Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dampak Buruk KDRT pada Anak yang Tak Boleh Diabaikan

KDRT bukan hanya masalah antara pelaku dan korban langsung, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi anak-anak yang menyaksikannya.

20 Agustus 2024 | 13.08 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi orang tua bertengkar di depan anak-anak. betterparenting.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sering kali orang tua melakukan tindakan yang tidak pantas di depan anak-anak mereka, salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meskipun anak-anak mungkin tidak menjadi sasaran langsung, mereka yang menyaksikan atau mendengar kekerasan ini dapat mengalami dampak negatif yang mendalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak-anak yang melihat salah satu orang tuanya menjadi korban KDRT sering kali merasa takut dan cemas sepanjang hidupnya. Mereka mungkin selalu waspada karena khawatir bahwa kekerasan tersebut akan terulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KDRT tidak hanya melibatkan serangan fisik, tetapi juga penganiayaan emosional dan mental, yang dapat merusak kesejahteraan psikologis anggota keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan cenderung meniru apa yang mereka lihat, membentuk pandangan negatif tentang hubungan, keamanan, dan harga diri.

Efek jangka panjang dari menyaksikan KDRT dapat menurunkan kualitas hidup mereka, menciptakan trauma yang bisa terbawa hingga dewasa. Lingkungan yang penuh kekerasan ini tidak hanya merusak masa kecil mereka, tetapi juga mempengaruhi perkembangan emosional dan mental mereka di masa depan.

Berikut deretan dampak buruk KDRT bagi anak-anak yang menyaksikannya:

1. Kecemasan

Ketika seorang anak merasakan adanya ancaman atau kejadian buruk yang menimpa dirinya, mereka cenderung menjadi gelisah dan khawatir, yang akhirnya dapat berkembang menjadi kecemasan yang berkelanjutan. Kecemasan ini sering kali dipicu oleh ketakutan bahwa mereka mungkin menjadi korban kekerasan yang sama seperti yang mereka saksikan di rumah.

Selain itu, stigma sosial yang menganggap bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan KDRT akan mengulangi pola perilaku orang tua mereka ketika dewasa, juga dapat memperburuk kecemasan mereka.

Pada anak-anak prasekolah yang menyaksikan KDRT, sering kali terlihat perilaku seperti mengisap jempol, mengompol, menangis secara intens, dan menjadi rewel setelah kejadian tersebut. Ini menunjukkan bagaimana pengalaman negatif ini dapat berdampak pada perkembangan emosional mereka sejak dini.

2. Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menyebabkan trauma yang mendalam, yang secara signifikan mengubah cara otak anak berkembang. Perubahan ini sering kali berujung pada gangguan stres pascatrauma (PTSD). Anak-anak yang mengalami PTSD mungkin akan mengalami mimpi buruk, perubahan pola tidur, lekas marah, dan kesulitan berkonsentrasi. Bahkan, beberapa anak bisa saja mulai meniru perilaku kekerasan yang mereka saksikan di rumah, sebagai respons terhadap trauma yang mereka alami.

3. Perilaku Agresif

Anak-anak yang menyaksikan KDRT, terutama saat mereka memasuki masa remaja, cenderung menunjukkan perilaku agresif. Mereka mungkin bereaksi terhadap situasi di sekitarnya dengan cara yang serupa dengan yang mereka pelajari dari lingkungan yang penuh kekerasan. Perilaku ini dapat berupa perkelahian, bolos sekolah, terlibat dalam aktivitas seksual berisiko, atau mencoba narkoba dan alkohol. Dalam beberapa kasus, perilaku agresif ini bisa mengarah pada tindakan kriminal.

4. Depresi

Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kekerasan berisiko tinggi mengalami depresi di kemudian hari. Trauma yang terus-menerus dialami akibat menyaksikan KDRT dapat menyebabkan perasaan sedih yang mendalam, kesulitan berkonsentrasi, dan gejala depresi lainnya yang mungkin terus berlanjut hingga mereka dewasa. Depresi ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk hubungan sosial dan kemampuan untuk berfungsi secara normal.

5. Mengulangi Pola Perilaku KDRT

Menyaksikan KDRT secara rutin dapat menciptakan siklus kekerasan yang berulang. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan mungkin merasa bahwa perilaku tersebut adalah cara yang normal untuk menyelesaikan konflik. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka mungkin mengulangi pola perilaku kekerasan terhadap pasangan mereka sendiri, meniru apa yang mereka lihat dari orang tua mereka saat masih anak-anak atau remaja.

MUHAMMAD SYAIFULLAH | VERY WELL MIND

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus