Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gaya Lukisan Abstrak Markaban dan Bambang

Jeroen Tan Markaban dan Bambang Bujono penyegar di tengah tren lukisan abstrak. Ikhtiar mengembalikan abstrak yang imajinatif. 

 

6 Desember 2024 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seri lukisan karya Jeroen Tan Markaban dalam pameran bertajuk 'Tidak berarti tidak...' di RUBANAH - Underground Hub, Menteng, Jakarta, 30 November 2024. Tempo/Indra Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Duet pelukis abstrak senior berpameran di RUBANAH Underground Hub, Jakarta.

  • Melukis abstrak dari lembaran majalah bekas ala Jeroen Tan Markaban. 

  • Filosofi telur dalam lukisan abstrak Bambang Bujono. 

PULUHAN lukisan seukuran kertas majalah ditempel di tembok-tembok ruang pameran RUBANAH Underground Hub, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 November 2024. Kertas-kertas berukuran 22 x 29 sentimeter itu terpasang apik dengan bingkai putih lengkap dengan kaca bening sebagai pelindung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mayoritas kertas itu berasal dari majalah bekas. Jeroen Tan Markaban adalah pencipta karya tersebut. Pria 70 tahun itu menyulap kertas bekas majalah dan sebagian kertas daur ulang menjadi lukisan abstrak yang menarik perhatian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti pada lukisan tak berjudul buatan Markaban pada 2021. Ia memanfaatkan satu lembar kertas majalah Rolling Stone terbitan Juni 2005, tepatnya halaman 18. Majalah Rolling Stone edisi itu memuat berita utama “The Immortals 100 Artis Terbesar Sepanjang Masa”.

Markaban tak memoles keseluruhan kertas majalah itu dengan tinta. Ia masih menyisakan beberapa bagian kertas seperti aslinya. Seperti pada pojok kiri atas yang menyisakan tulisan “The Immortals 2”. Pada lukisan itu, coretan kuas membentuk bayangan sepasang pria dan wanita bermuka seram yang bergandengan tangan. 

Ada juga selembar lukisan abstrak tanpa judul bertarikh 2021 memakai kertas bekas majalah horoskop. Pada lembar itu terlihat sisa-sisa gambar kartun seorang perempuan dengan tulisan “Gemini”. Coretan tegas cat hijau, biru, merah, dan hitam menari-nari di atas sapuan cat dasar putih yang tak rata. 

Selain menampilkan lukisan, Markaban menyuguhkan karya kolase berukuran cukup besar, berkisar 80 x 60-100 x 100 sentimeter. Misalnya karya berjudul Red Line berukuran 80 x 63 sentimeter yang dibuat pada 2023. Ia menempelkan sejumlah potongan koran dan majalah di atas sebuah papan. 

Sama seperti karya lukisan abstraknya, ada beberapa bagian kertas bekas yang dibiarkan tak tersapu cat akrilik. Seperti pada bagian kiri atas kolase Red Line, masih terlihat sepotong artikel berjudul “Serenade di Lereng Lawu”. Di sebelahnya ada dua potongan majalah yang memuat iklan penerbangan dari Indonesia ke Kuala Lumpur dan Bangkok. 

Sementara itu, di bagian pojok kanan hingga hampir seluruh kertas kolase dilukis dengan cat akrilik berkelir putih lusuh dengan sentuhan warna hitam. Ada sapuan cat kelir hitam pekat di sisi kanan lukisan serta tarikan garis tebal merah menyala membentuk sudut. 

Ada juga karya kolase berjudul Jumpy Jack berukuran 66 x 80 sentimeter buatan Markaban satu tahun lalu. Selain menempelkan potongan majalah bekas, ia menempelkan serpihan kertas pembungkus semen yang tak karuan bentuknya. Sekilas mirip pohon, sepintas pula mirip gambar pesawat yang dibikin bocah taman kanak-kanak. 

Bagi Markaban, bergelut dengan majalah bekas bukan tanpa sebab. Alasan simpelnya, ia mengaku tak punya ruang penyimpanan besar di rumahnya di kawasan Tanah Mas, Semarang. “Kalau lembar majalah kan kecil, kalau ditumpuk enggak butuh banyak ruang,” ucap Markaban, lalu tertawa, ketika ditemui Tempo pada Sabtu, 30 November 2024.

Namun pemilihan majalah bekas tidak sesederhana itu. Bagi Markaban, lembar majalah bekas menjanjikan hasil tidak terduga, sangat cocok dengan tipikal karya abstrak di dalam kepalanya. Markaban mengungkapkan, seni abstrak adalah suatu kebebasan dan kejutan. 

Ibarat komedi, jawaban pelawak yang out of the box alias di luar dugaan penonton pasti sukses disambut riuh tawa. Seperti itu pula lukisan abstrak kertas bekas majalah ala Markaban. “Ketakterdugaan inilah yang menjadi daya tarik dan teka-teki yang saya suguhkan,” tutur ayah penulis dan pengajar filsafat Martin Suryajaya itu. 

Soal kolase, Markaban menganggap itu sebagai proses seni yang unik. Hal itu dimulai dari menempel kertas bekas ke sebuah papan menggunakan lem kertas. Pola menempel kertas bekas pun asal-asalan. Selanjutnya, ia menggoreskan cat dengan warna dan pola yang mengalir begitu saja.

Terkadang Markaban harus merobek, mencabik, atau merusak potongan kertas yang sudah dilem dan dilukis. Dia menjelaskan, dengan merusak kolase yang sudah ia poles memakai cat akrilik, hal itu justru bisa memunculkan efek-efek abstrak yang ia cari.

Nama Markaban memang cukup asing di telinga penikmat seni dan lukisan di Jakarta. Maklum, ini pertama kali ia menggelar pameran di Jakarta. Ia lebih sering berpameran di Semarang, kota tempat tinggalnya. Belasan pameran ia adakan di kota tersebut. Ia juga pernah berpameran di Surakarta, Jawa Tengah, dan Batam, Kepulauan Riau. “Istilahnya, saya cuma jago kandang,” ujarnya, lalu terkekeh. 

Markaban serius menekuni dunia lukis sejak 1970-an saat masih kuliah di jurusan arsitektur Institut Teknik Katolik, Semarang (sekarang Universitas Katolik Soegijapranata), pada 1975-1977. Setelah lulus kuliah dan bekerja di bidang desain interior pun ia masih gemar melukis, khususnya aliran realisme yang ia anggap inti seni lukis. 

Namun paradigma realisme luntur setelah ia bertemu dengan pelukis asal Pati, Jawa Tengah, Joko Wahyono, pada 1995. Joko mengenalkan lukisan abstrak kepada Markaban. Mulanya ia penasaran pada pola pikir dan asah rasa dari Joko. Awalnya ia menilai lukisan Joko serba ngawur

Rasa penasaran pada seni abstrak membuat Markaban mencari beragam literatur, dari buku tentang pelukis tenar Pablo Picasso (1881-1973), Francis Bacon (1909-1992), hingga Brice Marden (1938-2023). “Ternyata gambar itu bukan perkara teknik, melainkan soal rasa,” ucap Markaban. 

Namun perjalanan melukis Markaban sempat terputus pada 2004-2016. Kala itu ia sibuk mengurus bisnis impor mebel Cina hingga tak punya waktu menggenggam kuas. Ia kembali berkarya pada 2016 hingga sekarang. 

Selain menampilkan puluhan karya lukisan Markaban, dalam pameran bertajuk “Tidak Berarti Tidak...” itu terselip lima lukisan abstrak karya Bambang Bujono, mantan wartawan Tempo sekaligus pengulas seni. Kelima karya Bambu, sapaan akrab Bambang Bujono, punya ciri kuat, yakni goresan oval yang jumlahnya banyak.

Lihatlah karya berjudul Lukisan yang dibuat pada 1971 di kanvas berukuran 60 x 65 sentimeter. Bambang melukis 324 bentuk oval kecil tersusun rapi 18 x 18 buah. Ratusan bentuk oval itu ia lukis dengan cat minyak berwarna hitam dan merah. Adapun latar kanvas disapu dengan cat berkelir cokelat muda. 

Ada juga karya lain berjudul sama dan dibuat pada tahun yang sama, 1971. Bedanya, hanya terdapat 36 bentuk oval di atas kanvas berukuran 65 x 57 sentimeter itu. Adapun gambar-gambar oval tersebut dilukis dengan warna cokelat dan latar berkelir hijau.

Bambang mengenal seni lukis dari sepupunya yang seorang pelukis abstrak pada 1960. Saat itu ia berpikir lukisan abstrak tersebut tak lebih dari buah karya asal-asalan. Namun dilema bergelut di benak Bambang. “Tapi kok enak dilihat ya lukisannya?” tutur Bambang ketika ditemui pada Sabtu, 30 November 2024. 

Sejak saat itu, Bambang ikut-ikutan melukis abstrak. Namun ia tak mau asal coret dan gores kanvas. Menurut dia, lukisan abstrak harus punya filosofi. Nah, bentuk oval dalam karyanya itu perwujudan dari telur yang dianggap sakral. Dia mengungkapkan, telur ibarat embrio atau awal dari kehidupan. 

Setidaknya Bambang telah menghasilkan 25 karya lukis abstrak. Sayangnya, sebagian sudah rusak karena tak terawat dengan baik. Ia berhenti melukis pada 1980-an, tepatnya saat pindah dari Surakarta ke Jakarta. Di Ibu Kota, ia ditelan kesibukan dan kehilangan ruang untuk berimajinasi.

“Saya melukis di Solo di sebuah ruangan yang agak luas dan kosong. Ketika saya pindah, saya tak menemukan lagi ruangan seperti itu,” kata Bambang. 

Kurator sekaligus pencetus pameran “Tidak Berarti Tidak...”, Hendro Wiyanto, menyebut karya Jeroen Tan Markaban dan Bambang Bujono sebagai penyegar di tengah tren lukisan abstrak di Indonesia saat ini. Dia menjelaskan, beberapa tahun terakhir, dunia lukis abstrak diisi oleh lukisan abstrak yang rapi, indah, dan terukur. 

Ya, seni abstrak mengalami transisi cukup dinamis dengan munculnya pelukis-pelukis yang bermain seni abstrak dengan cantik. Sebagai contoh adalah penggunaan penggaris hingga jangka untuk melukis karya abstrak. “Walhasil, muncul abstrak yang menyenangkan dan enak dipajang,” ujar Hendro. 

Namun karya abstrak buatan Markaban dan Bambang seperti menjadi antitesis dari tren abstrak cantik itu. Karya mereka seperti membangkitkan semangat abstrak yang ada pada 1970-an. Bukan bermaksud mencela lukisan abstrak modern nan indah, tapi Hendro keberatan jika saat ini dianggap hanya ada satu aliran abstrak.

Hendro menuturkan, karya abstrak adalah upaya menunjukkan empati semua bentuk di dunia, seperti angan-angan, ide, dan pikiran. Lewat karya abstrak, hal-hal tersebut bisa diubah dalam satu bentuk. “Pelukis abstrak bekerja dengan imajinasi semacam itu, ingin menunjukkan sesuatu yang tidak ada di kehidupan sehari-hari.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus