Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perihal kebutuhan dasar

Koko adalah orang utan yang semua kebutuhan hidupnya tercukupi setelah tinggal di jakarta. tapi ia masih kurang bahagia karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi yaitu kedaulatan atas diri dan kemerdekaan.

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOKO sudah hampir limabelas tahun tinggal di Jakarta. Tidak banyak yang tahu, bagaimana ia sampai menetap di tempat tinggalnya yang sekarang. Tetapi sejak ia tinggal di situ, hidupnya serba kecukupan. Makan, tempat tinggal, sudah bukan soal lagi bagi Koko. Amatlah berbahagia mereka yang dapat hidup terhindar dari ancaman kelaparan dan kedingingan di kota besar seperti Jakarta ini. Bayangkan. Dulu sebelum pindah ke Jakarta tiap cuil pengisi perutnya harus ia peroleh dengan perjoangan dan jerih payah. Hujan, terik matahari, serta segala macam tantangan alam telah menempa ketangguhan Koko. Semua tantangan itu telah membesarkan Koko dan membentuk ketahanannya menghadapi berbagai cobaan. Kini ia tidak lagi harus memusingkan itu semua. Koko tiap hari terpenuhi kebutuhan pangannya dalam takaran serba kecukupan. Mutu, gizi dan keimbangan takaran menunya sesuai benar dengan kebutuhan jasmaninya. Tempat tinggalnya pun tergolong mewah. Di lingkungan kediamannya yang baru, Koko banyak memperoleh kesempatan belajar. Malah rasanya melebihi kebutuhan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidupnya yang baru. Berbagai bahasa, kebisaan, ia pelajari. Tanpa ia sadar apakah bahasa dan ketrampilan itu benar-benar ia butuhkan. Pelayanan kesehatan bagi Koko cukup terjamin. Melebihi rata-rata orang yang bermukim di sekitar tempat tinggalnya. Buat Koko, pelayanan dokter dapat ia peroleh setiap saat. Malah bila perlu ia bisa dilayani dokter spesialis. Ibaratnya, pileg pun Koko tak sempat. Apalagi yang ia perlukan? KEBUTUHAN DASAR Tetapi sungguh mati Koko merasa bahwa hidupnya sekarang jauh dari sejahtera. Apabila dibandingkan dengan kwalitas hidup dan kesejahteraan yang ia rasakan sebelum ia mukim di Jakarta, menurut Koko keadaannya seperti bumi dan langit. Bagaimana bisa? Apakah Koko makhluk yang tidak tahu terimakasih? Segala jerih payah yang memungkinkan dia jadi begitu nyaman hidupnya, ternyata tidak pernah Koko syukuri. Tidak heran, bila kemudian ada tuduhan, pastilah pikiran Koko telah diracuni oleh anasir-anasir subversif. Tetapi sesungguhnya Koko hanyalah insan yang jujur dan tidak dapat menipu diri sendiri. Kalau Koko bilang tidak bahagia ia memang benar-benar tidak bahagia. Koko pun tidak ingkar, bahwa makan, papan, pendidikan dan kesehatan terhampar cukup di hadapan kehidupannya. Koko pun sadar ia tidak punya soal-soal pribadi yang membuat hidupnya merana dalam keadaan serba kecukupan itu. Orang-orang di sekitar Koko, semuanya bersikap manis, kagum serta penuh perhatian pada Koko. KENAPA? Menurut Koko ada satu kebutuhan paling dasar yang tiada sejak ia pindah ke Jakarta. Ia rasakan, pertama-tama segala yang disajikan memenuhi kebutuhannya tadi bukanlah hasil budi daya wajar dan pilihan Koko. Ia merasa, suka tidak suka, mau tidak mau harus mengunyah dan menelan segala yang disodorkan buat dia. Dalam kehidupan Koko yang baru, ada satu kewajiban yang ganjil ia rasakan. Ia wajib yakin, bahwa segala sesuatu yang disodorkan itu yang terbaik untuk dirinya. Bila hati nurani dan naluri menolak, ia dibujuk. Bila ia tetap menolak dan mencoba bertingkah, ia bisa dihardik. Demikianlah kehidupan Koko diliputi kecemasan. Istana yang direka artistik, menyerupai keelokan alam sekitar, dari mana Koko berasal, itupun menggelikan, menurut cita rasanya. Ada kelokan sungai buatan, tetapi airnya tidak mengalir bening gemericik. Ada gunung, tetapi bau tanahnya tertutup plester semen. Pohonpun kerdil dan aneh penempelan dan tumbuhnya. Menggali kepribadian dan keaslian kwalitas lingkungan hidup memang sulit. Upaya yang mahal itu dengan tulus dan jujur terpaksa harus diakui Koko sebagai lingkungan hidup barunya yang penuh rekaan, kebohongan dan kepalsuan. Yang diimpikan Koko tentulah kapan ia dapat hidup kembali seperti sepupunya, si Omo. Omo dengan segala keterbelakangannya saat itu masih hidup merdeka dan berdaulat atas dirinya. Rukun dan bersatu dengan kaumnya, di tengah sisa hutan yang belum terbabat. Bagi Koko, orang utan penghuni Taman Margasatwa Ragunan Jakarta itu, kedaulatan atas diri dan kemerdekaan itulah kebutuhan dasar yang paling pokok, dan pertama-tama perlu dipenuhi untuk diri dan kaumnya. Bila kebebasan dan kemerdekaan itu ada, niscaya kreatif menghadapi tantangan alam untuk menjawab pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus