Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Festival Cheng Beng adalah saat di mana masyarakat Tionghoa melakukan sembahyang atau ziarah ke makam para leluhurnya. Tahun ini proses sembahyang kepada leluhur ini jatuh pada 5 April 2018. Namun, 10 hari sebelum dan sesudahnya acara tetap dilaksanakan proses penghormatan kepada leluhur. “Jadi, jatuhnya mulai 26 Maret (2018). Biasanya, orang berbondong-bondong mulai ke daerah (untuk berziarah),” ujar Rusli Tan dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) saat dihubungi Tempo pada 15 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Festival Cheng Beng ini juga mengingatkan kita pada sebuah ritual proses pemakaman, salah satunya proses pengabuan alias kremasi. Kematian merupakan sesuatu yang bersifat natural dan akan dilalui oleh seluruh makhluk hidup di dunia. Untuk mengembalikan ruh diri kepada Sang Pencipta, salah satu ritual religius yang dapat dilakukan adalah kremasi. Dilansir dari Cremation Resource, kremasi adalah proses pembakaran jenazah dengan api atau energi panas untuk kemudian diolah kembali menjadi abu. Kremasi biasanya membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam, tergantung dari bobot tubuh jenazah, jenis peti yang digunakan, dan sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca juga:
Ini Manfaat Karma untuk Karier Robby Purba, Sang Pemandu Program
Festival Cheng Beng Saatnya Mengingat Leluhur, Puncaknya 5 April
Waspada 3 Zodiak Ini, Cinta Bisa Putus Tiba-tiba
Selama proses pembakaran, jasad akan berubah menjadi abu beserta dengan kepingan tulang dan besi yang berasal dari peti. Kemudian, serpihan besi akan dipisahkan agar abu dapat dihaluskan kembali sebelum diserahkan ke keluarga untuk penghormatan terakhir. Saat TEMPO.CO melihat proses pengembalian abu jenazah kerabat kepada keluarganya, ada anggota keluarga yang tidak kuat melihat abu jenazah itu sehingga nyaris terjatuh. Pria yang ditinggalkan istrinya itu harus dipapah oleh anggota keluarga lain untuk ditenangkan dan didudukkan di kursi sambil proses serah terima abu jenazah selesai dilakukan antara pegawai krematorium dengan pihak keluarga.
Psikolog A. Kasandravati Putranto mengatakan reaksi keluarga tergantung pada keyakinan yang dianut masing-masing. Karena sudah menjadi bagian dari keyakinan, keluarga akan bisa menerima prosesi tersebut. Kalaupun terjadi gangguan psikis setelah melalui proses tersebut, bisa jadi terdapat masalah pada profil psikologisnya. “Jika memang ada masalah psikologis, bisa saja ada trauma atau tekanan,” kata Kasandra saat dihubungi Tempo pada 27 Maret 2018.
Kasandra mencontohkan para penganut agama Hindu yang mengikuti prosesi Ngaben, upacara pembakaran jenazah di Bali. Menurut asisten psikolog Kasandravati, Ni Putu Putri Puspitaningrum, keluarga justru lega karena telah memahami makna pembakaran atau kremasi jasad. Maknanya adalah membantu ruh yang meninggal untuk lebih cepat menyatu dengan Sang Pencipta. “Jadi, tidak lagi memikirkan sakit fisik (saat) diaben atau dibakar itu sendiri,” ujar kata Ni Putu Putri.
Salah satu kakek dari Albertus Agung dikremasi. Albert mengatakan kakeknya dikremasi adalah keputusan kakeknya sendiri. Ia mengatakan leluhurnya juga menerapkan kremasi. "Kakek tidak ingin merepotkan anak dan cucunya," kata Albert yang berprofesi sebagai dosen.
Berdasarkan wasiat itu, keluarga pun langsung urun rembuk untuk menyediakan dan mencari jasa kremasi. Keluarga Albert ikhlas ketika sang kakek akhirnya dikremasi. Keluarga pun melarung abu jenazahnya di laut. "Karena anggapan kami, laut itu terhubung antara laut satu dengan yang lainnya. jadi jika kita ingin mengunjungi untuk mendoakan, kita bisa pergi ke laut mana saja," katanya.
ANASTASIA PRAMUDITA DAVIES | CREMATION RESOURCE | MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA | MT