KOKO sudah hampir limabelas tahun tinggal di Jakarta. Tidak
banyak yang tahu, bagaimana ia sampai menetap di tempat
tinggalnya yang sekarang. Tetapi sejak ia tinggal di situ,
hidupnya serba kecukupan. Makan, tempat tinggal, sudah bukan
soal lagi bagi Koko. Amatlah berbahagia mereka yang dapat hidup
terhindar dari ancaman kelaparan dan kedingingan di kota besar
seperti Jakarta ini.
Bayangkan. Dulu sebelum pindah ke Jakarta tiap cuil pengisi
perutnya harus ia peroleh dengan perjoangan dan jerih payah.
Hujan, terik matahari, serta segala macam tantangan alam telah
menempa ketangguhan Koko. Semua tantangan itu telah membesarkan
Koko dan membentuk ketahanannya menghadapi berbagai cobaan.
Kini ia tidak lagi harus memusingkan itu semua. Koko tiap hari
terpenuhi kebutuhan pangannya dalam takaran serba kecukupan.
Mutu, gizi dan keimbangan takaran menunya sesuai benar dengan
kebutuhan jasmaninya. Tempat tinggalnya pun tergolong mewah.
Di lingkungan kediamannya yang baru, Koko banyak memperoleh
kesempatan belajar. Malah rasanya melebihi kebutuhan pengetahuan
yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidupnya yang baru.
Berbagai bahasa, kebisaan, ia pelajari. Tanpa ia sadar apakah
bahasa dan ketrampilan itu benar-benar ia butuhkan.
Pelayanan kesehatan bagi Koko cukup terjamin. Melebihi rata-rata
orang yang bermukim di sekitar tempat tinggalnya. Buat Koko,
pelayanan dokter dapat ia peroleh setiap saat. Malah bila perlu
ia bisa dilayani dokter spesialis. Ibaratnya, pileg pun Koko tak
sempat. Apalagi yang ia perlukan?
KEBUTUHAN DASAR
Tetapi sungguh mati Koko merasa bahwa hidupnya sekarang jauh
dari sejahtera. Apabila dibandingkan dengan kwalitas hidup dan
kesejahteraan yang ia rasakan sebelum ia mukim di Jakarta,
menurut Koko keadaannya seperti bumi dan langit. Bagaimana bisa?
Apakah Koko makhluk yang tidak tahu terimakasih? Segala jerih
payah yang memungkinkan dia jadi begitu nyaman hidupnya,
ternyata tidak pernah Koko syukuri. Tidak heran, bila kemudian
ada tuduhan, pastilah pikiran Koko telah diracuni oleh
anasir-anasir subversif.
Tetapi sesungguhnya Koko hanyalah insan yang jujur dan tidak
dapat menipu diri sendiri. Kalau Koko bilang tidak bahagia ia
memang benar-benar tidak bahagia. Koko pun tidak ingkar, bahwa
makan, papan, pendidikan dan kesehatan terhampar cukup di
hadapan kehidupannya. Koko pun sadar ia tidak punya soal-soal
pribadi yang membuat hidupnya merana dalam keadaan serba
kecukupan itu. Orang-orang di sekitar Koko, semuanya bersikap
manis, kagum serta penuh perhatian pada Koko.
KENAPA?
Menurut Koko ada satu kebutuhan paling dasar yang tiada sejak ia
pindah ke Jakarta. Ia rasakan, pertama-tama segala yang
disajikan memenuhi kebutuhannya tadi bukanlah hasil budi daya
wajar dan pilihan Koko. Ia merasa, suka tidak suka, mau tidak
mau harus mengunyah dan menelan segala yang disodorkan buat dia.
Dalam kehidupan Koko yang baru, ada satu kewajiban yang ganjil
ia rasakan. Ia wajib yakin, bahwa segala sesuatu yang disodorkan
itu yang terbaik untuk dirinya. Bila hati nurani dan naluri
menolak, ia dibujuk. Bila ia tetap menolak dan mencoba
bertingkah, ia bisa dihardik.
Demikianlah kehidupan Koko diliputi kecemasan. Istana yang
direka artistik, menyerupai keelokan alam sekitar, dari mana
Koko berasal, itupun menggelikan, menurut cita rasanya. Ada
kelokan sungai buatan, tetapi airnya tidak mengalir bening
gemericik. Ada gunung, tetapi bau tanahnya tertutup plester
semen. Pohonpun kerdil dan aneh penempelan dan tumbuhnya.
Menggali kepribadian dan keaslian kwalitas lingkungan hidup
memang sulit. Upaya yang mahal itu dengan tulus dan jujur
terpaksa harus diakui Koko sebagai lingkungan hidup barunya yang
penuh rekaan, kebohongan dan kepalsuan.
Yang diimpikan Koko tentulah kapan ia dapat hidup kembali
seperti sepupunya, si Omo. Omo dengan segala keterbelakangannya
saat itu masih hidup merdeka dan berdaulat atas dirinya. Rukun
dan bersatu dengan kaumnya, di tengah sisa hutan yang belum
terbabat.
Bagi Koko, orang utan penghuni Taman Margasatwa Ragunan Jakarta
itu, kedaulatan atas diri dan kemerdekaan itulah kebutuhan dasar
yang paling pokok, dan pertama-tama perlu dipenuhi untuk diri
dan kaumnya. Bila kebebasan dan kemerdekaan itu ada, niscaya
kreatif menghadapi tantangan alam untuk menjawab pemenuhan
kebutuhan dasar lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini