BAU lem menyergap hidung. Siapa pun yang baru pertama masuk ke bengkel pembuatan sepatu itu mungkin tak akan tahan dengan sengatan bau yang menyentak penciuman itu. Hal serupa dialami Agus Kurnia, karyawan bagian pengeleman, setahun lalu. Mual, sakit kepala, dan batuk tak habis-habis dideritanya. Tapi kini, setelah tiap hari berurusan dengan lem, muncul perkembangan baru. Aroma itu tidak lagi "menusuk" hidung, bahkan menjadi bagian dari keseharian remaja 15 tahun ini.
Mungkin, Agus dan rekan-rekannya memang merasa bisa beradaptasi dengan bau yang meruap dari lem. Padahal, yang terjadi lebih dari itu. Penelitian yang dilakukan Yayasan Ulil Albab—lembaga sosial yang bergerak di bidang kesehatan—bekerja sama dengan International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), tentang ketergantungan pekerja anak terhadap lem di sentra industri sepatu Cibaduyut, Bandung, membuktikan hal lain. Dari dua ratus lebih responden mereka, semuanya mengalami gangguan tingkat penciuman kronis, dan mayoritas menderita ketergantungan pada lem.
Apa yang sebenarnya terjadi? Susanto, dokter yang memimpin penelitian ini, menyatakan bahwa kandungan fenol dalam darah anak-anak itu besarnya 50 sampai 80 miligram per desiliter. Padahal, berdasarkan standar kesehatan, tubuh tak bisa menerima lebih dari 10 miligram per desiliter. Fenol, kata Susanto, berasal dari benzena, yaitu cairan pelarut dan perekat lem yang digunakan dalam pembuatan sepatu. Dalam literatur kesehatan, fenol termasuk zat psikotropika karena mengakibatkan efek ketergantungan pada orang yang aktif menghirupnya. Sengaja atau tidak.
Fenol terserap ke dalam tubuh para pekerja sepatu itu melalui hidung, kulit, atau mulut melalui tangan yang tidak dicuci dulu sebelum makan. Zat ini kemudian masuk ke dalam inti sel dan mengubah struktur sel itu, yang mengakibatkan timbulnya kanker darah atau leukemia. Lebih parah lagi, fenol juga bisa disimpan dalam hati, limpa, otak, dan sumsum tulang belakang. Dalam waktu sepuluh tahun mendatang, organ-organ itu sangat rentan terhujam kanker.
Dalam rentang yang lebih pendek, menurut Susanto, fenol mengakibatkan sakit kepala, infeksi saluran pernapasan atas, asma, mual, dan kegembiraan yang berlebihan (euforia). Menurut penelitian yang dilaksanakan sejak tahun lalu itu, hampir semua responden (85 persen) yang bekerja selama 2 sampai 4 tahun menderita penyakit itu. Yang terbanyak dikeluhkan adalah sakit kepala.
Mengapa bisa begitu? Lingkungan kerja yang tak memenuhi standar kesehatan dituding sebagai penyebab. Menurut Susanto, itu akibat tak tersedianya sistem sirkulasi udara dan ventilasi dalam bengkel. Para pekerja bersibuk-sibuk dalam ruang tertutup tanpa jendela dan cahaya. Kini salah satu solusinya adalah menempatkan pekerja bagian pengeleman di tempat terbuka atau, minimal, yang cukup udara dan cahaya.
Memang, berdasarkan pemantauan TEMPO di beberapa bengkel pembuatan sepatu di Cibaduyut, banyak bangunan yang tak memenuhi standar kesehatan. Salah satunya adalah bengkel kerja milik Yana Suryana di Kelurahan Mekar Wangi. Bangunan berlantai dua seluas 50 meter persegi ini sangat miskin sirkulasi udara dan lubang cahaya. Atap hanya ditutup asbes sehingga ruangan terasa pengap dan panas. Dalam situasi begini, tingkat penguapan benzena dari lem semakin tinggi. Walhasil, dari luar pun, bau menyengat itu bisa tercium.
Para karyawan bagian pengeleman—setidaknya Agus Kurnia, Pepih, dan Karman—merasa tak ada yang aneh dengan bau itu. Mereka sudah merasa normal dengan aroma menyengat hidung itu. "Dulu memang pusing, sekarang sih enak saja
nyium bau lem," kata Agus tertawa-tawa.
Menurut Yana—yang memasukkan produknya untuk diberi label Edward Forrer—semula ia tidak tahu pengaruh zat-zat yang digunakan dalam proses pembuatan sepatu itu pada kesehatan buruh. Namun, setelah ada penyuluhan dari Yayasan Ulil Albab dan International Labour Organization (ILO), ia menyarankan dua puluh pekerjanya menggunakan masker. Tidak semua pekerja setuju. "Mereka tidak mau pakai. Katanya malah mengganggu konsentrasi kerja," kata Yana. Namun ia mengakui kondisi tempat kerja yang kurang sehat dan akan berusaha memperbaikinya.
Perbaikan kondisi memang mutlak dilakukan jika tak ingin menambah jumlah korban. Sebab, menurut Susanto, berdasarkan tes darah dan urine, semua responden tanpa kecuali mengidap penyakit hispomia atau berkurangnya daya penciuman. Bahkan ada dua orang yang mengalami kerusakan total alias tak bisa mengendus bau sama sekali. Dalam tes ini, responden diminta mencium bau teh, kemudian jeruk, sesudah itu kopi. Setelah itu, mereka diminta mengendus bau yang lebih menyengat, yaitu terasi dan tembakau.
Berdasarkan temuan ini, Ulil Albab dan ILO berharap perbaikan tak cuma datang dari pemilik pabrik sepatu, tapi juga pada produsen lem yang menggunakan zat adiktif dalam produknya. Sebab, selama ini, di kalangan anak jalanan, lem sudah populer sebagai sarana untuk mabuk dan fly yang murah dan mudah didapat. Biasanya disebut ngelem. Itu tak lain karena kandungan zat psikotropika di dalam lem atau zat perekat. Hanya dengan beberapa ribu rupiah, seseorang bisa menghirup lem dan mencandunya untuk menenangkan hati karena bisa mendatangkan kegembiraan yang berlebihan.
Ketua perajin sepatu Cibaduyut, Haji Yayat, menyatakan seharusnya produsen lem mencatumkan komposisi zat kimia yang dikandung dalam produk perekat ini. Dalam kemasan lem, biasanya hanya tercantum bahwa produk ini mudah terbakar. Tanpa ada peringatan bahwa perekat ini mengandung zat psikotropika yang jelas berbahaya. Bukan hanya bagi para perajin sepatu, tapi bagi siapa pun.
AKA dan Rinny Srihartini (Bandung)
--------------------------------------------------------------------------------
Pengaruh Fenol pada Tubuh
Efek Jangka Pendek
Sakit kepala
Infeksi saluran pernafasan
Asma
Mual
Euforia
Efek Jangka Panjang
Kanker pada hati, limpa otak, dan sumsum tulang belakang.
Tempat Bersarangnya Fenol
- Otak
- Paru-paru
- Lambung
- Hati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini