Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Eddie Hara adalah seniman yang lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 1957, dan tinggal di Basel, Swiss.
Ia menyajikan narasi aneka isu di balik lukisannya yang meriah, berwarna cerah, serta terkesan manis dan lucu.
Eddie Hara kerap ke Indonesia dan negara lain untuk mengikuti pasar seni, menggarap proyek, dan membuat karya pesanan.
SOSOK-SOSOK ganjil seperti binatang atau monster bertebaran memenuhi kanvas lukisan bercat akrilik berukuran 100 x 180 sentimeter. Berkelir pastel yang didominasi merah muda, terlihat gambar seperti burung, juga robot berkaki dan tangan enam dengan perut seperti kue tar serta kepala bertanduk runcing. Adapun di bagian kanan lukisan terdapat ikan besar yang sisiknya berwarna-warni dan kepalanya seperti orang dengan bola mata tiga. Pada lidahnya yang hijau menjulur, terdapat tanda silang dengan tulisan "Say No More". Dari kepala itu juga muncul kepala kucing beraneka warna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan berjudul A.F.A.B (All Fishes Are Beautiful) karya Eddie Hara buatan 2024 itu terkesan manis seperti permen. Begitu pun lukisan lain seperti Big Brother is Watching You dan Punk is Dad. Sedangkan pada karya berjudul Angry Feminist, pewarnaan Eddie menjadi kontras atau seperti meredam citra gambarnya yang bergaya komik dengan menampilkan sesosok orang bertopeng dan bersayap kelelawar di pundak. Tangan kanannya dibungkus sarung tinju, sementara tangan kirinya mengacungkan senapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya-karya itu disajikan di Galeri Ruang Dini, Bandung, sejak 24 November hingga 22 Desember 2024. Ini pertama kalinya Eddie menggelar pameran karyanya secara tunggal di Bandung. Mengusung tajuk "The Playground", seniman yang lahir pada 10 November 1957 di Salatiga, Jawa Tengah, itu menampilkan narasi berbagai isu di balik lukisannya yang meriah dan berwarna cerah serta terkesan manis dan lucu. Dia mengaku ikut mencermati situasi dan kondisi global, termasuk Indonesia, dari tempat tinggalnya di Basel, Swiss. Sejak 1997, setelah menikah di usia 40 tahun, Eddie menjadi seniman imigran setelah sempat kuliah dan bermukim di Yogyakarta.
Lukisannya kerap riuh dengan beragam warna serta sosok seperti binatang, robot, dan monster serta makhluk ganjil lain. Sebagian bisa dengan mudah dikenali. Selebihnya adalah figur imajinasi Eddie. Selain menggunakan kanvas dan kertas A4, ia melukis pada amplop bekas yang semuanya berukuran 16,2 x 22,8 sentimeter untuk seri karya berjudul Postcards from The Alps.
Berlapis bingkai kaca, karya yang tak dijual dengan judul Pacifico Weirdo buatan 1991 turut dipajang. “Itu sebuah titik awal perubahan sekarang dari dulu yang idenya dari lukisan anak-anak dan ekspresionis. Sekarang menjadi lebih komikal, lowbrow, pop surealis,” kata Eddie kepada Tempo seusai acara bincang seniman di Galeri Ruang Dini, Ahad, 24 November 2024.
Lukisan itu ia buat semasa tinggal di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Dia mengaku hanya betah enam bulan tinggal di negara bagian yang kawasan selatan dan baratnya berhadapan dengan Samudra Pasifik itu. Dari sana dia mulai tertarik pada isu lingkungan yang tak pernah ia ketahui saat berada di Indonesia, seperti pembuangan limbah nuklir ke laut oleh negara-negara maju. “Sekarang limbah plastik yang dipermasalahkan,” ujarnya.
Isu lingkungan terasa kuat dalam kekaryaan Eddie. Khususnya menyangkut dunia laut, dia punya tokoh gambar yang spesial seperti gurita, cumi-cumi, dan ikan. Eddie mengaku khawatir hewan laut di Indonesia terkuras sebagai komoditas di dalam dan luar negeri karena penangkapannya yang serampangan. Lewat karyanya serta lokakarya bersama anak-anak dan remaja, perupa yang mengaku bukan aktivis lingkungan itu ikut berkampanye menolak konsumsi ikan jenis tertentu demi konservasi alam.
Awalnya, semasa kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1980 hingga memutuskan drop out, Eddie tertarik pada gaya lukisan anak-anak yang ekspresif, spontan, jujur, apa adanya, dan mentah tanpa banyak berpikir. Pada 1983, ketika setiap mahasiswa diwajibkan memilih studi atau tema khusus lukisan, dia mengajak anak-anak sekitar tempat kosnya di dekat kampus menggambar bersama sekali sepekan. Tempatnya di kamar kos, sawah, juga museum. “Kami saling meniru dan mulai terbentuk gaya. Dosen bilang gayanya ekspresionis tapi juga naif dan sedikit primitif.”
Ketika berkesempatan melancong ke Swiss pada 1984, dia melihat langsung karya-karya seniman maestro seperti Vincent van Gogh, Pablo Picasso, dan Andy Warhol. Pengalaman itu menginspirasi Eddie untuk lebih jauh mengembangkan gaya lukisannya. Dia pun terpengaruh dan terkesan pada gerakan seni para seniman dari tiga kota, yaitu Kopenhagen, Denmark; Brussels, Belgia; dan Amsterdam, Belanda, yang dalam bahasa Inggris disingkat Cobra, pada 1950-an. Lukisan mereka, menurut Eddie, jembar dan brutal serta dibuat secara spontan, ekspresif seperti gambar anak-anak, dan berunsur primitif. “Mereka seperti mengkritik akibat Perang Dunia II salah satunya. Figur-figurnya berkesan, sepertinya cocok, sehingga saya mulai terpengaruh,” tutur Eddie.
Titik tolak Eddie adalah pada 1991, ketika gaya lukisannya berangsur berubah dari ekspresi anak-anak ke corak komikal, lowbrow, dan pop surealis. Sementara itu, pesona subkultur yang Eddie gandrungi sejak muda bersama musik punk dan metal dengan idealisme antikemapanan dan anti-mainstream makin kuat ketika ia bermukim di Basel pada 1997. Awalnya, di negara istrinya yang terkenal nyaman dengan warga yang tertib, berdisiplin, sekaligus individualistis itu, Eddie mengalami gegar budaya. Misalnya saat dia mengetahui keseharian penduduk setempat yang sering menggunakan bahasa Jerman dalam berkomunikasi.
Selain itu, dia merasa kurang diterima oleh kelompok perupa lokal sehingga mendekati grup lain yang pola kerjanya tidak individual atau kolektif. Salah satunya komunitas penggemar musik punk. Eddie tidak ingin bergantung pada lingkungan pertemanan istrinya dan berusaha membentuk jaringan sendiri. Di Basel, ia berfokus bertahan hidup sebagai seniman pendatang baru dengan susah payah. “Perlu waktu tujuh-sepuluh tahun baru diterima, memang berat,” ucapnya.
Di sisi lain, Eddie harus menanggung keluarganya yang memiliki dua anak. Dalam setahun, ia bisa tiga-empat kali datang ke Indonesia atau negara lain untuk mengikuti pasar seni, menggarap proyek, dan membuat karya pesanan. Meskipun telah punya nama dan lama berkarier sebagai seniman, ia tak sungkan melayani pesanan karya sepanjang ciri khas gaya lukisannya tidak hilang. "Saya bukan seniman kaya. Kaya itu bukan tujuan, melainkan berkreasi,” ujarnya. Bagi Eddie, uang yang didapatkan adalah efek kreasi yang disukai orang.
Dengan gaya lukisannya yang luwes, ia bisa berkolaborasi dengan desainer. Seni lukis pun menjadi fleksibel untuk industri, fashion, atau benda pakai lain. Eddie, misalnya, membuat mural pesanan pada kaca sebuah bar dekat rumahnya. Temannya juga pernah memintanya melukis alat musik klasik yang menjadi purwarupa piano. Gambar karyanya pun menempel pada kamar-kamar hotel hingga kolong jalan raya di Swiss dengan bidang seluas 70 meter persegi. “Di Eropa, seniman dihargai sebagai kalangan intelektual.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo