Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kopi dari pegunungan Papua termasuk kopi terbaik dunia. Salah satunya adalah kopi dari Pegunungan Bintang, Papua, yang masuk dalam cup of excellent karena memiliki cita rasa yang unik dan jarang ditemukan pada kopi arabika lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kopi dari pegunungan ini jua yang membantu pemuda di Papua untuk mengenyam pendidikan. Peneliti Balai Arkelogi Papua, Hari Suroto menceritakan bagaimana dua mahasiswa asal Distrik Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang, berjualan kopi hasil bumi dari orang tua untuk membayar uang kuliah. Mereka adalah Alpius Uropmabin dan Karolus Asemki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mereka menjual kopi yang dikirim oleh orang tuanya di kampung untuk membayar SPP dan biaya hidup di Kota Jayapura," kata Hari Suroto yang pernah menjadi dosen arkeologi Universitas Cenderawasih, Papua, kepada Tempo. Hari turut membantu memasarkan kopi para petani dari Kabupaten Pegunungan Bintang. Dari situ, lahirlah Kopi Hari Bersama.
Kopi Hari Bersama, menurut Hari Suroto, adalah jenis kopi arabika yang berasal dari kebun kopi yang terletak 2.000 meter di atas permukaan laut atau mdpl. Pohon kopi berada di kebun semi hutan, tumpang sari dengan tanaman palawija terutama ubi jalar. "Ini kopi organik, semua mengandalkan kebaikan alam," ujarnya.
Mahasisa Papua, Alpius Uropmabin dan Karolus Asemki membawa biji kopi hasil para petani Distrik Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Foto: Hari Suroto
Mulai dari proses panen menggunakan tangan hingga pemrosesan buah kopi menjadi green bean juga masih manual dengan tangan. Suhu udara di Distrik Okbibab sangat dingin. Sebab itu, proses pengeringan atau penjemuran biji kopi butuh waktu lama.
Untuk sampai ke Kota Jayapura, biji kopi dari Kabupaten Pegunungan Bintang ini hanya bisa lewat jalur udara. Hari Suroto menjelaskan, dari Distrik Okbibab, biji kopi dikirim menggunakan pesawat kecil jenis twin otter. Ini bukan penerbangan terjadwal dan belum ada jalan darat menuju distrik tersebut.
Sarana transportasinya hanya berjalan apabila ada yang mencarter dari Sentani, Jayapura, ke Distrik Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang. Ketika pesawat akan kembali, barulah para petani menitipkan kopi. Ongkos kirimmnya Rp 7.500 per kilogram. Biji kopi dari Distrik Okbibab dikemas dalam karung bekas wadah beras.
Kalaupun ingin lewat jalan darat, maka medan yang ditempuh sangat berat dan jauh. Dari Distrik Okbibab ke Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, harus melalui jalan setapak sekitar satu sampai 1,5 hari. Dari Oksibil kemudian menempuh perjalanan sekitar 277 kilometer ke arah utara menuju Jayapura. Sementara tiket pesawat dari Bandara Sentani, Jayapura, ke Distrik Okbibab seharga Rp 2 jutaan per orang.
Hari Bersama Coffee menjual kopi dari pegunungan Papua. Foto: Hari Suroto
Di Distrik Okbibab, tidak ada menara pemancar untuk komunikasi telepon seluler. "Yang ada hanya pemancar radio SSB di kantor distrik atau petugas maskapai pesawat perintis," ujar Hari Suroto. Untuk berkomunikasi dengan keluarga di Jayapura, para mahasiswa menggunakan pesan instan WhatsApp, melalui jaringan satelit dengan tarif per jam.
Hari Suroto memasarkan Kopi Hari Bersama lewat online. Tersedia dalam bentuk bubuk maupun biji kopi. "Saya hanya membantu membantu memasarkan kopi dari petani Suku Ngalum di pedalaman Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua," ujarnya
Kopi Distrik Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang, pertama kali dikenalkan oleh misionaris pada 1970-an. Bibit kopi berasal dari Moanemani, yang terkenal sebagai penghasil kopi arabica. Adalah Suku Mee yang menanam kopi di Moanemani, Distrik Kamu, Kabupaten Dogiyai, Papua.
Baca juga:
Kopi Kiwirok Paling Dicari Selama PON XX Papua 2021, Masuk Cup of Excellent
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.