Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASA gelisah itu datang pagi-pagi. Ia menghampiri ratusan penjemput yang memadati Bandar Udara Hasanuddin, Makassar, Sabtu- dua pekan lalu. Orang-orang di sana mondar-mandir dengan wajah ke-ruh. Berkali-kali mereka melirik jam. -Ta-pi yang ditunggu, pesawat Adam Air, tak juga kunjung tiba. Satu jam berlalu. Tanpa kabar.
Petugas bandar ikut panik. Soalnya, pesawat yang terbang dari Bandara- -Soekar-no-Hatta, Jakarta, pukul 6.20 WIB dan di-jadwalkan tiba pukul 9.30 WITA itu tidak dapat dihubungi. -Pesawat itu raib.
Di Tambolaka, 525 kilometer dari Hasanuddin, petugas juga panik. Tiba-tiba saja sebuah pesawat menghampiri bandara kecil di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, itu. Pesawat tak di-kenal- itu mengitari langit Sumba tiga kali. Dua belas menit kemudian, tanpa ba-bi-bu kepada petugas setempat, pesa-wat- Boeing- 737-300 itu nyelonong di landasan yang panjangnya cuma 1.850 meter. Padahal pesawat sekelas itu butuh landasan mini-mum 2.200 meter.
Petugas bandar kaget. ”Itu tindakan ber-bahaya,” kata Kepala Dinas Perhubungan Nusa Tenggara Timur, Simon M. Uly. Belakangan, Simon tahu, itu pesawat Adam Air dengan 145 penumpang yang dicari-cari oleh Bandara Hasanuddin. Sang pilot, Tri Nusiogo, menelepon Simon dan mengabarkan bahwa sistem navigasi pesawatnya macet.
Simon menuturkan, pada saat pesa-wat mulai menurun, Tri menyangka- sudah tiba di Makassar. Berikutnya, pe-mandang-an kota yang berbeda membuat-nya sadar: pesawatnya telah tersesat. Tri lalu terbang rendah mencari bandar terdekat. Matanya tertumbuk pada bandar udara kecil Tambolaka, dan ia mendaratkan pe-sawatnya di sana. Tri beruntung. -Pesawatnya berhenti persis di ujung landasan.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi segera bertindak. Hasil penyelidikan Komite menemukan memang ada kerusakan pada perangkat navigasi pesawat yang disebut inertial reference system (IRS). Ketua Komite, Setio Rahar-djo, mengatakan pesawat yang harusnya berbelok ke kiri di atas Pulau Madura itu malah melenceng ke kanan. ”Pilot tidak sadar arahnya bergeser,” katanya.
Komite juga menemukan sistem komu-nikasi pesawat masih berfungsi baik. Hanya, saat insiden terjadi, jarak antara- pesawat dan Bandara Hasanuddin ter-la-lu jauh. ”Sementara sistem komunikasi Tambolaka tidak aktif, karena tidak ada jadwal penerbangan,” kata dia.
Guru besar teknik penerbangan Institut Teknologi Bandung, Said D. Jenie, meragukan temuan Komite. Ia berdalil, sebuah pesawat terbang selalu dilengkapi- dengan beberapa sistem navigasi yang bekerja simultan dan independen. Artinya, jika satu sistem rusak, sistem yang lain masih berfungsi. Perancang pesawat N250 ini menjelaskan, ada beberapa sistem navigasi yang lazim digunakan dalam pesawat. Selain IRS, ada navigasi terestrial, contohnya very high frequency omnidirectional range (VOR) dan distant measuring equipment (DME). Lalu juga ada sistem navigasi satelit (baca boks: Para Pemandu di Angkasa).
Mengingat berlapisnya sistem navigasi, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi itu mengaku bingung mengapa pilotnya bisa tersesat hanya karena satu sistem rusak. Apalagi- sang pilot adalah Kepala Seksi Standardisasi Operasi Perawatan Pesawat Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. ”Alasan bahwa pilot tidak sadar (pesawat melenceng arah) itu sama sekali tidak bisa diterima,” ujarnya. Menurut dia, kesalahan mungkin terjadi saat pilot salah memasukkan data awal.
Seorang pilot sebuah maskapai pener-bangan yang biasa me-ne-rbangkan pesawat Boeing 737 mengaku pernah mengalami kasus rusaknya IRS. Namun, penyimpangan ini bisa segera diketahui karena ia selalu melakukan- pemeriksaan silang dengan sistem -na-vi-gasi lainnya, termasuk VOR, DME, radar, dan kompas magnetik. Dia berkata, ”Selama pilot berdisiplin dengan prosedur, kehilangan arah ini bisa dihindari.”
Efri Ritonga dan Jem’s de Fortuna (Kupang), Khairunnisa (TNR)
KEJANGGALAN INSIDEN ADAM AIR
Boeing 737-300 milik Adam Air rute Jakarta-Makassar ”tersesat” karena salah satu sistem navigasi, inertial reference system (IRS), rusak. Pakar penerbangan dan pilot menilai banyak kejanggalan dalam peristiwa ini.
JAKARTA Pesawat berangkat pukul 06.20 WIB, Sabtu (11 Februari), dari Bandar Udara Soekarno-Hatta. Rute Jakarta-Makassar ini panjangnya 1.522 kilometer.
DI ATAS MADURA Setelah 80 menit terbang, pesawat melenceng ke kanan. Pilot baru sadar ketika pesawat menurun dan melihat kota yang bukan Makassar.
SUMBA BARAT Setelah terbang ”tersesat” selama tiga jam, bahan bakar menipis, pilot mendaratkan pesawat di landasan pendek Bandara Tambolaka, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, pukul 10.42 WITA. Rute Jakarta-Tambolaka ini panjangnya 1.540 km.
MAKASSAR Pesawat seharusnya tiba pukul 09.30 WITA. Petugas Bandara Hasanuddin, Ma--kassar, kehilangan kontak. Jarak Makassar-Tambolaka 525 km.
Minggu, 12 Februari Adam Air memindahkan pesawat yang rusak tersebut ke Bandar Udara Hasanuddin. Memindahkan pesawat yang rusak tanpa izin melanggar aturan penerbangan. Menteri Perhubungan Hatta Radjasa marah. Dua hari kemudian, pejabat Adam Air, Dave Fikarno Laksono, meminta maaf. Adam Air, kata Dave, siap menerima sanksi yang akan diberikan Departemen Perhubungan.
KEJANGGALAN INSIDEN
- Pilot tidak memanfaatkan sistem navigasi lainnya yang terdapat di pesawat. Di pesawat, umumnya ada tiga sistem navigasi.
- Pilot tidak menghubungi bandar udara terdekat setelah mengetahui posisinya telah melenceng. Seorang pilot pesawat komersial mengatakan, pesawat dilengkapi dengan empat hingga enam saluran radio komunikasi. Kalaupun pilot tidak mengetahui frekuensi bandar udara terdekat, dia bisa memakai frekuensi darurat. ”Lagi pula, setiap pilot pasti tahu Bandar Udara Ngurah Rai, Bali,” tuturnya.
PENERBANGAN TANPA ARAH
Nomor penerbangan: DHI 728
Kapten Pilot: Tri Nusiogo (juga Kepala Seksi Standardisasi Operasi Perawatan Pesawat Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara)
Jumlah Awak dan Penumpang: Awak 9 orang dan penumpang 136 orang
Sistem Navigasi:
- IRS (Inertial reference system)—rusak
- VOR (Very high frequency omnidirectional range)
- DME (Distant measuring equipment)
- Sistem navigasi satelit (global positioning systems atau GPS)
Sistem Komunikasi:
Ada empat hingga enam saluran radio komunikasi. Semuanya dalam kondisi bagus.
Para Pemandu di Angkasa
Langit bukanlah jalan raya. Tak ada rambu atau marka jalan di sana. Kendati begitu, pesawat bisa melaju sesuai dengan jalur. Itu berkat alat pemandu berikut ini:
Very High Frequency Omni-directional Range (VOR) Sistem navigasi ini bekerja mengukur sudut pesawat terhadap arah utara magnetik. Caranya, sebuah stasiun pemancar yang ada di bumi mengirim dua sinyal bersamaan. Seperangkat alat penerima yang ada pada pesawat menangkap kedua sinyal ini dan menghitung perbedaan waktu tibanya. Hasil penghitungan ini kemudian dipakai untuk menentukan jarak pesawat dari stasiun tersebut. VOR bekerja pada frekuensi 30-300 megahertz.
Direct Measuring Equipment (DME) Serupa tapi tak sama dengan VOR, sistem navigasi DME mulai bekerja saat pemancar di pesawat mengirim sinyal berfrekuensi sekitar 1.000 megahertz (ultra-high frequency) ke sebuah stasiun di bumi. Setelah menerima sinyal itu, stasiun bumi mengirim sinyal balasan pada frekuensi yang berbeda.
Sinyal balasan diterima oleh perangkat penerima di pesawat, lalu digunakan untuk mengukur perbedaan waktu antara pengiriman dan penerimaan. Hasil pengukuran ini ditampilkan dalam bentuk kecepatan dan jarak pada layar. Karena cara kerjanya yang mirip, kedua sistem ini—VOR dan DME—sering diaplikasikan secara bersamaan.
Inertial Reference System (IRS) Alat ini tidak bergantung pada sinyal yang datang dari luar untuk menentukan posisi. IRS menggunakan dua alat utama yang bernama gyroscope dan accelerometer. Gyroscope adalah benda berbentuk roda pejal yang bergerak pada tiga sumbu. Alat ini bertugas mengukur orientasi pesawat. Namun, sekarang roda pejal sudah mulai ditinggalkan dan digantikan oleh laser.
Sedangkan accelerometer adalah benda berbentuk cincin yang bisa bergerak di tiga sumbu. Alat ini yang berfungsi mengukur percepatan pesawat. Accelerometer terdiri dari dua jenis, yaitu angular dan linear, yang berfungsi mengukur percepatan pesawat saat berputar dan saat bergerak maju. ”Namun, sistem ini rentan terhadap gangguan frekuensi dari dalam, seperti sinyal telepon genggam,” kata seorang pilot.
Global Positioning System (GPS) Teknologi ini adalah teknologi navigasi terbaru yang ditanam di pesawat. Sistem ini memanfaatkan sinyal dari 24 satelit navigasi yang mengitari bumi untuk mengetahui posisi geografis berupa lintang, bujur, dan ketinggian.
Agar dapat mengukur dengan akurat, dibutuhkan sinyal dari paling sedikit tiga satelit GPS. Prinsip kerjanya sederhana. Misalkan satelit A melaporkan posisi penerima pada radius X dari satelit. Satelit B melaporkan posisi penerima pada radius Y dari satelit. Dan satelit C melaporkan posisi penerima pada radius Z dari satelit. Oleh alat penerima, ketiga lingkaran maya tersebut kemudian dicari titik potongnya. Di titik potong itulah posisi pesawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo