Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah perempuan biasa. Ibu rumah tangga biasa. Jarak hidup mereka sungguh jauh dari seks bebas dan nar-koba. Mereka hanya paham cara membaktikan diri pada seorang suami. Tapi, bagaimana virus HIV itu menghajar tubuhnya? Virus itu justru datang dari suami terkasih, tempat para istri, para perempuan bersetia-bakti.
Mereka, perempuan yang hidup dengan HIV, memang punya duka mendalam. Tapi mereka tidak hancur. Ikuti laporan Tempo tentang perempuan-perempuan perkasa ini, termasuk Sulasih, yang sempat diusir warga kampungnya sendiri lantaran dia mengidap HIV. Sulasih?dengan nama asli dan foto terpampang di media?kini bergiat menyebarkan informasi tentang bahaya HIV/AIDS. Setelah Anda membaca betapa kuatnya mereka, Anda akan setuju mereka bukanlah perempuan biasa.
Sari, 24 tahun "Rasanya Seperti Mimpi"
Sari, bukan nama sebenarnya, kini hidup sendiri. Setahun lalu, nyawa suami dan anaknya melayang direnggut HIV/AIDS. Duka perempuan yang berjilbab ini makin pekat saat mengetahui dirinya juga positif terinfeksi HIV. "Saya tertular dari suami saya," katanya.
Empat tahun lalu, Sari berangkat dari Solo, Jawa Tengah, menuju Jakarta dengan sebuah cita-cita mulia. Ia ingin kuliah sambil bekerja. Di tempat kuliahnya, ia bertemu dengan Andri (juga bukan nama sebenarnya), seorang pemuda yang dua tahun lebih tua darinya. "Dia ganteng, tak pernah berkata atau bertindak kasar pada saya," kata Sari mengenang. Mereka saling jatuh cinta.
Baru tiga bulan berpacaran, Andri diciduk polisi karena kasus narkoba. Ternyata, sudah delapan tahun Andri jadi pecandu narkoba suntik dan suka berbagi jarum dengan teman-temannya. "Saya menunggu dia dipenjara hingga satu setengah tahun. Selama itu, gaji saya habis untuk biaya dia di dalam penjara," katanya. Perempuan berkulit gelap ini menambahkan, "Saya pernah ingin meninggalkan dia, tapi dia mengancam akan bunuh diri. Saya takut dan telanjur cinta padanya."
Keluar dari penjara, Andri memutuskan segera menikahi Sari. Meskipun sempat diwarnai protes keluarga, pernikahan mereka terwujud setelah Andri berjanji untuk sembuh dari kecanduan narkoba. "Beberapa bulan kami sempat mengenyam kebahagiaan," kata Sari mengenang.
Pada 2003, putri mereka lahir. Sayang, si Upik menghadap Tuhan saat masih berusia tiga bulan. "Dia terserang pneumonia dan meninggal karena selang oksigennya terinjak perawat," kata Sari. Sebuah kematian yang tragis.
Tiga bulan kemudian, duka datang lagi. Kali ini Andri yang meninggal setelah sakit lebih dari sebulan. Menjelang akhir hidupnya, Andri dikabari dokter bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS. Menurut Sari, begini cara dokter mengabarkan berita itu pada suaminya: "Kamu tuh kena AIDS, tau? Istrimu mungkin juga ketularan." Hatinya serasa dirobek-robek.
"Kebahagiaan saya memang sebentar sekali. Rasanya seperti mimpi," kata Sari mengenang Andri. Biarpun demikian, dia tak merasa Tuhan berbuat tidak adil. Ia sendiri merasa menyumbang andil ke-keliruan. Sebagai istri seorang pecandu, dia tak pernah berusaha mencari informasi tentang risiko HIV/AIDS. Sari ingat selalu melewatkan halaman-halaman majalah yang memberitakan HIV/AIDS. "Saya pikir itu cuma terjadi di luar sana," katanya.
Kini, Sari berusaha untuk kuat. Sesekali dia tampil memberi kesaksian di layar televisi. Dia juga aktif mendampingi Baby Jim Aditya memberi penyuluhan tentang HIV/AIDS. "Saya tak peduli orang menyebut saya ODHA atau apa pun. Saya hanya ingin jangan ada lagi orang seperti saya," katanya. Dengan pasti, Sari menambahkan: "Cukup saya saja."
Susi "Kita Tak Akan Pernah Tahu"
Hidup lurus, setia habis-habisan, bukanlah jaminan terbebas dari ancaman HIV. Susi, bukan nama sebenarnya, telah membuktikannya. Empat tahun lalu, dalam usia 22 tahun, Susi menikah dengan Hendro, juga nama rekaan, setelah sebulan berpacaran. Pekerjaan pun dia tinggalkan setelah menikah. Semuanya demi sang suami.
Belum setahun menghirup nikmat rumah tangga, Hendro jatuh sakit dan meninggal setelah dirawat selama 24 jam. Susi yang kala itu sedang hamil menyangka suaminya meninggal karena tekanan darah tinggi yang diidapnya. Dia terkejut saat suaminya disebut meninggal akibat HIV/AIDS. Susi lebih kaget lagi ketika diberi tahu bahwa dirinya pun sudah positif HIV. "Bagaimana mungkin?" begitu pikirnya.
Sempat Susi dihantam keraguan akan kejujuran mendiang suaminya. Jangan-jangan, almarhum berperilaku berisiko tinggi di luar sepengetahuannya. Tapi, bagi Susi, keraguan dan rasa ingin menyalahkan seperti ini tak ada guna. Dia tak mau melacak bagaimana sesungguhnya warna masa lalu sang suami. "Ka-rena pada dasarnya kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana kita tertular. Ini ketentuan Tuhan," katanya.
Seperti halnya Sari, Susi juga menyesalkan sikap cuek-nya terhadap HIV/AIDS. "Saya ini suka menonton sinetron di TV," katanya. Tapi, begitu ada tayangan berita, Susi langsung menekan tombol mematikan pesawat TV. "Itu kebodohan saya," katanya.
Susi bersyukur karena kondisinya masih bisa dikatakan cukup sehat sampai kini. "Saya belum minum obat-obatan. Saya hanya menjaga hidup saya agar tetap fit dan menjaga pikiran agar tetap seimbang," katanya. Susi bahkan juga belum memeriksakan anaknya yang tumbuh sehat dan kini berusia empat tahun. Khawatir dan cemas tentu alasannya. "Jujur saja," katanya, "Sampai sekarang pun saya masih belum percaya bahwa saya ini mengidap HIV."
Tentang pedihnya diskriminasi, Susi juga punya kisah. Sewaktu menjalani persalinan caesar di rumah sakit, dia ditempatkan di pojok ruangan dan tak bergabung dengan ibu-ibu hamil lainnya. "Tiap kali ada dokter atau perawat datang, mereka membuka tirai dan bilang, `Oh..., ini,' dan kemudian pergi lagi tanpa melakukan apa-apa," kata Susi mengenang. "Saya diperlakukan persis seperti televisi yang cuma dilihat-lihat."
Berkaca pada pengalamannya, Susi punya satu harapan. Dia meminta pada seluruh masyarakat: "Tolonglah lirik para perempuan. Sentuh mereka dengan informasi yang benar tentang HIV/AIDS."
Sulasih "Benci Penyakitnya, Sayangi Orangnya"
Menyandang HIV bukanlah akhir segalanya. Hal ini dibuktikan Sulasih, 42 tahun. Telah 14 tahun dia hidup dengan HIV/AIDS dan, alhamdulillah, masih bugar dan aktif diundang ke berbagai seminar pencegahan HIV/AIDS. "Saya aktif minum jamu dari seorang sinshe di Surabaya," katanya.
Kisah Sulasih bermula di Dolly, Surabaya. Pada 1991, Sulasih bekerja sebagai PSK di lokalisasi pelacuran terbesar se-Asia Tenggara ini. Apa daya, baru enam bulan beroperasi, dia diketahui positif HIV. Status infeksi ini didapatkan setelah semua penghuni lokalisasi diwajibkan menjalani tes darah.
Sudah pasti berat sekali status sebagai HIV positif, apalagi pada 1991. Seorang camat setempat berinisiatif "menyembunyikan" Sulasih agar dia tidak menjadi sasaran kemarahan massa yang waktu itu masih menganggap HIV/AIDS sebagai laknat Tuhan. Dua tahun Sulasih bersembunyi hingga akhirnya dia memutuskan kembali dan bertani di kampungnya, Dampit, Malang, Jawa Timur.
Sedihnya, ketika kembali Sulasih justru diusir oleh warga kampungnya sendiri. Warga geger setelah mendapatkan informasi tentang AIDS yang didramatisasi dari seorang bidan. "Hati saya hancur saat diusir oleh warga kampung saya sendiri," katanya saat itu. Belakangan, setelah diberi penyuluhan, warga mengizinkan dan menerima Sulasih kembali pulang.
Ada satu berkah yang dialami Sulasih ketika dia merana tersingkir dari kampung. Pada 1993, datanglah sang Arjuna. Sugik, salah satu lelaki pelanggannya semasa di Dolly, datang melamar dan siap mendampingi Sulasih sampai titik akhir. Mereka pun resmi bersanding. Keduanya dikaruniai dua anak yang, syukurlah, tidak ikut tertular HIV meskipun keduanya dilahirkan dengan persalinan normal.
Bersama Sugik, Sulasih mendapatkan dorongan moral yang kuat. "Saya bersyukur diberi suami yang bisa memotivasi saya. Hingga saat ini saya masih diberi kekuatan untuk bertahan hidup," kata Sulasih di tengah acara Peringatan Hari AIDS Sedunia di Surabaya, pelan lalu. Air matanya menitik.
Sulasih kini tak lagi takut dipublikasikan media. Ia malah bergabung dengan berbagai LSM untuk mengikis berbagai pemahaman keliru tentang HIV/AIDS. Sulasih ingin masyarakat membenci dan menjauhkan diri dari risiko HIV/AIDS. "Penyakitnya harus dibenci, tapi orangnya harus disayangi," katanya.
Utami Widowati, Rohman Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo