Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah warga Indonesia jeri dengan bacaan sastra atau bacaan apa pun yang dianggap "berat"? Richard Oh, pemilik jaringan Toko Buku QB, Jakarta, akan menggelengkan kepala. Menurut pengalamannya, novel sastra asing yang pekat bernuansa sastra justru lebih dicari orang. "Pembaca Indonesia bukan pembaca romansa pop yang cengeng," kata Richard.
Apa betul begitu?
Semula, Ohia juga seorang penggila buku yang fasih berkisah tentang buku-buku yang dilahapnya setiap harijuga tak percaya. Maklum, selama ini media massa cenderung menghakimi bahwa masyarakat kita hanya suka bacaan yang menghibur dan enteng-enteng. Buktinya, banyak sekali komik dan kisah misteri yang tengah laris manis yang menguasai pasar buku nasional. Bahkan banyak sekali pemilik dan pengelola media massa yang sungguh percaya bahwa pembaca Indonesia kini lebih suka bacaan yang berisi klangenan dan hiburan belaka.
Namun, pengalaman mengelola tiga Toko Buku QB dalam beberapa tahun terakhir memberikan harapan baru. Negeri ini masih punya selapis tipis pembaca yang bersikap selektif. Menurut Oh, "Agaknya harga buku novel impor yang relatif mahal membuat orang ingin mendapat yang terbaik." Buku yang digemari publik Jakarta, menurut Oh, tak jauh beda dengan yang jadi perbincangan di Frankfurt Book Fair, The New York Times, atau BBC Book Club.
Berikut ini tim TEMPO memilih beberapa buku yang masuk dalam perbincangan itu. Novel Atonement (Ian Mc Ewan, 2001) dan Lovely Bones (Alice Sebold, 2002) dipilih karena menjadi bestseller di beberapa situs ataupun festival. Novel The Same Sea (Amoz Oz, 2001) dipilih oleh Edinburgh International Book Festival tahun ini, yang bertema Timur dan Barat, East and West.
Sebuah Syair Cinta dan Pengampunan
Lovely Bones (328 halaman)
Penulis : Alice Sebold
Penerbit : Picador, Inggris, 2002"
Namaku Salmon, Susie Salmonseperti nama ikan. Aku dibunuh pada usia 14 tahun oleh tetangga yang dikagumi Ibu karena pagar kebunnya penuh kembang. Seorang tetangga yang mengobrol tentang pupuk bersama Ayah ."
Dengan kalimat pembuka yang menyentak, Alice Sebold menyeret kita ke dalam drama rumah tangga di sebuah kota kecil Amerika, awal 1970-an. Nun dari surga, Susie, yang mati diperkosa, memandu kita bertamasya ke dalam labirin dukacita. Kita diajak mengawasi kehidupan yang ditinggalkanibu, ayah, kakak-adik, dan tentu saja Tuan Harvey, pemilik kebun dengan pagar penuh kembang. Pelan-pelan, melalui mata Susie, kita melihat bagaimana tekanan tragedi itu menyebabkan keretakan keluarga yang tak tersambungkan.
Tak sanggup menerima kenyataan, Nyonya Salmon tergelincir dalam percintaan dengan detektif muda yang sedang menyidik kematian anaknya. Ia kabur ke kota lain, mencoba membangun hidup baru bagi dirinya sendiri, menjauh dari suaminya, dari anak-anak, dan dari kenangan tentang ladang jagung yang, di suatu senja penuh salju, tiba-tiba menelan anak kesayangannya.
Pukulan dan kehilangan yang bertubi-tubi kemudian memojokkan Tuan Salmon dalam keputusasaan. Ia yakin anaknya dihabisi Harveytapi polisi tak kunjung menemukan petunjuk. Harap maklum, pembantaian ini terjadi pada awal 1970-an, ketika identitas pemilik sperma pemerkosa belum bisa diketahui secepatnya melalui teknologi DNA. Dalam kegusaran dan keputusasaan, Tuan Salmon menyerang seorang penegak hukum, sebuah insiden yang memberikan keyakinan kepada warga bahwa lelaki malang itu telah sinting.
Dan sang pembunuh, Harvey, yang kesepian, akhirnya meninggalkan ladang jagungnya. Ia gentayangan dari satu kota ke kota lain, terus dikuntit mata Susietapi luput dari pengamatan aparat kepolisian.
Tentu saja tak mudah menulis cerita yang dituturkan seseorang yang sudah mati. Dan Susie bukan hanya mati, tapi dibunuh, pada usia remaja pula. Di tangan penulis lain, novel ini barangkali akan menjadi kisah tentang hantu penasaran semacam cerita Pembalasan Nyai Roro Kidul atau paling banter seperti film Sixth Sense.
Tapi Sebold, penulis yang sebelum ini banyak dipuji lewat memoar Lucky (tentang bagaimana ia menghadapi hidup setelah diperkosa semasa mahasiswa), berhasil melepaskan diri dari godaan melodrama yang memerah air mata. Dengan bahasa yang puitis, buku ini bahkan mirip sebuah meditasi: bagiamana kepedihan dan rasa kehilangan akhirnya bisa diredam, betapapun pelan, melalui cinta dan kepasrahan.
Belakangan Susie menyadari ia tak sepenuhnya berada di nirwana: ia terlalu peduli dengan hidup dan perasaan orang-orang yang ditinggalkannya. Surga mewujudkan hampir semua keinginannya: sekolah tanpa guru, majalah fashion (Glamour, Vogue, dan Seventeen) sebagai buku teks, dan sekelompok anjing untuk bercandatapi tidak satu hal yang paling diimpikannya: kembali hidup. Dalam kemurahan surga, Susie tak kunjung bisa menerima mengapa justru ia yang dipilih Tuan Harvey.
Sebold agaknya tak bermaksud menulis cerita tentang dendam atau hukuman, tapi tentang harapan dan pengampunan. Akhirnya, Susie menuruti nasihat Franny, mentornya di surga, "Kalau kau bisa berhenti bertanya mengapa dibunuh, berhenti mengkhawatirkan perasaan mereka yang kau tinggalkan, kau akan bebas. Jika mereka yang mati ikhlas memutus hubungan dengan yang hidup, mereka yang ditinggalkan pun bisa meneruskan kehidupannya."
Dengan suara remaja belasan tahun yang kehilangan gairah, Susie pun menutup "memoar"-nya, "Semoga kalian menjalani kehidupan yang bahagia." Sebuah harapan, sebuah doa yang tak pernah dialaminya sendiri .
Prosa Lirik dari Tel Aviv
The Same Sea
Penulis: Amos Oz
Penerbit: Vintage Book, Canada, 2001 (201 hal.)
SEHELAI kartu pos meluncur dari Tibet ke Tel Aviv. Dia mengirimnya dengan perasaan bahagia karena tahu sang kekasih tengah merawat sang ayah. Tapi ia tak tahu sang ayah mengalami "interaksi oedipal"hubungan erotis yang canggungdengan kekasihnya. Apakah ini kisah cinta kudus laki-laki dewasa seperti seorang laki-laki yang mencium tapak kaki Maria?
Inilah karya terbaru dari Amos Oz, 65 tahun, sastrawan Israel. Setelah dia melahirkan 18 buku, The Same Sea merupakan salah satu buku utama yang didiskusikan di Festival Buku Edinburgh. Buku ini berkisah tentang seorang akuntan bernama Albert Danon yang larut dalam kesedihan karena baru saja ditinggal mati istrinya, Nadia, yang menderita kanker, sementara putranya, Rico, "melarikan diri" ke pegunungan Nepal, Sri Lanka, Kathmandu, dan Bhutan.
Albert Danon tinggal bersama Dita Inbar, kekasih Rico, yang cantik, hangat menggairahkan, dan terbuka untuk seks. Dita mengambang di antara dua laki-laki: yang satu mencintainya tapi mencari sosok ibu pada dirinya dan yang satunya lagi memposisikan dirinya seperti seorang anak. Bila gairahnya timbul, yang dilakukan hanyalah membenamkam lama-lama tubuhnya dalam busa-busa bak mandi.
Ditulis dengan gaya prosa lirik, halaman buku ini berisi cerita bak puisi atau vinyet yang sambung-menyambung menjadi satu cerita. Dipuji oleh banyak kritikus lantaran sangat ekonomis dengan kata, sederhana, dan tingkat presisinya tinggi, tapi mengalir ibarat sebuah komposisi musik (Oz menyebut novelnya ini antara sastra dan musik), novel ini memang tidak menyentuh langsung konflik Palestina-Israel seperti yang sering ditampilkan artikel dan esai Oz. Ini sebuah fiksi tentang cinta segitiga yang intim, erotis, dan puitis, sekaligus tragis. Tentang kesetiaan dan pengkhianatan. Tentang hasrat yang berpilin dengan kerinduan, kesedihan, dan kesepian.
Oz, yang menyelesaikan novelnya di sebuah pedesaan di Siprus, banyak menggunakan alusi Perjanjian Lama dan metafor dari khazanah sastra Yahudi. Misalnya, saat melihat seorang lelaki berdiri di balkon, Dita membayangkan laki-laki itu seperti karakter Raja Daud. Minyak zaitun, jelaga, lautkata-kata yang sering dipakai Perjanjian Lamakerap dipakai Oz untuk menggambarkan gelora, kebimbangan batin, dan sensualitas yang halus. Plot bergerak membayang dari "dunia sini" dan "sana". Bagaimana Nadia yang telah mati, tapi selalu kembali datang, datang dalam pikiran-pikiran suami dan anaknya di tengah-tengah cerita.
Pada titik ini, Oz memang terinspirasi oleh ibunya yang bunuh diri di kala Oz masih berumur 12 tahun. "Oh anakku Absalom, oh anakku Absalom, meja di sini, gitar di sini, tempat tidur di sini, tapi kamu bagai bulan yang membayang di laut yang pucat," demikian "jerit "suara Nadia di akhir cerita. Plot juga tiba-tiba menempatkan Oz sendiri hadir di tengah cerita.
Dalam sebuah wawancaranya, Oz mengatakan The Same Sea ini mengetengahkan situasi privat sehari-hari sebuah keluarga dalam kondisi (Negara Israel) yang tak normal. Ia ingin menunjukkan bagaimana dalam situasi itu muncul selalu tokoh-tokoh dengan karakter yang letih yang tak pernah mengatasi konflik yang dihadapinya dan selalu gagal berkomunikasi dalam taraf yang personal. Kira-kira ini sebanding dengan apa yang dikatakan Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya Love in the Times of Cholera. Banyak resensi menyebut novel Oz ini bisa dipahami sebagai alegori bagi krisis di Timur Tengah.
Seno Joko Suyono
Belantara Kegelapan Manusia
Atonement (384 halaman)
Penulis: Ian Mc Ewan
Penerbit: Vintage Book, Canada, 2001
Tuan Kegelapan adalah julukan baginya. Ian Mc Ewan, penulis yang dianggap mahir memainkan sisi gelap manusia, mempunyai nama panggilan "Master of Darkness".
Sebuah julukan yang tidak keliru. Melalui karya-karyanyayang terkenal Enduring Love dan Amsterdampenulis dari Inggris ini dengan brilian mengaburkan batas moralitas yang hitam-putih. Novel Atonement, yang menggaet nominasi Booker Prize 2001, juga berhasil masuk dalam barisan buku terlaris di pameran buku internasional di Frankfurt Book Fair ataupun di Edinburgh International Book Festival tahun ini.
Novel setebal 400 halaman ini mengeksplorasi kegelapan seorang Briony Tallis, remaja 13 tahun. Mengambil setting masyarakat kelas atas Inggris yang konvensional, awal 1930-an, Briony tumbuh dengan imajinasi tak terbendung. Dia membuktikan kemahiran berolah kata dengan menulis novel. Pada babak awal, novel ini tidak terlalu membangkitkan selera. Mc Ewan mengisahkan latar belakang keluarga Tallis dengan deskripsi yang berkepanjangan. Melampaui halaman keseratus, barulah ketegangan dibangun.
Briony, dengan kemahirannya berkhayal, dengan lihai memutar-balik fakta dan menuding Robbie Turner menganiaya Lola, sepupu Briony. Sebuah tudingan yang lantas membuat berantakan seluruh ketenteraman hidup keluarga besar Tallis. Pada bagian inilah Mc Ewan memainkan emosi pembaca yang menyimak kebohongan seorang bocah cilik yang semestinya masih polos dan lugu. Sementara itu, Robbie, sekeluar dari penjara, memilih bergabung dengan tentara Inggris melawan invasi Nazi Jerman. Cecilia Tallis, kakak Briony sekaligus kekasih Robbie, tak memiliki semangat hidup. Dia meninggalkan keluarga Tallis terjun ke medan perang sebagai perawat.
Briony, yang juga dihantam penyesalan, juga mengikuti jejak Cecilia menjadi perawat di medan perang. Briony remaja menyaksikan segala jenis kepedihan yang bisa menimpa tubuh manusia. Tulang yang tercerabut dari daging, usus terburai, serat otak berhamburan, kaki yang tercabik ranjau, sampai ingatan yang musnah gara-gara kekejaman perang.
Mc Ewan mengakhiri Atonement dengan renungan. Di tengah kepungan kepikunan, Briony tua, 77 tahun, yang telah menjadi novelis terkenal, masih menyisakan rasa bersalah atas tragedi Robbie-Cecilia. Tapi dia tetap tak mau mengakui dan mengumumkan kesalahannya kepada dunia. Selain menjaga reputasi, Briony juga yakin, novelis bak Tuhan. Dia berhak sekehendak hati merangkai segala macam unsur menjadi sebuah dunia baru.
Seperti Briony, tokoh-tokoh rekaan Mc Ewan hampir selalu gelap, ambisius, sinis, dan tak segan memanfaatkan kenyataan yang brutal. Bagi Mc Ewan, semua orang perlu menyelamatkan diri dan kepentingan masing-masing karena, "Kita ini binatang sosial," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo