Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Apa Itu Geoengineering yang Bisa Menurunkan Suhu Bumi

Harvard University menyetop eksperimen injeksi SO2 ke stratosfer. Geoengineering berlanjut meniru cara erupsi mendinginkan bumi.

8 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Abu vulkanik mengepul saat letusan Gunung Pinatubo, Filipina. Imago/piemags via Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Letusan gunung api, seperti Gunung Tambora di Lombok dan Gunung Pinatubo di Filipina, bisa menurunkan suhu secara global.

  • Ada tiga faktor letusan gunung yang bisa menurunkan suhu bumi: volume SO2, sumber gas dalam batuan sedimen atau karbonat di bawah gunung, dan kolom letusannya.

  • Fenomena letusan gunung hendak ditiru para ilmuwan iklim dengan melakukan geoengineering.

GUNUNG Lewotobi Laki-laki kembali meletus pada Selasa, 3 Desember 2024. Berdasarkan laporan aktivitas gunung api yang dikutip dari situs web Magma Indonesia, erupsi gunung setinggi 1.584 meter di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu terjadi sejak pukul 00.00 hingga 18.00 Wita. “Teramati asap kawah berwarna putih dan kelabu dengan intensitas sedang hingga tebal. Tingginya sekitar 500-1.000 meter dari puncak,” tulis petugas pos pengamatan Anselmus Bobyson Lamanepa dalam laporannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang tahun ini, menurut catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Gunung Lewotobi Laki-laki meletus sebanyak 974 kali. “Energinya dilepas sedikit demi sedikit sehingga bahayanya relatif terkendali,” kata Adjat Sudrajat, dosen Program Studi Teknik Geologi Program Magister Fakultas Teknik dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, pada Rabu, 27 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adjat membandingkan Gunung Lewotobi Laki-laki dengan Gunung Tambora di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kedua gunung api tersebut berada pada satu jalur subduksi yang disebut Busur Sunda. “Tambora meletus sesudah istirahat panjang,” ujarnya.

Aktivitas Gunung Tambora nihil selama lebih dari 500 tahun. “Begitu pula Gunung Pinatubo di Filipina yang diam selama ratusan tahun hingga dianggap sudah mati,” tutur Adjat, yang menjabat Direktur Vulkanologi Departemen Pertambangan dan Energi 1977-1988.

Mirzam Abdurrachman, pengajar Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, mengatakan letusan gunung api bisa menurunkan atau menaikkan suhu secara global. Fenomena letusan gunung inilah yang hendak ditiru para ilmuwan iklim dengan melakukan rekayasa kebumian (geoengineering) atau disebut juga manajemen radiasi matahari (solar radiation management).

The Royal Society, Inggris, dalam laporannya pada 2009, mendefinisikan geoengineering sebagai intervensi skala besar yang disengaja dalam sistem iklim bumi untuk mengurangi pemanasan global. Ada dua pendekatan yang diteliti para ahli saat ini, yaitu injeksi aerosol ke stratosfer (stratospheric aerosol injection/SAI) dan mencerahkan awan stratocumulus laut (marine cloud brightening/MCB). Untuk SAI, aerosol terbentuk dari sulfur dioksida (SO2) yang disebar di stratosfer.

Menurut Mirzam, selain mengeluarkan abu vulkanik, lava, dan material yang bercampur air yang menjadi lahar, letusan gunung melepaskan gas atau aerosol. Erupsi yang banyak memuntahkan SO2 bisa mendinginkan suhu bumi atau global cooling. “Kalau yang dikeluarkan (lebih banyak) karbon dioksida, yang terjadi adalah pemanasan global atau global warming,” tutur Mirzam kepada Tempo, Selasa, 26 November 2024.

Dia mencontohkan letusan Gunung Pinatubo pada 15 Juni 1991 yang memuntahkan 15 megaton SO2 setinggi 30 kilometer. Banyak pihak yang memprediksi dalam riset bahwa erupsi itu akan menurunkan suhu permukaan bumi 0,5 derajat Celsius selama 18-36 bulan. ”Ternyata dikoreksi, karena hanya menurunkan suhu 0,20-0,28 derajat Celsius dan selama 13 bulan saja,” ujar Mirzam, yang meraih gelar doktor volcanic petrology dari Akita University, Jepang, pada 2012.

Sementara itu, letusan dahsyat Gunung Tambora pada 10 April 1815 melepaskan volume SO2 seberat 60-80 megaton setinggi 44 kilometer ke angkasa. Di stratosfer—lapisan atmosfer kedua—Mirzam menerangkan, SO2 berubah menjadi lapisan aerosol. Partikel halus mengkilap ini kemudian menghalangi sinar matahari yang masuk sehingga menurunkan suhu bumi secara intensif. “Suhunya setahun setelah letusan turun berkisar 1,6-1,9 derajat Celsius,” kata Mirzam, yang mengampu mata kuliah kristalografi dan mineralogi.

Mirzam menjelaskan, ada tiga faktor letusan gunung yang bisa menurunkan suhu bumi. Pertama, volume SO2 besar. Kedua, sumber gasnya ada di bawah gunung. Yang ketiga, kolom letusannya tinggi.

Adapun letusan Gunung Lewotobi Laki-laki, Mirzam mengimbuhkan, masih sangat jauh dari hasil erupsi Gunung Tambora atau Pinatubo dalam hal peluang menurunkan suhu bumi. Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki memang mengandung SO2, tapi volumenya tak sampai 1 megaton. “Rata-rata dari setiap letusan SO2-nya tidak sampai 100 ton. Yang paling banyak 500 ribu ton dengan tinggi letusan kurang dari 10 kilometer.”

•••

KETIKA Gunung Pinatubo meletus pada 1991, David William Keith masih mahasiswa doktoral di Massachusetts Institute of Technology atau MIT, Amerika Serikat. Diwawancarai The New York Times pada 30 September 2024, ia mengatakan erupsi Pinatubo itu sebagai validasi atas gagasan yang menjadi misi hidupnya. Keith, yang kini profesor di Departemen Ilmu Geofisika University of Chicago, Amerika Serikat, percaya pelepasan sulfur dioksida atau SO2 ke stratosfer bisa menurunkan suhu bumi. 

Keith telah bekerja dalam geoengineering sejak 1992 ketika ia merilis makalah bertajuk “A Serious Look at Geoengineering” dalam majalah Eos milik American Geophysical Union. Keith menjelaskan, geoengineering mempengaruhi iklim dengan mengubah fluks energi global melalui salah satu dari dua strategi. Hal itu adalah meningkatkan jumlah radiasi inframerah yang keluar melalui pengurangan gas rumah kaca dan mengurangi jumlah radiasi matahari yang diserap melalui peningkatan albedo.

Gunung Lewotobi Laki-laki yang tengah erupsi terlihat dari lokasi pengungsian swadaya di perbukitan Desa Pululera, 12 November 2024. Antara/Aditya Pradana Putra

Dalam makalah itu, Keith memberikan empat contoh teknik geoengineering dalam strategi pertama, yaitu menghilangkan CO2 dari atmosfer, pembuangan CO2 langsung ke laut dalam, pemupukan di permukaan laut, dan reforestasi. Untuk strategi kedua, ada dua teknik, yakni memodifikasi albedo dengan menempatkan perisai surya di orbit bumi dan meningkatkan konsentrasi aerosol atau SAI.

Dari semua teknik tersebut, tampaknya teknik SAI inilah yang menuai harapan sekaligus ketakutan terbesar. Para pendukung melihat teknik ini sebagai cara yang relatif murah dan cepat untuk menurunkan suhu bumi. Namun banyak ilmuwan dan aktivis lingkungan khawatir intervensi terhadap stratosfer ini dapat memicu bencana tak terduga.

Bagi Keith, geoengineering membutuhkan riset yang sistematis untuk menentukan apakah pendekatan tersebut layak atau tidak. Untuk itu, pada 2018, setahun setelah ia bergabung dengan Solar Geoengineering Research Program Harvard University, Amerika Serikat, Keith hendak menguji coba teknik SAI itu dengan melepaskan beberapa kilogram debu mineral pada ketinggian 20 kilometer di atas permukaan bumi untuk melacak pergerakannya di angkasa.

Uji coba yang dinamakan Stratospheric Controlled Perturbation Experiment (SCoPEx) itu rencananya dilakukan di atas Tucson, Arizona. Namun peneliti utama SCoPEx, Frank Keutsch, dan David Keith gagal menemukan mitra untuk meluncurkan balon udara tinggi. Rencana itu pun terungkap ke publik sehingga sekelompok masyarakat adat memprotes dan menentang proyek geoengineering.

Tiga tahun berselang, SCoPEx menyewa Swedish Space Corporation (SSC) untuk meluncurkan balon udara yang akan menguji sejumlah peralatan. Di antaranya sepasang kipas dan sensor yang berfungsi sebagai pembuat lapisan partikel aerosol yang bisa memantulkan kembali sinar matahari ke angkasa. Balon itu rencananya diluncurkan dari Esrange Space Center di Kiruna pada Juni 2021.

Dua bulan sebelum hari-H, SSC mengumumkan pembatalan rencana penerbangan balon udara. Menurut perusahaan antariksa milik pemerintah Swedia itu, “Komunitas ilmiah terbelah mengenai geoengineering.”

Komite Penasihat SCoPEx pun membuat pernyataan serupa di situsnya. “Konsensus terhadap penelitian geoengineering di Swedia kurang. Karena itu, Komite merekomendasikan ada keterlibatan masyarakat sebelum penelitian SCoPEx dilakukan di sana.”

Penolakan geoengineering di Swedia disebabkan oleh kekhawatiran akan munculnya persoalan di masa depan. Kalangan ilmuwan, masyarakat sipil, dan suku Saami—penduduk asli Arktika—bersatu menentang proyek itu. Menurut Åsa Larsson Blind, Wakil Presiden Dewan Saami, seperti dikutip Reuters, 12 April 2021, “teknologi geoengineering sepenuhnya bertentangan dengan apa yang perlu kita lakukan sekarang: bertransformasi menuju masyarakat nol karbon yang selaras dengan alam.”

Penundaan uji coba SCoPEx itu menjadi berkepanjangan. Pada Agustus 2023, tim melaporkan kepada Komite bahwa mereka menangguhkan pekerjaan SCoPEx menyusul kepindahan Keith ke University of Chicago pada April 2023. Akhirnya, pada 18 Maret 2024, Keutsch mengumumkan tak lagi mengejar uji coba SCoPEx. Selanjutnya, platform yang dikembangkan untuk SCoPEx akan digunakan untuk penelitian yang tak terkait dengan geoengineering.

Matahari bersinar di balik sebaran awan cirrus di Malang, Jawa Timur, 21 Agustus 2013. Tempo/Aris Novia Hidayat

Erma Yulihastin, peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan terhentinya SCoPEx melanggengkan ketidakpastian pada geoengineering. “IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) menyatakan unsur ketidakpastiannya sangat tinggi dan belum dikuantisasi efeknya secara fisik, termasuk efek terhadap sistem iklim, siklus hidrologi, cuaca ekstrem, dan ketidakstabilan iklim,” tutur Erma melalui WhatsApp, Rabu, 4 Desember 2024.

Heri Kuswanto, peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, mengatakan SCoPEx memang dihentikan dengan beberapa alasan. “Yang paling menjadi perhatian adalah masalah governance, dan banyak aspek yang harus dilakukan. Selain juga kepindahan David Keith dari Harvard,” ucap Heri via jawaban tertulis kepada Tempo pada Ahad, 1 Desember 2024.

Meski begitu, dia menambahkan, diskusi mengenai SAI saat ini makin marak. Banyak orang menganggap metode ini bisa menjadi salah satu solusi mengatasi pemanasan global. Lembaga-lembaga internasional yang menaruh perhatian pada isu iklim bahkan memasukkan SAI sebagai salah satu bahasan dalam strategi intervensi iklim. “Di Konferensi Perubahan Iklim (COP29) Azerbaijan juga ada forum yang membahas ini,” ujar Heri.

Heri, yang juga Guru Besar Komputasi Statistika Departemen Statistika Fakultas Sains dan Analitika Data ITS, termasuk segelintir peneliti di Indonesia yang mengkaji SAI atau Solar Radiation Management (SRM). Dia terlibat dalam proyek Developing Country Impacts Modelling Analysis for SRM yang didanai oleh The World Academy of Science serta Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Heri menganalisis dampak percobaan SRM yang dilakukan Geoengineering Model Intercomparison Project (GeoMIP) di Rutgers University, Amerika Serikat.

Heri menerangkan, simulasi GeoMIP terdiri atas empat eksperimen, yakni G1 dan G2 yang berhubungan dengan metode meredupkan matahari serta G3 dan G4 yang berkaitan dengan metode injeksi aerosol. “Kami meneliti dampak eksperimen GeoMIP yang G4,” tutur Heri. Dia juga menjelaskan, fokus penelitiannya adalah menginvestigasi dampak SRM terhadap suhu ekstrem dan curah hujan ekstrem di Indonesia.

Heri memberikan gambaran simulasi G4. SO2 diinjeksikan ke stratosfer sebanyak 5 miliar kilogram per tahun. Injeksi SO2 itu dilakukan secara harian selama 2020-2069. Setelah itu, injeksi dihentikan. SO2 akan membentuk lapisan partikel aerosol yang akan melingkupi seluruh wilayah Indonesia. Aerosol akan jatuh ke permukaan bumi setelah satu-tiga tahun sehingga injeksi harus kontinu agar terus memantulkan sinar matahari.

Hasil penelitian Heri dipublikasikan di International Journal of Climatology pada 29 September 2021. Heri mengatakan secara umum penerapan SAI akan membuat suhu rata-rata di Indonesia menurun, terutama suhu ekstrem dengan penurunan 0,5-1 derajat Celsius. “Namun ada wilayah yang mengalami kenaikan suhu juga, seperti Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan dengan kenaikan 0,1-1 derajat Celsius,” ujarnya. “Artinya, dampaknya tidak monoton. Sebab, karakteristik iklim daerah-daerah di Indonesia sangat heterogen.”

Untuk dampak SRM terhadap hujan ekstrem, Heri menambahkan, penelitiannya masih berjalan karena proses analisis data yang relatif kompleks. Heri mengungkapkan, kini ia terlibat riset dengan tim Eidgenössische Technische Hochschule Zürich, Swiss, yang mencari material (partikel padat) yang lebih aman untuk menggantikan SO2. “Namun bagian saya riset analisis dampaknya.”

Meski SCoPEx Harvard University sudah tiada, Heri optimistis SAI akan diterapkan, walaupun tidak dalam jangka waktu pendek. Apalagi Keith dan geoengineering masih ada. Di University of Chicago, ia sekarang memimpin Climate Systems Engineering initiative, sebuah upaya penelitian multidisiplin untuk meningkatkan pemahaman tentang geoengineering, penghilangan karbon, dan intervensi lain yang dapat menangkal dampak perubahan iklim.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salin Cara Erupsi Mendinginkan Bumi"

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus