Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hidup mati di citarum dan cimanuk

Pasir nyaris habis. tanggul bobol. jembatan miring. perahu dan para penggali pasir ditahan. toh tidak bisa distop. di kali cimanuk penggalian justru menguntungkan.

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP tahun Sungai Citarum muntah besar. Tanggul-tanggulnya kini dalam keadaan kritis. Ada sebuah jembatan beton peninggalan Belanda -- panjang lebih kurang 200 meter antara Jakarta-Karawang, dikhawatirkan akan rubuh. Ini bukan semata-mata korban kebinalan alam, tapi akibat perkosaan manusia juga. Para penggali pasir di sepanjang lidah Citarum dianggap telah menggasak pasir secara keterlaluan. Pemerintah Kabupaten Karawang dan Bekasi, sudah kewalahan menyerukan larangan mengggaruk pasir di setiap tikungan kali dalam jarak 500 meter ke hulu dan ke hilir. Toh usaha mendapatkan hidup yang bisa mendatangkan bahaya bagi umum itu, tetap gencar. Padahal tanggul-tanggul di Kecamatan Rengasdengklok dan Batujaya yang pernah bobol, seharusnya bisa dipakai sebagai contoh soal. Waduk Jatiluhur Pembangkangan yang dilakukan oleh para penggali pasir, bukan karena mereka tidak ingin taat kepada pemerintah. Alasannya mudah diduga: berhenti menggali sama dengan berhenti makan. Pemerintah tidak menawarkan kesempatan kerja lain. Ini cukup gawat, karena jumlah penggali pasir antara Karawang dan Bekasi mencapai 3.000 orang. "Jadi kalau tak boleh beroperasi di situ, mesti di mana? Berhenti kerja jelas tak mungkin!" kata Darsih, di tikungan Citarum yang bernama Kertalaya, Rengasdengklok. Darsih, 40 tahun, mengatakan bahwa hidup dari pasir Citarum sudah dilakukan orang sejak zaman Belanda guna memenuhi arus pembangunan di Jakarta. Sebelum ada waduk Jatiluhur, kiriman pasir dari hulu sungai gencar, sehingga tak perlu takut tanggul atau jembatan akan bobol. Kini Jatiluhur memonopoli pasir-pasir itu, sehingga boleh dikatakan krisis pasir sudah mulai nyata. Pasir di kawasan Citarum boleh dikata hampir punah, sehingga Darsih harus bertahan di tempatnya sekarang. Rengasdengklok dan Batujaya, dulu tersohor karena mutu pasirnya terpuji untuk memasang bata, termasuk pelester tembok. Sekarang mutunya anjlok, pasirnya pun tak banyak lagi. "Pasir dari sini kini hanya bisa untuk penimbun pondasi bangunan saja," kata Darsih. Lantas ia menunjuk ke jembatan Belanda yang sudah kritis itu. Di sekitar jembatan itulah selama 7 tahun ia dan rekan-rekannya menyambung hidup dengan mengeduk pasir. Tonggak beton penopang jembatan kini -- menurut pengamatan beberapa mata -- sudah miring. Di atasnya ada jalan kereta api dan mobil. Kalau kereta api lewat, yang bersangkutan terpaksa mengurangi kecepatan supaya getarannya berkurang. Pa'ul (48 tahun) rekan Darsih mengakui, garukannya termasuk yang menyebabkan beton yang kokoh itu sedikit menggeliat. Tapi sampai sekarang ia tidak mengurangi kerajinannya. Alasannya, kerja itu sudah terlalu melekat. Tetapi Pa'ul ini tidak menggali setiap hari. Ia masih punya kerja lain di Mekaryati (Karawang) sebagai buruh tani. Hanya setelah musim-musim mnanam lewat, ia seratus prosen merampok Ciliwung. "Habis di sini kan tak pakai modal uang dan langsung dapat upah," ujarnya. Sehari, kalau rezeki bagus ia bisa mengantongi sampai Rp 800. Penggali pasir bekerja beramai-ramai dengan ukuran perahu. Setiap seperahu pasir, upah penggaliannya Rp 1500. Pekerjaan dimulai pukul 7 pagi, berakhir pukul 5 sore. Ta'in (30 tahun) yang dibantu oleh 2 orang anaknya, bisa mengisi 6 perahu dalam sehari. Tapi upahnya masih harus dibagi dengan kelompok yang anggotanya 14 orang. Kebanyakan kaum penggali ini tidak memiliki izin menggali. Ingin Sawah Pemerintah setempat mengizinkan daerah di sekitar jembatan dipakai sebagai pangkalan penimbunan, asal operasi jauh di hulu. Hal tersebut sulit dipatuhi. Pada musim hujan, sukar mencapai hulu sungai karena banjir. Sedangkan saat kemarau sama tak berdayanya, karena perahu kandas. Jadi akhirnya operasi tetap saja ngubek di sekitar jembatan. Ini menyebabkan pemerintah terpaksa unjuk gigi. Perahu-perahu ditangkapi, orang-orangnya ditahan. Toh tindakan itu tidak membikin orang jera. "Sebelum dapat kerja lain, Citarum tak bakal kami tinggalkan," kata mereka hampir serentak. Permintaan pasir dari Jakarta tetap gencar. Di Teluk Bango, Kecamatan Batujaya, penggali pasir bekerja sampai malam hari. Tetapi tak seorang pun di antaranya yang berhasil kaya. Hidupnya pas-pasan. Rumah reyot, menu tetap ikan asin dan tak mampu beli pakaian kontan. "Padahal tenaga yang diperas besar," kata mereka. Ini tentu merawankan. Sebeb sementara kerja mereka di sana dilarang, mereka juga sebenarnya tak mendapat banyak. Tapi apa boleh buat. Berbeda dengan Kali Citarum, Kali Cimanuk di Indramayu dikerubut oleh sekitar 300 penggali. Sebagian besar kaum wanita. Mereka menggerayangi sungai mulai pukul 6 pagi hingga sore pukul 4. Di sini tidak ada larangan menggali, malah pemerintah melihatnya dengan mata bercahaya. Pasir yang disabet adalah bawaan banjir yang mengendap di tengah kali. Dengan adanya barisan penggali, sungai itu tetap terpelihara kedalamannya, sehingga mengurangi bahaya meluap. Jadi rakyat penggali bagaikan "kapal keruk" gratis. Tetapi dilarang atau pun tidak, rupanya hidup para penggali pasir tetap merupakan kerja berat dengan hasil kecil. Para wanita di Indramayu yang mengangkut pasir dengan bakul bambu, mendapat upah Rp 5 untuk satu bakul. Para lelaki yang memikul dua bakul mendapat dua kalinya. "Memang setengah modar, tapi kalau tak bekerja keluarga kami tak makan," kata Cantel, wanita penggali yang berusia 51 tahun. Cantel lahir dari keluarga buruh tani di kampung Rambatan Wetan, Kecamatan Sindang. Sejak berangkat dewasa, ia terjun ke kali. Ia mendapat suami di tepi kali. Sekarang memiliki 4 orang anak yang disuapinya dengan nafkah dari kali. "Kalau menunggu hasil suami, repot, jadi saya juga harus kerja," kata Cantel. Maka pukul 4 subuh ia sudah terjaga, langsung menyiapkan sarapan dan makan siang untuk seluruh keluarga. Dengan memeras otot, Cantel hanya bisa mengumpulkan Rp 250 sehari. Plus pendapatan suaminya, pukul rata keluarga itu hanya punya Rp 750 setiap hari. Buat makan memang cukup. Tapi Cantel berambisi untuk meneruskan sekolah anak-anaknya -- sehingga pendapatan itu sangat pas-pasan. Kesempatan kerja lain tak ada. "Di kampung sepi begini mau kerja apa?!" tanyanya setengah membantah. Kalau musim banjir, kadangkala keluarga Cantel terpaksa nyantol 3 bulan --tanpa kerjaan. Waktu itulah biasanya simpanan ludas. Namun ia tak bisa mengutuki banjir, justru karena itulah pasir bisa menumpuk untuk digali pada kesempatan berikutnya. Ia sendiri tidak memikirkan lagi dirinya, tidak peduli apakah ia masih akan sempat menikmati keadaan yang lebih enak. Yang difikirkannya adalah anak-anak. Dan untuk itu ia mengandalkan sekolah. "Asal mereka nanti tidak menderita sepeti orangtuanya, cukup!" kata wanita itu dengan suara sendu. Berkah dari Kali Cimanuk tidak hanya diangkut orang-orang tua. Banyak penggali muda usia ikut bergumul di tepi kali. Ada yang bernama Ropiah yang baru berusia 10 tahun dan terpaksa menggali karena putus sekolah. Gadis kecil ini bahkan bekerja dibantu oleh adiknya. Bapaknya seorang tukang becak, pernah memimpikan dia untuk jadi guru. Tapi lelaki itu keburu meninggal tanpa meninggalkan modal buat Ropiah. "Kalau biaya berguru juga tak punya, bagaimana bisa jadi guru," kata Ropiah kepada Helman Eidy dari TEMPO. Sementara itu ada juga yang bernama Rusnan, seorang wanita yang berusia lebih dari setengah abad. Cucunya sudah 6 orang, tetapi ia masih tetap getol bekerja. Setiap pagi ia menempuh jarak 3 kilometer ke pangkalan penggalian. Ia sudah menggali sejak 25 tahun yang lalu. Tampaknya ia akan mengakhiri segalanya juga sebagai seorang penggali, karena kelima anaknya yang juga jadi penggali pasir, semuanya hidup pas-pasan. Penghasilannya Rp 350 sehari. Tinggal di sebuah rumah warisan sendirian, ketika TEMPO menanyakan, apa yang masih diharapkannya dalam usia setua itu di tepi Cimanuk ia segera menjawab tak ragu-ragu: "Sejak dulu saya ingin punya sawah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus