Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jarum-Jarum Penyebar Maut

Pecandu putaw umumnya sadar virus HIV bisa menular lewat pemakaian jarum suntik secara bergantian. Tapi mereka tak peduli.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAH, sorry banget, Ki. Barangnya habis," kata Deden, 26 tahun, seraya menunjukkan wajah menyesal. Kiki?bukan nama sebenarnya?kontan merengut. "Yang bener, lo. Jangan bercanda deh," kata perempuan 23 tahun ini, ketus. "Bener. Duitnya gue kembaliin, nih," kata Deden lagi sembari tangannya merogoh saku celana jins birunya.

Kiki tak menghiraukannya. Ia kecewa dan marah sekali. Sudah dua hari ia tidak pakaw (memakai putaw). Punggungnya pegal-pegal dan badannya terasa dingin sekali, tanda orang yang sedang sakaw alias ketagihan. Kalau kebutuhannya tak dipenuhi, Kiki bisa marah-marah terus sepanjang waktu.

Deden adalah salah seorang BD (sebutan untuk bandar) dari tiga BD yang biasa didatangi Kiki. Karena tak mau pelanggannya kecewa, akhirnya Deden menyanggupi mencarikan barang tersebut. "Enggak lama. Paling cuma 15 menit," begitu kata Deden ketika pamit hendak belanja.

Tak secepat janjinya, Deden baru datang lagi 45 menit kemudian. Itu pun kabar buruk yang dibawanya. Dia bilang barangnya tidak ada. Kiki kecewa sekali. Dengan murung ia duduk di atas tikar di sudut rumah kecil Deden yang terletak di kawasan Depok, Jawa Barat. Dara hitam manis ini menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, menahan air matanya yang hendak keluar. "Seharusnya tadi aku ke BD yang lain saja," katanya. Untuk pindah BD, sudah tak ada waktu lagi. Saat itu sudah pukul 20.45 WIB. Kiki sudah ada janji untuk menjemput pacarnya pada pukul 21.00 WIB di sebuah tempat.

Deden melihat kekecewaan di wajah Kiki. Ia segera menghampiri perempuan setinggi 158 sentimeter itu dan memegang tangannya. "Eh, gue bercanda, kok. Barangnya ada nih," katanya sembari menyelipkan plastik kecil berisi bubuk berwarna putih kecokelatan ke dalam genggaman tangan Kiki.

Kiki sontak mengangkat kepalanya. Wajahnya berubah berseri. Matanya berbinar. "Ah, terima kasih, Den," ujarnya. Kemarahannya sirna. Segera ia meminta Deden agar menyiapkan alat suntik yang baru saja dipakai Deden sebelum Kiki tiba. Beberapa menit kemudian, bubuk putaw pun berpindah dari dalam plastik kecil ke tubuh Kiki, lewat suntikan di pergelangan lengan kirinya.

Kiki duduk, lalu memejamkan mata, merasakan "badai" yang menjalar di sekujur tubuhnya. Badannya terasa ringan. Pegal-pegal di punggung dan rasa dingin yang tadinya terasa menyiksa tubuhnya lenyap, berganti dengan rasa nyaman dan tenteram. Kiki lupa bahwa saat itu di tangan kirinya masih terselip sebatang Marlboro yang masih menyala, dan bara api di ujung rokok sudah menyentuh tikar yang ia duduki. Kalau saja Deden tak cepat mengambil rokok tersebut, bisa jadi tikar yang mereka duduki terbakar. Kiki juga lupa bahwa saat itu ia ada janji dengan pacarnya.

Dia pun tak ingat lagi ancaman penyakit AIDS dan virus HIV yang bisa merenggut jiwanya. Kiki sebetulnya paham penyakit mematikan ini bisa menular lewat pemakaian jarum suntik secara bergantian. Tapi ia kurang peduli. Tiga tahun lalu, Kiki juga pernah mengikuti tes HIV. Tapi cuma sampai sebatas tes. Dia tak pernah berani mengambil hasil tes tersebut. "Aku takut kalau aku positif HIV. Aku yakin virus ini sudah bersarang di tubuhku," katanya.

Keyakinannya bisa jadi benar. Sebab, menurut data terakhir Departemen Kesehatan, 80 persen pecandu narkoba suntik telah terjangkit HIV.

Kiki mulai mengenal putaw sejak 1997, saat duduk di kelas satu sebuah SMU di Jakarta. "Aku nyoba mutaw (memakai putaw) karena takut disebut enggak gaul aja," katanya. Seperti para "pemutaw" pemula lainnya, Kiki memulainya dengan ngedrag, memakai putaw dengan cara membakarnya, lalu menghirup asapnya. "Ketika itu aku enggak ngerasa apa-apa," kata Kiki.

Baru pada pemakaian kedua, Kiki mulai merasakan nikmatnya putaw. "Badan jadi terasa melayang," katanya. Kiki pun ketagihan. Ia biasa ngedrag pada jam istirahat, di dalam mobil temannya yang diparkir di dekat sekolah. Dan karena terlalu "sibuk" mutaw, Kiki pun sempat tinggal kelas.

"Kesibukan" Kiki akhirnya tercium orang tuanya. Hasilnya, anak bungsu dari empat bersaudara ini dijaga ketat. Kiki tak boleh lagi keluar rumah di luar urusan sekolah. Pergi dan pulang sekolah diantar dan dijemput bergantian oleh papa dan mamanya. Ia juga dilarang berhubungan dengan teman-teman sekolahnya.

Penjagaan ketat ini tak berhasil. Kiki justru bertemu dengan teman-teman baru yang menggunakan putaw dengan cara menyuntik. Kebetulan, rumah mereka tak jauh dari rumah Kiki di Depok. Mulailah Kiki ikut menyuntik.

Jumlah putaw yang dipakai Kiki pun terus meningkat. Dulu, semasa masih ngedrag, Kiki cuma mutaw beberapa hari sekali. Tapi, setelah berkenalan dengan jarum suntik, dalam sehari Kiki bisa beberapa kali memasukkan bubuk putaw ke tubuhnya. Ia pun tak pernah menggunakan putaw sendirian. "Biasanya kami berkelompok enam sampai delapan orang, menggunakan satu jarum suntik bergantian," kata Kiki.

Lagi-lagi Kiki ketahuan. Akhirnya ia dipindahkan ke Semarang untuk menyelesaikan sekolahnya. Di kota lumpia ini, Kiki masih tetap pakaw, meski tak sesering di Jakarta. "Sebab, mencari barangnya sulit banget," katanya.

Lulus SMU pada 2000, Kiki tak mau langsung kuliah. Alasannya, ia ingin menyembuhkan ketergantungannya pada putaw. Toh, janji tinggal janji. Kembali ke Depok, Kiki kembali bertemu dengan teman-teman lamanya. Kebiasaan buruknya kumat. Ia kembali mutaw meski ia sudah kuliah di sebuah universitas di Depok, mulai 2001.

Karena ketahuan lagi oleh orang tuanya pada awal 2002, Kiki dipaksa berobat di sebuah klinik pengobatan alternatif. Berhasil, tapi cuma delapan bulan. Dia kembali pakaw hanya karena pacaran dengan seorang pemakai. Ketika itu Kiki, yang sudah delapan bulan tak menggunakan putaw, merasa dirinya sudah sembuh. Ia iba pada seorang lelaki yang ia tahu masih aktif menggunakan putaw. Ia lantas mendekati lelaki tersebut dengan tujuan mulia: menyembuhkannya dari putaw. "Sok pahlawan gitulah," kata Kiki. Tapi, bukannya menolong, Kiki justru kejeblos sendiri. Ia kembali memakai putaw sampai sekarang.

Sama seperti Kiki, Deden, sang BD, pun sadar memakai jarum suntik secara bergantian amat berbahaya. Virus HIV akan terus mengintipnya. Tapi ia tak peduli dan tak berani memeriksakan dirinya. Malah, Deden sering melakukan hubungan seks dengan para pelanggan wanitanya yang tak punya uang. "Mungkin saja gue terkena HIV dari mereka," katanya.

Uke, 27 tahun, pengguna putaw sejak 1993, tak memiliki ketakutan seperti Kiki dan Deden. Pada 2002, atas anjuran salah seorang sepupunya, Uke pun memeriksakan dirinya. Hasilnya, lelaki ini positif mengidap HIV. Mulanya ia syok. "Satu minggu gue cuma melamun aja di rumah," ceritanya. Namun, lama-lama dia sanggup menghadapi nasibnya.

Tak jelas sejak kapan virus itu masuk ke tubuhnya. Yang pasti, Uke tak pernah menyuntik berbarengan dengan teman-temannya. "Gue selalu ngipe (menyuntik) sendiri," ujarnya. Tapi, masalahnya, ia tak pernah menggunakan jarum suntik baru. "Kadang gue minjem atau beli bekas, dan gue enggak cuci lagi," katanya.

Meski sudah positif terkena HIV, Uke tak terlalu memikirkannya. "Gue menganggap HIV ini kayak penyakit diabetes saja. Diabetes itu kan enggak bisa sembuh juga," tutur Uke. Setiap hari ia mesti minum obat daya tahan tubuh dua kali sehari. Menurut Uke, obat seharga Rp 400 ribu untuk satu bulan pemakaian itu wajib diminum jika tak ingin badannya lemas. "Gue harus terus minum obat itu. Seumur hidup."

Dia pun menjalani hidupnya seperti biasa. Setiap hari Uke tetap bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan swasta. Setahun silam ia menikah, dan baru beberapa minggu silam ia dikaruniai seorang bayi laki-laki. Uke sempat cemas istri dan anaknya mengidap HIV karena tertular dari dirinya. Tapi, setelah diperiksa, ternyata istri dan anaknya itu bebas HIV. "Mungkin ini keajaiban Tuhan," katanya.

Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus