu juga daun tanaman yang bagaimana yang sebenarnya lebih berkhasiat. Muda, tua, kecil atau lebar. Hanya yang pasti dari penelitian yang berlangsung setengah tahun itu Zainal dapat menarik kearifan bahwa penduduk desa tadi "ternyata lebih maju dalam hal ide keluarga berencana." Ma Iti Sudjai dari Biro Pengkajian dan Pengembangan Program BKKBN Pusat terpesona dengan data-data yang masuk dari penelitian. Dari 400 responden yang dipilih di 4 kecamatan di Jawa Barat itu 193 orang punya anak hanya 1, 124 orang punya 2 orang anak, 73 beranak 3. Hanya 10 responden yang memiliki 4 anak. Sedangkan yang lebih dari 4 anak samasekali tak ada. Wanita-wanita di 8 desa Jawa Barat itu meramu sendiri ramuan tanaman untuk menjarangkan kelahiran. Kemahiran itu merupakan warisan turun temurun. Ada juga yang minta bantuan paraji (dukun beranak). Seorang di antara paraji itu bernama Ma Iti yang berusia 56 tahun dan praktek sejak tahun 1945. Pasiennya, Mintarsih, 38 tahun, kepada wartawan TEMPO Hasan Syukur, mengaku cuma punya 2 anak. Jamu dari Ma Iti katanya menjarangkan kelahirannya sampai 6 tahun. "Lagi pula badan rasa rasanya lebih kuat sehabis minum ramuannya," kata Mintarsih. Mencari alat kontrasepsi yang aman. Inilah agaknya yang ingin dicapai penelitian di Jawa Barat tersebut. Sebab nyatanya alat kontrasepsi modern memang mendatangkan pengaruh buruk terhadap kesehatan si ibu. Dan menurut Deputi BKKBN Dr. Haryono Suyono, penelitian tidak hanya terbatas di Jawa Barat. Dengan bantuan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sejak tahun kemarin telah dirintis pula penelitian terhadap sekitar 30.000 buah gadung yang diduga bisa digunakan sebagai bahan obat anti hamil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus