Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Paradoks si tiga huruf

Konperensi para ahli TBC Asia Pasifik XII di jakarta. penderita penyakit tbc, di negara berkembang terus meningkat, walaupun obat dan teknologi diagnostik kuman penyakit tersebut terus ditemukan. (ksh)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUH orang Indonesia rupanya masih empuk buat kuman TBC (tuberculosis). Sekitar I juta penduduk kini dijangkiti penyakit yang dulu sering disebut penyakit tiga huruf itu, dalam tingkat yang siap ditularkan. Tak perlu kaget, angka ini setelah ditotal akan menjadi sekitar 5 juta, jika semua tingkat penderita penyakit yang diberantas sejak 1951 itu ikut dimasukkan. Maka, bisa dimengerti kalau Jumat malam pekan lalu, begitu selesai Konperensi para ahli TBC Asia Pasifik XII di Hotel Indonesia, Jakarta, sekretaris umum Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosa Indonesia (PPTl) dr. Sulastomo memprihatinkan angka-angka itu dan menyebutnya sebagai "suatu paradoks". Sebab, "di satu pihak obat mutakhir yang ampuh dan teknologi diagnostik kuman penyakit itu terus ditemukan," katanya "di pihak lain jumlah penderita, terutama di negara berkembang, terus meningkat." (Lihat box: Gara-gara Agin Sakit). Survei yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun 1965 dan 1980 di 14 provinsi juga menunjukkan angka-angka yang mengkhawatirkan. Penelitian itu memperlihatkan bahwa 6 dari 1.000 penduduk dijangkiti TBC yang siap ditularkan dan secara keseluruhan 36 dari 1.000 penduduk dinyatakan mengidap kuman TBC. Karena itu, Sulastomo memastikan anka-angka itu karena faktor kesadaran dan disiplin berobat orang Indonesia yang belum kuat. "Itulah faktor X itu dan kita sudah tahu sejak lama, tapi belum bisa menanamkannya secara mantap kepada masyarakat," ucapnya berterus-terang. Indikasi itu bisa dilihat dari angka tak berobat tuntas (dropout) yang masih sekitar 60% dari para penderita. "Saya tak tahu apa kita harus meniru Bangladesh yang memaksa penderita TBC menabung dan tabungan itu tak bisa diambil sebelum sembuh, atau bagaimana," katanya lagi. Untuk itu, bersama pemerintah, PPTI memfokuskan pemberantasan kini pada penderita yang berusia produktif 20-50 tahun. Penentuan batas usia ini karena kemampuan pemerintah memberantas memang terbatas. "Dari 200.000 pertambahan penderita TBC yang positif bisa ditularkan setiap tahun, hanya 50.000 yang bisa diobati secara cuma-cuma oleh pemerintah," kata Rasmin Rasjid, guru besar ilmu penyakit paru Universitas Indonesia kepada TEMPO. Untuk menyembuhkan seorang pasien dengan pengobatan terus menerus selama enam bulan, diperlukan biaya Rp 80.000 per orang. Repotnya, sering pasien yang baru tahap pulih sudah berhenti makan obat. Bak berburu macan, pemerintah kini tampak berusaha keras menerapkan pengobatan hingga tuntas sembuh itu. "Sebab, ibarat macan yang luka karena tak tertembak tepat, kuman TBC yang tak diobati tuntas akan mengakibatkan kekebalan atas obat yang sama, dan dia mengganas lebih hebat lagi," kata Dokter Gunardi A.S., kepala Subdirektorat Pemberantasan Penyakit TBC Direktorat Jenderal P3M Departemen Kesehatan. Susahnya lagi, para penderita kebanyakan terdiri dari golongan kurang mampu dan yang tingkat kesadarannya akan kesehatan masih rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus