TUBUH orang Indonesia rupanya masih empuk buat kuman TBC
(tuberculosis). Sekitar I juta penduduk kini dijangkiti penyakit
yang dulu sering disebut penyakit tiga huruf itu, dalam tingkat
yang siap ditularkan. Tak perlu kaget, angka ini setelah ditotal
akan menjadi sekitar 5 juta, jika semua tingkat penderita
penyakit yang diberantas sejak 1951 itu ikut dimasukkan.
Maka, bisa dimengerti kalau Jumat malam pekan lalu, begitu
selesai Konperensi para ahli TBC Asia Pasifik XII di Hotel
Indonesia, Jakarta, sekretaris umum Perhimpunan Pemberantasan
Tuberkulosa Indonesia (PPTl) dr. Sulastomo memprihatinkan
angka-angka itu dan menyebutnya sebagai "suatu paradoks".
Sebab, "di satu pihak obat mutakhir yang ampuh dan teknologi
diagnostik kuman penyakit itu terus ditemukan," katanya "di
pihak lain jumlah penderita, terutama di negara berkembang,
terus meningkat." (Lihat box: Gara-gara Agin Sakit).
Survei yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun 1965 dan 1980
di 14 provinsi juga menunjukkan angka-angka yang
mengkhawatirkan. Penelitian itu memperlihatkan bahwa 6 dari
1.000 penduduk dijangkiti TBC yang siap ditularkan dan secara
keseluruhan 36 dari 1.000 penduduk dinyatakan mengidap kuman
TBC.
Karena itu, Sulastomo memastikan anka-angka itu karena faktor
kesadaran dan disiplin berobat orang Indonesia yang belum kuat.
"Itulah faktor X itu dan kita sudah tahu sejak lama, tapi belum
bisa menanamkannya secara mantap kepada masyarakat," ucapnya
berterus-terang. Indikasi itu bisa dilihat dari angka tak
berobat tuntas (dropout) yang masih sekitar 60% dari para
penderita. "Saya tak tahu apa kita harus meniru Bangladesh yang
memaksa penderita TBC menabung dan tabungan itu tak bisa diambil
sebelum sembuh, atau bagaimana," katanya lagi.
Untuk itu, bersama pemerintah, PPTI memfokuskan pemberantasan
kini pada penderita yang berusia produktif 20-50 tahun.
Penentuan batas usia ini karena kemampuan pemerintah memberantas
memang terbatas. "Dari 200.000 pertambahan penderita TBC yang
positif bisa ditularkan setiap tahun, hanya 50.000 yang bisa
diobati secara cuma-cuma oleh pemerintah," kata Rasmin Rasjid,
guru besar ilmu penyakit paru Universitas Indonesia kepada
TEMPO.
Untuk menyembuhkan seorang pasien dengan pengobatan terus
menerus selama enam bulan, diperlukan biaya Rp 80.000 per orang.
Repotnya, sering pasien yang baru tahap pulih sudah berhenti
makan obat. Bak berburu macan, pemerintah kini tampak berusaha
keras menerapkan pengobatan hingga tuntas sembuh itu. "Sebab,
ibarat macan yang luka karena tak tertembak tepat, kuman TBC
yang tak diobati tuntas akan mengakibatkan kekebalan atas obat
yang sama, dan dia mengganas lebih hebat lagi," kata Dokter
Gunardi A.S., kepala Subdirektorat Pemberantasan Penyakit TBC
Direktorat Jenderal P3M Departemen Kesehatan. Susahnya lagi,
para penderita kebanyakan terdiri dari golongan kurang mampu dan
yang tingkat kesadarannya akan kesehatan masih rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini