Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kuansu, sang buah merah, Agustina dan dunia mempunyai tanya. Adakah buah asli Papua ini sungguh akan mengembalikan harapan hidupnya? Syahdan, Agustina Saweri, 23 tahun, pengidap HIV/AIDS, menemukan keajaiban pada buah merah (Pandanus conoideus). Buah kuansu meniupkan sebuah harapan. "Dulu saya seperti mayat hidup yang hanya bisa tergolek di tempat tidur. Kini saya sudah bisa berlari," katanya dengan wajah berseri-seri saat ditemui Tempo di rumahnya, dua kilometer di luar Kota Jayapura, Rabu malam lalu. Agustina tampak sehat, meski badannya masih kelihatan kurus.
Di bawah siraman cahaya pelita, wanita kelahiran Jayapura 14 Agustus 1981 ini menuturkan kisahnya. Kesulitan ekonomi membuat anak keenam dari delapan bersaudara ini terpuruk sebagai pekerja seks komersial (PSK) sejak 1999.
Dua tahun silam, kondisi kesehatan Agustina memburuk drastis dan berdasar tes diketahui ia positif HIV. Berat badannya melorot drastis. Berbagai penyakit datang mengeroyok, termasuk tuberkulosis, diare berkepanjangan, serta nyeri kaki yang parah. Tiga bulan dirawat di rumah sakit tak juga membuat kondisinya membaik. Bahkan berat badannya anjlok hingga tinggal 29 kg.
Kemudian, Maret lalu, Agustina memutuskan keluar dari rumah sakit. Oleh pengurus Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua, Agustina dibawa menemui Drs. I Made Budi, M.Si., ahli gizi yang juga dosen di Universitas Cenderawasih, Jayapura. Made Budi saat itu sudah dikenal luas di Papua karena kerap menggunakan sari buah merah untuk pengobatan kanker.
Agustina segera menjajal khasiat sari buah merah. Luar biasa, berat badannya berangsur naik dan kini sudah mencapai 45 kg. Diare akut dan ngilu di kakinya tak ada lagi. Agustina, yang tadinya tak berkutik di pembaringan, kini sudah bisa bepergian. Tinggal tuberkulosis yang belum sepenuhnya terusir dari tubuhnya.
Sebenarnya Made Budi telah meneliti khasiat buah merah sejak 1996. Tanaman yang buahnya mirip nangka dengan panjang rata-rata sampai 1,5 meter ini diketahui mengandung senyawa antioksidan melimpah, antara lain mega-betakaroten, tokoferol, dan virblastin. Belakangan, Made tertarik meneliti khasiat buah merah melawan HIV/AIDS.
Sejak enam bulan lalu, Made melakukan uji klinis terhadap 20 penderita HIV/AIDS yang tersebar di Indonesia. Selain sari buah merah, peserta uji klinis juga diberi makanan pendamping yang kaya protein hewani. Interaksi senyawa aktif buah merah dengan protein itulah yang membuat penyerapan asam amino menjadi efektif. Sistem kekebalan tubuh yang telah digerus HIV/AIDS pun pulih perlahan-lahan. "Bila hanya buah merah, khasiatnya tak akan maksimal," katanya.
Hasil uji klinis cukup mengesankan. Menurut Made, 80 persen responden mengalami kenaikan berat badan 2-3 kg per minggu. Selera makan mereka meningkat, berbagai keluhan seperti infeksi di mulut, diare, dan ngilu tulang juga menghilang. Malahan, ada penderita yang menunjukkan virus HIV-nya negatif.
Tapi jangan buru-buru mengambil kesimpulan final. "Itu bisa saja negatif palsu," kata Made mengakui. Koloni virus mungkin saja bersembunyi begitu rupa hingga tidak terdeteksi oleh tes tersebut. Memang, HIV tergolong virus yang amat lihai mengubah format susunan RNA (asam ribonukleat) tubuhnya. Kelihaian itu yang membuat para ahli kelimpungan tak kunjung menemukan obat pembasmi HIV.
Biarpun telah menampakkan tanda-tanda positif, Made mengakui bahwa masih terlalu dini untuk mengklaim buah kuansu sebagai obat AIDS. "Semua masih dalam tahap pengamatan," tuturnya. Perlu penelitian lebih lanjut untuk sampai pada kesimpulan itu. "Namun, pada intinya, uji klinis menunjukkan ada tanda-tanda buah merah bisa menekan perkembangan virus HIV/AIDS," ia menambahkan.
Ketua Harian Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI/RSCM, Dr. Zubairi Djoerban, Spd., menilai buah merah memang membikin sehat seperti halnya pisang, mangga, dan jeruk. Hanya, belum ada bukti kuat yang bisa diterima dunia medis bahwa buah ini bisa mengobati kanker dan AIDS. Kata Zubairi, boleh-boleh saja jika pasien ingin minum sari buah merah. "Tapi, bukan untuk menggantikan obat untuk AIDS," katanya.
Sejak 1996, Zubairi menjelaskan, dunia medis menggunakan obat-obatan anti-retroviral (ARV) untuk menekan laju pertumbuhan virus. Rangkaian obat ini juga terbukti cukup ampuh menekan angka kematian pasien HIV/AIDS. "Banyak sekali pasien saya yang bisa sehat total dan bekerja normal karena minum ARV," katanya.
Nurdin Saleh, Poernomo G. Ridho, Cunding (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo