Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Festival Cheng Beng Saatnya Mengingat Leluhur, Puncaknya 5 April

Festival Cheng Beng adalah saat di mana masyarakat Tionghoa melakukan sembahyang atau ziarah ke makam para leluhurnya. Puncaknya 5 April 2018.

3 April 2018 | 15.06 WIB

Masyarakat Tionghoa sembahyang pada Festival Cheng Beng di Krematorium Cilincing, Jakarta pada 1 April 2018. Tempo/ANASTASIA DAVIES
Perbesar
Masyarakat Tionghoa sembahyang pada Festival Cheng Beng di Krematorium Cilincing, Jakarta pada 1 April 2018. Tempo/ANASTASIA DAVIES

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Festival Cheng Beng adalah saat di mana masyarakat Tionghoa melakukan sembahyang atau ziarah ke makam para leluhurnya. Acara ini biasanya jatuh pada 5 April 2018. Namun, 10 hari sebelum dan sesudahnya acara tetap dilaksanakan. “Jadi, jatuhnya mulai 26 Maret (2018). Biasanya, orang berbondong-bondong mulai ke daerah (untuk berziarah),” ujar Rusli Tan dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) saat dihubungi Tempo pada 15 Maret 2018.

Baca juga:
Stephen Hawking Dikremasi, 11 Tokoh Dunia Ini pun Pilih Kremasi
Kanker Paru Berkembang Sangat Cepat, Waspadai Batuk Berdarah
Bekerja Jauh dari Anak? Intip Tips Ahli Agar Keluarga Tak Ricuh

Rusli mengatakan, ia sendiri memiliki kebiasaan membagikan makanan saat festival tersebut pada masyarakat sekitar, bahkan mereka yang memegang kepercayaan lain. Ia biasanya membawa produk kalengan, seperti biskuit, permen, atau soda untuk dibagikan dengan maksud membagi rezeki dengan masyarakat lainnya. “Kalau datang festival Cheng Beng, mereka bisa senang karena dapat makanan kalengan. Kalau misalnya saya bawa daging babi, tidak semua bisa makan,” jelasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ia menjelaskan, saat festival Cheng Beng, beberapa kota-kota besar seperti Medan dan Pontianak akan penuh dengan peziarah yang ingin mengunjungi leluhurnya. Karena itu, lebih baik jika festival ini tidak hanya ditujukan pada masyarakat Tionghoa saja, tetapi juga masyarakat yang ada di sekitar area kuburan atau tempat penyimpanan abu jenazah agar bisa lebih bermanfaat. “Fanatik berbuat kebaikan itu lebih penting. Itu ajaran Sang Buddha. Manfaatnya bisa mensucikan hati dan pikiran,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut kepercayaan umat Buddha sendiri, jasad orang yang meninggal lebih baik dikremasi menjadi abu sehingga tidak menyulitkan keturunan yang harus mengurus makam leluhurnya. Namun, abu juga boleh disimpan di tempat penyimpanan abu atau di rumah jika tidak ingin dilarung ke laut. Rusli mengatakan, tidak ada yang benar atau yang salah dalam ajaran Buddha sehingga semuanya dikembalikan ke masing-masing individu.

MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus