Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak, bisa nggak penyakit Josua dipindahkan ke Bapak?” Dengan suara lirih Josua Christian Situmorang, 9 tahun, melempar pertanyaan itu kepada ayahnya, Yanto Situmorang. Hati pendeta berusia 43 tahun bagai teriris. Ia mafhum, derita Josua yang telentang tak berdaya di pembaringan memang berat.
Wajah anak sulungnya itu terlihat pucat dan lemah. Malam sebelumnya, selain merasakan nyeri hebat di rahang kiri atas tempat giginya dicabut, bocah itu sempat muntah darah. Dada Yanto semakin sesak saat menyadari pertanyaan itu adalah kalimat terakhir Josua.
”Beberapa saat kemudian ia dipanggil Tuhan,” kata Yanto. Josua mengembuskan napas terakhir saat dirawat di Instalasi Rawat Anak Teratai, Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, Minggu pagi pekan lalu. Dugaan sementara, merujuk hasil CT scan pasien, Direktur Medis dan Keperawatan RS Fatmawati, Chairul Nasution, menyebut kematian Josua akibat tumor besar di rahang kirinya.
Sayangnya, biopsi alias pengambilan dan pemeriksaan jaringan pasien untuk menegaskan diagnosis ihwal karakteristik tumor belum sempat dilakukan. Nyawa Josua keburu melayang.
Yanto, yang tak puas atas alasan dokter perihal penyebab kematian anaknya, mempermasalahkan penanganan dokter. Dugaan malpraktek muncul. Didampingi petugas Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan, warga Cinangka, Sawangan, Depok itu akhirnya melapor ke polisi.
Josua awalnya disebut cuma menderita sakit gigi biasa. Setelah giginya dicabut, dokter menyebut ada massa tumor di rahangnya. ”Hingga Josua meninggal, kita masih mendugaduga penyebabnya,” kata Yanto.
Pada pertengahan Januari lalu, Josua mengeluh sakit gigi dan gusi bengkak. Ia sempat dibawa ke puskesmas terdekat. Dua pekan menenggak obat, sakitnya tak kunjung membaik. Akhirnya ia dibawa ke RS Fatmawati, pada 30 Januari. Hari itu juga, setelah melihat hasil pemeriksaan rontgen gigi Josua, Didi Alamsyah mencabut gigi susu IV kiri atas.
Sepanjang perjalanan pulang, di boncengan motor, Josua berulang kali meraung kesakitan. Ternyata darah terus mengucur dari tempat giginya dicabut. Lantaran kondisinya terus memburuk, Josua dirawat di rumah sakit. Diagnosis adanya kelainan darah dan tumor pun muncul.
Sebelumnya, pelawak Leysus juga meninggal setelah mengeluh sakit gigi terusmenerus. Hasil pemeriksaan dokter memvonis gusinya bengkak dan harus dioperasi. Temuan lain, sebelum giginya sakit, Leysus sudah mengidap kanker rongga mulut.
Alhasil, kasuskasus itu membuhulkan kekhawatiran bagi mereka yang giginya bermasalah. Cabut gigi menjadi momok menakutkan. Benarkah cabut gigi tak aman?
Linda Verniati, Kepala Departemen Gigi dan Mulut Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menegaskan pencabutan gigi merupakan hal yang lumrah di dunia medis. Cuma, untuk menentukan perlu atau tidaknya gigi dicabut, juga waktu pencabutan yang tepat, ada sejumlah aturan main.
Salah satunya, pencabutan tak boleh dilakukan saat gusi pasien bengkak. Alasannya, dalam kondisi itu, percabangan pembuluh darah setempat mengalami penambahan. Jika gigi dicabut, pembuluh darah yang putus makin banyak. Ada sejumlah bahaya bila gigi tetap dicabut. ”Mungkin bengkaknya tambah besar, bisa juga terjadi perdarahan yang banyak,” kata Linda.
Bila pasien dicurigai mengidap tumor atau kanker, menurut Linda, sejumlah pemeriksaan harus dilakukan. Bisa dengan rontgen, CT scan, rabaan, pemeriksaan kelenjar, dan biopsi. Setelah ada diagnosis, baru dilakukan tindakan. Keputusan mencabut gigi atau tidak tergantung jenis tumor atau kankernya. Bila pencabutan akan membuat sel kanker meruyak, tindakan itu wajib dihindari. Untuk mengurangi rasa sakit, pasien bisa diberi obatobatan tanpa mengutakatik gigi yang bermasalah. Prinsipnya, dokter harus mendahulukan keselamatan pasien.
Pantangan mencabut gigi bergusi bengkak itu menjadi senjata Yanto melapor ke polisi. Namun Chairul menolak tudingan dokternya melakukan malpraktek. Kalaupun Didi mencabut gigi Josua, itu pasti dilandasi pemikiran profesional, yakni pencabutan bisa mengurangi rasa nyeri. Apalagi pembengkakannya sudah lama dan Josua telah mengkonsumsi obat tapi tak kunjung sembuh. ”Penilaian soal pencabutan gigi harus dilihat kasus per kasus,” katanya.
Dwi Wiyana, Yudha Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo