Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Jembatan di Musim Gugur

Frankfurt Book Festival berlangsung bulan lalu. Festival yang menawarkan dialog antarbudaya serta antara pengarang dan pembacanya.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Derasnya tiupan angin musim gugur dan dinginnya udara empat derajat Celsius itu tak menghentikan para penggila buku itu mengarungi dunia imajinasi. Di Frankfurt mereka bertemu, menyelam ke dunia yang luar biasa itu, dan sekaligus tawar-menawar dalam sebuah pesta bernama Frankfurt Book Fair 2002. Jaket boleh tebal, kedua tangan boleh rapat-rapat masuk ke dalam saku, toh mereka dengan gagah masuk ke dalam gedung pameran yang berlangsung dari 9-14 Oktober silam. Bertempat di gedung khusus pameran, di Jalan Ludwig Erhard, pameran ini dibuka pukul 09.00 hingga 18.30. Dengan tiket seharga 15 euro (kecuali untuk karcis terusan sekaligus untuk seluruh festival, Anda bisa membayar 34,75 euro), para pengusaha buku dan undangan boleh masuk setiap hari. Sedangkan para pengunjung biasa, umum, hanya diperbolehkan masuk pada hari Sabtu dan Minggu. Negosiasi bisnis memang tampak nyata. Hampir di setiap sudut stan selalu ada orang berjas-dasi sibuk berbicara tentang buku mana yang diminatinya. Sambil berbicara, mereka membuka-buka buku dengan sabar, dari lembar ke lembar. Petugas stan menerangkan dengan detail. Restoran dan kafe juga tak pernah sepi dari diskusi bisnis itu. Sambil minum kopi mereka bicara tentang kontrak dan sebangsanya. Di atas area seluas 175 ribu meter persegi inilah pameran buku yang bertujuan melintasi batas-batas negara digelar sepanjang lima hari. Memang pameran ini diselenggarakan berkat kerja sama empat lembaga kuat: Departemen Luar Negeri, Departemen Ekonomi, Goethe Institut, dan Uni Eropa. Tapi yang lebih mencorong menampilkan wajah internasional Frankfurt Book Festival mungkin penerbit Personenenzyklopaedien AG cabang Wina, Austria. Itulah penerbit buku Who's Who, semacam Apa Siapa di Indonesia, yang kelihatan sangat serius menawarkan produk baru: Who's Who Tschechien, Who's Who Polandia, Who's Who Slovakia, Who's Who Hungaria, Who's Who Jerman, Who's Who Austria, Who's Who Magyaroszágon, dan masih banyak lagi. Penerbit ini mempunyai 14 ribu nama tokoh penerbit, pengarang, dan aktivis perbukuan lainnya, dan itu pun masih dilengkapi dengan 8.000 alamat e-mail. Termasuk Chihua Achebe, penulis novel terkenal Things Fall Apart yang kini telah diterjemahkan ke dalam 50 bahasa dan telah terjual 10 ribu kopi. Tahun ini novelis kulit hitam asal Nigeria itu menerima medali penghargaan dari asosiasi penerbit Jerman. Dan namanya disejajarkan dengan pengarang dunia lainnya seperti Assia Djebar, Max Tau, Wladyslaw Bartozewski, dan Annemarie Schimmel. Frankfurt Book Festival tahun ini memang muncul dengan tema Bridges for a World Divided—sesuatu yang dikutip dari ucapan terkenal bekas Presiden Amerika, Abraham Lincoln: A House Divided Against Itself Can Not Stand. Namun perbukuan Jerman yang dalam lima tahun terakhir produktivitasnya merosot punya kepentingan sendiri di sini. Bagaimanapun Jerman adalah negara yang sejak 1998 aktif menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa asing. Misalnya ke dalam bahasa Cina (10,9%), Spanyol (8,2%), Korea (7,9%), Inggris (7,2%), Italia (7,1%), Tschechien (6,6%), Prancis (5,7%), Polandia (5,6%), Belanda (5,5%), dan Rusia (4,1%). Meski begitu, Jerman juga tidak bisa menutup pintu terhadap buku asing yang paling laris di negerinya. Buku Harry Potter beserta produk animasinya dicintai penggemar cilik Jerman. Begitu juga buku-buku dari Jepang seperti Pokemon itu. Sebenarnya samar-samar kita bisa menyaksikan gejala meredupnya bisnis buku Jerman di festival ini. Tahun lalu jumlah peserta asal Jerman mencapai 2.474, tapi pada tahun ini angka ini menyusut jadi 2.128 peserta. "Harga buku di Jerman menurun terus 20-40 persen," kata Holger Ehling, kepala urusan pers dan komunikasi festival buku internasional Frankfurt, kepada TEMPO. Para penerbit mencoba bertahan dengan untung yang sedikit, minimal sekadar untuk menutup ongkos produksi. Tapi para penggemar buku bersuka cita. Di setiap toko buku Jerman, sekarang selalu ada obral. Buku-buku kesusastraan yang baru memang bisa dipajang di toko buku dengan harga normal sekitar 30 euro. Tapi angka itu hanya akan bertahan sepanjang sembilan bulan. Sesudah itu harganya menjadi 5 euro. Para peserta dari pihak tuan rumah menurun, tapi partisipan dari kalangan internasional semakin banyak. Tahun lalu cuma 106 negara yang terlibat dalam pameran, tapi dalam festival bulan ini jumlah itu berkembang menjadi 110 negara. Bukan angka yang mencolok memang. Tapi warna internasional tampak mencorong melalui langkah-langkah beberapa negara yang begitu bergairah mempromosikan produknya. Italia, misalnya, menyewa hampir satu hall, terdiri dari 324 paviliun. Tak mengherankan jika penerbit dari Madrid, Roma, Bologna, berkumpul di sana. Namun harus diakui, jumlah peserta Italia itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan Inggris (859 anjungan) dan Amerika Serikat (734 anjungan). Lebih dari 300 ribu buku dipamerkan di sini, dan di antaranya minimal terdapat 81 ribu judul baru. Ada tiga penerbit Indonesia yang ikut membuka stan: Kanisius, PT Gunung Mulia, dan Central for Strategic and International Study (CSIS). Biasanya setiap dua tahun sekali pihak Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menyempatkan ikut dalam pameran besar ini. Namun kali ini mereka batal hadir. CSIS, yang absen pada tahun 2000, hadir pada tahun 2001 dan tahun ini. Toni, penjaga stan di CSIS yang hanya mau menyebut sepenggal namanya itu, merasa beruntung bisa ikut. Karena untuk membuka stan 2x2 meter persegi saja biayanya hampir 1.000 euro. Dan itu jelas cuma keluar dari kantong CSIS sendiri. Padahal, buku-buku analisis ekonomi, politik, dan hubungan internasional yang ditawarkan juga kurang menarik. Siapa peminatnya? Toni mengaku: tidak ada. Tapi banyak negara kecil yang mencoba mempromosikan produknya sebaik mungkin. Misalnya Lithuania, negara bekas satelit Uni Soviet yang sekarang telah berdaulat penuh dan kini menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Festival. Lithuania tak saja mempromosikan seniman kategori nomor wahid di dunia seperti Renata 'Serelyé, Kornelijus Patelis, dan Icchokas Meras. Dalam kesempatan ini mereka memperkenalkan musik kamar karya komponis Mikalojus Konstatinas Çiurlionis. Memang tak cuma buku yang dipamerkan, salah satu negara Baltik ini juga membawa foto jurnalis, musisi, sineas, penulis, dan lainnya. Praktis Lithuania menempati satu hall sendiri (sekitar 1.000 meter persegi) sebagai ajang untuk mempromosikan dirinya. Untuk menarik simpati pengunjung, Lithuania menyediakan suvenir buat pengunjung berupa teh tumbuh-tumbuhan khas negara itu dan mainan anak-anak. Memang Frankfurt Book Festival sarana promosi yang dapat diandalkan. Pameran ini punya rencana tiga tahun ke depan. Menurut rencana, tahun depan pameran akan dilangsungkan pada 8-13 Oktober 2003. Tahun selanjutnya pada 6-11 Oktober 2004. Dan terakhir pada 19-24 Oktober 2005. Inilah festival dengan pengelolaan manajerial yang hebat. Ada satu hal yang semakin jelas dari perjalanan festival ini: kerja sama internasional. Namun, selain menjembatani perbedaan antarnegara, festival ini berpretensi menghapus jarak antara pengarang dan pembacanya. Penulis Kurs Setzen In Einer Veraenderten Welt, Dr. Benita Ferrero-Weldner asal Austria, mengajak pengunjung membedah bukunya. Juga ada diskusi antara penulis Polandia, Januzs Rudnicki, dan penulis Chek, Daniela Fischerová. Keduanya kebetulan menulis buku bareng berjudul Fern und Nah (Jauh dan Dekat). Itu pun belum termasuk pertemuan penulis Kanada terkenal Naomi Klein, Direktur Beijing Genomics Institute Huanming Yang, pengarang dan penerima Medali Penghargaan 2000 (''Fridenpreistraegerin'') Assia Djebar dan Eksekutif Direktur Unicef, Carol Bellamy, di hadapan para wartawan. Mungkin satu-satunya hal yang kurang "menginternasional" dalam festival ini hanyalah siaran pers. Seperti diketahui, ada sekitar 10 ribu wartawan dari 80 negara—termasuk 800 stasiun televisi—meliput festival buku yang sudah berjalan sejak 1976 ini. Berkat segunung pengalaman panitia selama ini, segala kebutuhan teknis para wartawan praktis terpenuhi. Dengan enam ruang jumpa pers di press center lantai satu dan lantai dasar, peristiwa-peristiwa dalam festival pasti tak akan luput dari sorotan pers. Singkatnya: tak ada hari tanpa jumpa pers. Tapi ironis sekali, festival internasional ini hanya menyediakan siaran pers dalam bahasa Jerman. Ini yang membuat wartawan Zimbabwe, Spanyol, dan negara-negara tak berbahasa Jerman lainnya menggeleng-gelengkan kepala. Sri Pudyastuti (Baumeister, Frankfurt).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus