UNTUK mengetahui seseorang mengidap TBC atau tidak, kini bisa
dilakukan lebih cepat. Caranya tak jauh berbeda dengan
pemeriksaan dini tuberkulosa yang sudah ada. Misalnya
pemeriksaan dengan tes mantoux: menyuntikkan cairan kuman TBC
yang sudah dilemahkan (tuberkulin) ke tubuh manusia untuk
kemudian dilihat reaksi atau hasilnya. Tapi, dengan memakai
tuberkulin jenis RT 23 yang tak mengandung zat lain kecuali
protein murni kuman TBC (Purified Protein Derivative R 23-,
yang kini sudah dibuat pabrik obat Biofarma, Bandung), Thomas
Kardjito, 45, berhasil mempertajam waktu diagnosa TBC. Yakni
dari 72 jam menjadi hanya enam sampai delapan jam.
Berkat penemuan itulah, dua pekan lalu, dokter yang kini
bermukim di Surabaya itu diberi gelar doktor dengan predikat
sangat memuaskan oleh almamaternya, Universitas Airlangga,
Surabaya. Dia bahkan menjadi kebanggaan rektornya, Prof. Dr.
Marsetio Donosaputro, karena menjadi ahli pertama Indonesia yang
penemuannya kelak akan menggeser metode mantoux yang sudah lama
dipakai.
Untuk mencapai hasil itu, doktor baru yang bertubuh kekar ini
menghabiskan waktu penelitian di dalam dan luar negeri selama
empat tahun. Ratusan penderita dan bukan penderita TBC (untuk
bandingan) diteliti ayah tiga anak itu sejak 1978. Bolak-balik
London-Surabaya, pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini bahkan
sempat memperdalam imunologi selama sebulan di markas WHO di
Lausanne, Jenewa, scbelum mempersembahkan 19 makalah bcrbahasa
Inggris - yang dibuatnya selama proses penelitian itu - menjadi
disertasi.
Thomas mula-mula tertarik meneliti soal kekebalan TBC di tubuh
manusia pada tahun 1975. Ketika itu Agung, putra pertamanya,
sakit. "Sudah saya ronsen, tapi tak ada kelainan," tuturnya
kepada TEMPO. Agak berspekulasi, dia lalu menyuntik bocah
berusia tujuh tahun itu dengan tuberkulin. Reaksi ternyata
datang lebih cepat dari biasa. Tak sampai delapan jam, di daerah
bekas suntikan muncul bercak merah dan tubuh Agung meriang.
Hasil ini memacu Thomas memperdalam imunologi. Atas pengertian
dan sokongan Profesor Jack Pepys, yang memimpin departemen
klinik imunologi di Institut Kardiotorak London, dia diberi
kesempatan mengadakan penelitian di sebuah rumah sakit di
London, Oktober 1978.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini