Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah masa pandemi Covid-19, jumlah pendongeng di Indonesia meledak.
Generasi baru pendongeng ini lebih banyak berekspresi di ruang digital.
Mereka menghadapi tantangan baru yang tak dijumpai para pendahulunya.
SAMBIL tersenyum, Fadhilaturrohmi memulai sebuah cerita tentang seekor buaya bernama Bubu. Pendongeng berjilbab itu kemudian terlihat menguap. "Sedang apa ya ini?" ia bertanya kepada peserta acara Dongeng Sebelum Tidur, Senin malam, 25 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dongeng Sebelum Tidur diadakan Forum Pendongeng Nasional melalui aplikasi Zoom untuk memperingati Hari Dongeng Nasional yang jatuh pada 28 November. Fadhila—panggilan Fadhilaturrohmi—menjadi pendongeng yang tampil pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peserta yang kebanyakan anak-anak menjawab pertanyaan Fadhila lewat ruang obrolan. Mereka kompak menjawab "ngantuk". "Benar sekali," kata Fadhila, menanggapi. Ia kemudian melanjutkan kisahnya tentang sang buaya yang mencoba tidur siang. "Aku mengantuk sekali. Aku akan menggeser ekorku," ucapnya menirukan kata-kata Bubu.
Selama 10 menit, perempuan 28 tahun itu mendongeng dengan ekspresif. Ia memainkan mimik wajah hingga menggunakan variasi suara untuk membedakan karakter tokoh.
Fadhila dikenal sebagai penutur dongeng siniar (podcast). Ia berkecimpung di dunia dongeng sejak 2015 ketika masih kuliah di Yogyakarta. Bersama komunitas Rumah Dongeng Mentari, ia kerap tampil di berbagai acara anak di desa-desa sampai sekolah. Baru pada 2019 ia mulai terjun ke ranah digital dan membuat siniar di platform audio digital Spotify dengan nama Dongeng KalaDhila.
Ide membuat siaran digital itu muncul karena minimnya konten untuk anak-anak di media sosial. "Kebanyakan tentang horor dan kriminal. Belum nemu yang dongeng," ujarnya. Fadhila pun tergerak membuat siniar sekaligus menjadikannya wadah untuk hobinya bercerita.
Berbekal mikrofon dan laptop, Fadhila membuat rekaman siaran hanya dari rumah. Audio tersebut nantinya disunting di aplikasi Adobe Audition. Agar menarik minat para pendengar, mantan guru taman kanak-kanak itu memasukkan unsur musik instrumental yang lembut serta efek-efek suara, seperti kicau burung untuk menciptakan suasana di hutan.
Pada momen-momen tertentu, Fadhila membuat episode khusus. Pada saat Ramadan, misalnya, ia mengangkat kisah nabi. Tema dongengnya juga berganti setiap tahun. Ketika Agustus tiba, ia mengambil tema kemerdekaan. Sepanjang lima tahun ini, kanal siniarnya sudah memiliki 400 ribu pendengar.
•••
DONGENG bermula dari budaya tutur yang mengakar di berbagai daerah di Indonesia. Ketua Umum Forum Pendongeng Nasional Ahmad Fauzan mengatakan dongeng dan cerita rakyat awalnya dibawakan dalam pertunjukan budaya tutur atau tradisi lisan. Kini, dengan audiens spesifik anak-anak, mendongeng telah berkembang menjadi seni kontemporer. "Bukan tradisi lagi," kata pria yang akrab disapa Ojan itu.
Pekerjaan pendongeng baru muncul sekitar 1980 hingga 1990-an. Sejumlah sosok yang cukup ikonik kala itu antara lain Seto Mulyadi alias Kak Seto dan Suyadi alias Pak Raden. Generasi pendongeng berikutnya adalah Agus DS dan Kak Wes. Penerus mereka, Ojan melanjutkan, bermunculan terutama di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
Sampai 2000-an, jumlah pendongeng masih terbilang sedikit. Namun mulai banyak pendongeng profesional yang membuat kelas pelatihan dan melakukan pengaderan. "Itu menjadi bibit-bibit yang menambah jumlah pendongeng di Indonesia," ucap Ojan.
Baca:
Ketika pandemi Covid-19 melanda pada 2020, jumlah pendongeng meledak. Pengaderan yang semula berlangsung secara konvensional beralih ke ruang digital. "Banyak yang bikin kelas online," tutur Ojan. Komunitas pendongeng pun bermunculan di seluruh Indonesia dengan pertumbuhan jumlah anggota yang mengesankan. Forum Pendongeng Nasional berusaha mewadahi mereka, tapi jumlah anggota resminya sejauh ini baru 300 orang.
Platform-platform digital umumnya menjadi panggung bagi para pendongeng generasi baru ini. Sementara Fadhilaturrohmi lebih sering memanfaatkan Spotify, Kanya Cittasara memilih mendongeng di YouTube. Perempuan 31 tahun itu bersama suaminya, Achmad Zakaria Dharmawan, membuat saluran Cerita ZacKanya pada 2019.
Kanya Cittasara saat membuat konten mendongeng untuk kanal YouTube. Dok pribadi
Sebelum menikah, Kanya sebetulnya sudah aktif mendokumentasikan kegiatan mendongeng dan mengunggahnya di YouTube. Ia memulai karier sebagai pendongeng secara tak sengaja ketika mengikuti ajang pencarian bakat pada 2016.
Saat tampil, ia memadukan hobi bernyanyi dengan bercerita sehingga menghasilkan dongeng musikal. Dari acara itu, Kanya bertemu dengan teman lama yang kemudian mengajaknya bergabung dengan komunitas dongeng.
Saat itu Kanya lebih sering menjadi relawan yang mendongeng untuk anak-anak di panti sosial atau di taman. Setelah menikah pada 2018, ia memutuskan berhenti bekerja kantoran dan berfokus menjadi pendongeng sekaligus kreator konten. Ia bersama suaminya menjadi duo pendongeng musikal di YouTube.
Baru dua tahun belakangan Kanya membuat konten dongeng di media sosial Instagram dan TikTok. Ia juga membuat video tentang tip mendongeng dan mendapat sambutan yang luas. "Ternyata yang antusias banyak," ujarnya. Bukan hanya anak-anak, para orang tua pun tertarik dan merasa terbantu belajar mendongeng.
Konten dongeng Kanya dan suaminya bisa berbeda-beda di setiap platform. Di YouTube, mereka membawakan dongeng sambil bermain musik. Kanya yang bercerita, sementara Achmad Zakaria memetik ukulele. Durasinya juga lebih panjang, bisa sampai 30-45 menit.
Di Instagram dan TikTok, dengan akun @kanyasaurus, perempuan yang tinggal di Depok, Jawa Barat, itu membuat konten dongeng satu menit. Dalam video, pendiri komunitas Klub Dongeng itu hanya bercerita dengan tambahan musik latar.
Bagi Kanya, mendongeng di ranah digital punya sejumlah kelebihan. Salah satunya bisa menjangkau audiens lebih luas dibanding mendongeng secara tatap muka langsung. "Kalau offline kan kapasitasnya sesuai dengan ruangan. Kalau dongeng digital, penontonnya mungkin lintas pulau, negara, hingga benua," tuturnya.
•••
ESSENZA Bachreisy, pendongeng lain, menggunakan media digital sebagai sasaran antara. Ia membuat konten dongeng di platform ini untuk menggugah orang-orang agar mengundangnya mendongeng secara langsung. Menurut dia, keterbatasan yang paling terasa ketika ia mendongeng secara digital adalah soal interaksi. "Sebenarnya dongeng itu komunikasi dua arah. Idealnya ketemu," kata perempuan yang akrab disapa Echa tersebut.
Ketika mendongeng langsung, Echa bisa saling menatap, berpelukan, bersentuhan, dan berbicara dengan penontonnya. Namun, di ranah digital, hal itu tak bisa dilakukan sehingga ia harus beradaptasi, misalnya dengan mengajak audiens berdiskusi di kolom komentar.
Essenza Bachreisy saat mengisi acara Hari Anak Nasional di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 27 Juli 2024. Dok pribadi
Echa cukup lama berkecimpung di dunia dongeng. Alumnus ilmu perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, itu pernah bergabung dengan komunitas dongeng di kampusnya pada 2010. Ia menjadi relawan dan menyajikan dongeng untuk menghibur anak-anak. Ia bahkan pernah mendongeng di India saat mengikuti program pertukaran pelajar.
Ketika sudah menikah, ia masih menggeluti dunia dongeng, termasuk dengan tampil dari panggung ke panggung. Ketika ia mengikuti suaminya menetap di Jepang pada 2017-2018, kegiatan mendongengnya pun berlanjut. Echa sempat berkesempatan manggung di salah satu museum mainan di kawasan Wakayama, Kansai, Jepang. "Yang nonton anak-anak dan nenek-nenek. Seru banget," ucapnya.
Sejak 2016, Echa melirik platform digital sebagai wadah mendongeng. Ia terpacu karena melihat banyak konten di media sosial yang belum ramah anak. Sebagai pegiat literasi dan penutur, ia tergerak mengembangkan dongeng di dunia maya. "Kalau mau dekat dengan anak-anak, kita harus bikin konten mereka," ujar penulis buku Dongeng Seru Serangga ini.
Ketika Echa membuat konten YouTube, penontonnya justru lebih banyak orang dewasa. Ada pengajar, orang tua, juga sesama pegiat dongeng. Padahal targetnya semula adalah anak-anak. Di TikTok, barulah ia tepat sasaran.
Setelah aktif membuat konten dongeng di TikTok dengan akun @sarangcerita, Echa yang semula pesimistis dibuat kaget. Popularitas kontennya meledak dan tepat menjangkau audiens anak-anak. "Targetnya kena banget di anak-anak sekolah dasar. Orang tua juga," tuturnya.
Konten dongeng "Asal Mula Banyuwangi" yang ia buat ditonton 2,2 juta kali. Menurut Echa, banyak anak yang suka ketika ia membawakan cerita rakyat dari berbagai daerah. Tak jarang kontennya menjadi rujukan para pelajar untuk mengerjakan tugas atau mengikuti lomba dongeng.
Echa merasa mendongeng mengubah banyak hal dalam hidupnya, dari soal membagi waktu hingga kedisiplinan. Dengan menjadi kreator konten dongeng, ia juga menangguk berkah lewat permintaan kerja sama dengan sejumlah jenama hingga penulis.
•••
MENJADI kreator konten dongeng di dunia maya menghadirkan tantangan tersendiri. Rentang fokus pengguna media sosial yang cenderung singkat salah satunya. Essenza Bachreisy alias Echa pun harus lebih saksama mengolah cerita dan menulis skrip agar pesannya sampai kepada penonton. Saat ia mendongeng secara daring, waktu dan interaksinya terbatas. Biasanya durasi kontennya hanya 1-3 menit. Sedangkan mendongeng langsung bisa membuatnya lebih eksploratif dan bebas.
Tantangan serupa dialami Fadhilaturrohmi. Interaksi dengan pendengar dongeng siniar sebelumnya hanya bisa dilakukan lewat Instagram. Itu pun jika si pendengar meninggalkan komentar lebih dulu di akun media sosialnya. Tapi kini, dia menjelaskan, Spotify telah memiliki fitur bagi pengguna untuk menyukai dan meninggalkan komentar di siniar.
Ahmad Fauzan alias Ojan menilai dongeng digital cocok dengan anak-anak zaman sekarang yang akrab dengan gawai dan Internet. Di awal masa pandemi, dia sempat menikmati aktivitasnya mendongeng secara online. Bahkan ia sudah mulai menyesuaikan teknik pertunjukan di panggung dengan platform digital.
Namun, seiring dengan waktu, Ojan merasa mendongeng secara daring memiliki kelemahan, yakni kurangnya ikatan emosional dengan anak-anak. "Rasa mendongeng kepada anak secara langsung tidak bisa digantikan," katanya.
Saat dongeng diadaptasi ke ranah digital, Ojan melanjutkan, ada juga tuntutan memenuhi kebutuhan visual dan audio supaya menarik. Para pendongeng biasanya menambahkan ilustrasi gambar dan efek suara. Sayangnya, ketika mendapat suguhan visual, anak-anak menjadi kurang imajinatif. Hal ini berbeda dengan mendongeng secara konvensional yang bisa lebih mengasah imajinasi anak. Di Amerika Serikat, sejumlah pendongeng profesional memilih hanya menjual produk digital berupa audio karena tetap ingin mengutamakan imajinasi anak.
Dongeng digital juga memberi tantangan baru karena minimnya interaksi dan respons. Gimik panggung tidak akan lagi optimal menarik peserta. Karena itu, pendongeng digital harus mampu menyampaikan cerita dengan lebih naratif dibanding di panggung. "Bisa lebih nyastra. Memunculkan majas-majas yang tidak efektif di panggung tapi di digital terdengar lebih indah," ucap Ojan.
Dengan berbagai tantangannya, kehadiran platform digital memudahkan para pendongeng baru membangun portofolio dengan cepat. Mereka bisa mengisi berbagai acara tanpa datang langsung ke lokasi, hanya perlu menggunakan Zoom. Kemudahan ini pula, menurut Ojan, yang membuat pertumbuhan jumlah pendongeng meningkat cukup drastis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo