LIMA tahun terakhir ini sistem pengontrolan praktek dokter menjadi lebih rapi, karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam pengawasan. Untuk pengesahan Surat Izin Praktek (SIP) -- izin praktek swasta -- sejak tahun 1982, Departemen Kesehatan mengharuskan semua dokter mendapat rekomendasi IDI. Seperti di berbagai negara maju, organisasi profesi dokter memang senantiasa memegang kunci dalam melakukan kontrol -- bukan lembaga pemerintah. Hanya badan inilah yang mampu mengukur standar profesi dokter, juga menilai pelaksanaan kode etik kedokteran -- suatu hal yang tidak bisa dijangkau ketetapan pemerintah. Maka, terasa sangat mengejutkan ketika awal pekan lalu, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan (Depkes) Drs. Soekarjo, tiba-tiba bicara tentang reneana pencabutan rekomendasi IDI dari proses pengurusan SIP. Rencana itu semakin jadi tanda tanya, karena muncul ketika berbagai kasus malapraktek kian santri dibicarakan. Menghadapi hal seperti itu, justru kontrol atas praktek dokter wasta sangat diperlukan. Tak heran bila reaksi keras muncul dari banyak kalangan. "Pencabutan rekomendasi ini menunjukkan kemunduran sikap Depkes dalam memberikan pelayanan pada masyarakat," ujar dr. Kartono Mohamad, Ketua Umum IDI, di depan ratusan peserta seminar "Pendidikan Etika Kedokteran" di Universitas Padjadjaran, Bandung, Sabtu lalu. "Ada kesan, rekomendasi dipandang secara simplisistis, hanya selembar kertas yang menguntungkan IDI," kata Kartono yang hari itu bertindak sebagai salah satu pembicara seminar. Menurut Kartono, pandangan seperti itu tidak benar, karena rekomendasi IDI adalah bagian dari sistem pengawasan praktek dokter yang harus ada, terutama untuk kepentingan masyarakat. Prof. Dr. Mahar Mardjono, bekas Ketua Umum IDI, tampak sangat kecewa ketika ditanyai perihal pencabutan rekomendasi ini. Lima tahun lalu, Mahar ikut melobi Departemen Kesehatan, agar IDI diikutsertakan dalam mengontrol praktek dokter. Dari rembukan itulah Surat Keputusan Menteri Kesehatan yang ditandatangani dr. Suwardjono Surjaningrat -- tentang rekomendasi IDI, akhirnya diturunkan. "Dulu ketika kepercayaan itu diberikan, IDI dikatakan harus membenahi diri," ucap Mahar yang bekas rektor Universitas Indonesia itu. "Sekarang sesudah membenahi diri, barangkali dianggap terlalu kuat," katanya lagi setengah menyindir. Mahar berpendapat, IDI adalah organisasi profesi yang tertua dan paling kuat -- hampir 100% dokter di Indonesia anggota IDI. Jumlah dokter di Indonesia hampir 22.000 orang, sementara yang terdaftar sebagai anggota IDI sekitar 21.000 orang. "Karena itu, IDI mempunyai tradisi yang kukuh, baik dalam menjaga citra maupun menetapkan standar profesi dari segi keilmuan," ujar Mahar. "IDI resmi didirikan tahun 1950, tapi sebelum Perang organisasi ini sudah ada." Apa sebetulnya SIP dan di mana letak rekomendasi IDI? Untuk membuka praktek pribadi -- bukan di rumah sakit atau puskesmas -- seorang dokter yang baru lulus diharuskan mengurus dua jenis izin. Pertama, Surat Izin Dokter (SID) yang menandakan ia sudah layak berpraktek sebagai dokter kedua, Surat Izin Praktek (SIP). Seluruh perizinan ini mesti diurus di Departemen Kesehatan (Depkes) -- atau kantor wilayah (kanwil) di daerah. Pada permohonan SIP yang pertama ini, rekomendasi IDI tidak berlaku. Rekomendasi baru berlaku pada proses selanjutnya. SIP dalam peraturan Depkes harus diperbarui setiap lima tahun. Maka beban Depkes menjadi sangat berat, terutama dalam mengukur tingkat keprofesionalan dalam memperpanjang SIP. Karena itulah sejak tahun 1982 dikukuhkan kerja sama Depkes dengan IDI: untuk memperpanjang SIP -- yang kedua kali dan seterusnya. Dalam hal ini, Depkes bertumpu pada rekomendasi IDI. Organisasi profesi inilah yang diberi tanggung jawab menilai anggotanya, baru kemudian Depkes mengeluarkan SIP bagi dokter yang bersangkutan. Masalahnya kini, benarkah rekomendasi IDI akan dicabut. Sekjen Depkes Drs. Soekarjo yang dihubungi di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta, berkomentar, "Rekomendasi itu bukannya akan dicabut, cuma diubah fungsinya, sejalan dengan debirokratisasi." Dikatakannya, pencabutan rekomendasi IDI itu seharusnya dilihat dalam konteks mengurangi kerepotan para dokter mengurus perizinan. Ini semacam perangsang bagi para dokter yang bekerja di daerah, dalam arti mempermudah mereka membuka praktek swasta. "Tapi sering kita, Depkes, tak bisa memenuhi perangsang itu karena ada masalah-masalah di luar kendali Depkes," ujar Soekarjo berapi-api. "Nah, Depkes melihat misalnya untuk SIP kok ada rekomendasi IDI. Ini 'kan birokrasi, ini 'kan wewenang pemerintah, kenapa harus ada IDI." "Yang mana yang birokratis," seru dr. Guno Samekto, Ketua IDI Cabang Yogyakarta. Dokter yang juga Direktur RS Bethesda itu tampak tersinggung, karena pengurusan rekomendasi IDI disebutkan birokratis. Tampak berang ia mengungkapkan bahwa di wilayahnya tak pernah ada dokter yang sulit mengurus rekomendasi IDI. "Saya tantang Saudara, tanya semua dokter di Yogya berapa lama mereka mengurus rekomendasi IDI," katanya pada Aries Margono dari TEMPO. "Hanya beberapa jam saja sudah kelar." Seorang dokter muda, yang tak mau disebutkan namanya dan baru saja selesai mengurus SIP, membenarkan ucapan Guno Samekto. Katanya justru dari IDI ia mendapat keterangan bagaimana mengurus SIP menurut peraturan baru. Masih dengan nada keras, Guno Samekto menyatakan bila rekomendasi IDI jadi dicabut, ia mengancam akan cuci tangan kalau ada dokter yang menyeleweng. Ketua IDI Cabang Bandung, dr. Achmad Biben, yang mengurus sekitar 1.500 dokter anggota, menandaskan, birokrasi di daerah seperti yang disinyalir pejabat pusat, sebenarnya tidak ada. Di wilayahnya kedudukan rekomendasi IDI sudah proporsional dan sangat kuat. Menurut Biben, Kanwil akan mengembalikan permohonan SIP seorang dokter bila tak ada rekomendasi IDI. Begitu kukuhnya rekomendasi IDI, hingga surat ini menurut Biben bisa digunakan untuk jaminan meminjam uang di bank. Ketika ditanya apakah IDI ketat menilai dokter -- menurut Satuan Kredit Partisipasi (SKP) -- sebelum memberikan rekomendasi, Biben menjawab, "Selalu ada kelonggaran karena di lingkungan IDI, kami saling kenal." Untuk seorang dokter senior yang sudah pensiun misalnya, prestasi akademis yang sudah dicapainya akan dipertimbangkan. Prof. Sugiri, dokter ahli anak senior, menyatakan bahwa semua rekomendasi IDI di Jawa Barat, sepengetahuannya, berjalan lancar. Bekas Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang juga bekas ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Jawa Barat ini menegaskan, di wilayahnya rekomendasi IDI cukup efektif untuk mencegah malapraktek. "Sudah terbukti dalam beberapa kasus," katanya, "nah saya jadi tidak mengerti, kok sekarang ini mau dihapus." Sejauh ini adalah IDI yang didatangi bila malapraktek terjadi, bukan Kanwil Depkes. Ketua IDI Cabang Jawa Timur, dr. Lukman Siregar, mengutarakan bahwa dalam satu bulan paling tidak ada tiga pengaduan masyarakat tentang tindakan dokter yang dianggap merugikan. "Pemecahannya ya dokter yang bersangkutan kami panggil untuk menghadap MKEK, dan bila benar dokter itu melanggar kode etik, kami beri peringatan," katanya kepada TEMPO di Surabaya. "Peringatan ini bisa mempengaruhi rekomendasi dan karena itu para dokter jadi berhati-hati." Dua orang dokter kakak beradik, dr. Saleh Aljuiri dan dr. Hikmah Aljuiri, di Surabaya bereaksi cukup keras terhadap rencana pencabutan rekomendasi IDI. "Kalau mau memperpendek perizinan, justru SIP itu yang har'us dicabut," ujar Saleh yang bekas aktivis 66 dengan nada keras. "Sudah rahasia umum, yang bertele-tele itu bukan rekomendasi IDI tapi pengurusan SIP, karena aparat Depkes korup."Dikatakannya, karena sikap mental tidak tahan suap inilah dalam menangani pelanggaran kode etik atau malapraktek, Depkes sering tak mampu berbuat apa-apa. "Kalau mau beres, serahkan saja pada IDI," tambahnya. Pendapat Saleh Aljuiri adalah pendapat umum yang sudah lama beredar di kalangan kedokteran. Rangkaian perizinan itu sendiri, baik SID maupun SIP bersikap seolah-olah tidak mempercayai ijazah dokter. Bahkan perizinan ini juga ramai diisukan menjadi sarana pungli. Penyalahgunaan semacam inilah yang dinilai sebagai birokrasi yang menghambat praktek dan pengabdian dokter. Prof. Mahar Mardjono membenarkan ini. Ketua Konsorsium Ilmu-Ilmu Kesehatan Nasional itu berpendapat, sebaiknya SID ditiadakan dan SIP diberikan satu kali saja. Untuk selanjutnya fungsi kontrol diserahkan pada organisasi profesi, yang lebih menguasai standar-standar profesi dan mempunyai jalur untuk memonitor tindakan para dokter dalam menjalankan kode etik. Bila terjadi pelanggaran, baru IDI mengajukan pada Depkes agar SIP dibekukan. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, rencana pemerintah untuk menyederhanakan izin praktek dokter sebenarnya persis seperti yang dikemukakan Prof. Mahar. Untuk rencana ini sudah diadakan pembicaraan informal antara Depkes, beberapa tokoh senior IDI, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Diskusi ini merupakan usaha lanjut memanfaatkan tenaga dokter semaksimal mungkin, tanpa hambatan birokrasi. Pertimbangannya, bila suatu kali pemerintah tak mampu menampung tenaga dokter, distribusi dokter ke rumah sakit swasta, bahkan praktek swasta, bisa merupakan jalan keluar. Karena itu, proses perizinan harus disederhanakan. Tapi swastanisasi dokter sulit dilakukan, karena prizinan praktek swasta dikaitkan dengan tugas dokter di lembaga pemerintah. Padahal, menyederhanakan SIP menjadi satu kali saja, misalnya akan memudahkan dokter menjalankan baktinya di jalur swasta. Dalam diskusi informal itu terungkap pula, SIP yang harus diperbaharui setiap lima tahun, sebenarnya, bertujuan melakukan kontrol. Bila fungsi kontrol bisa dijalankan dengan baik oleh IDI, perpanjangan reguler SIP praktis tak diperlukan -- termasuk pemberian rekomendasi IDI secara reguler. Untuk menetapkan sesuatu pelanggaran, bisa dibentuk semacam Majelis Kesehatan Nasional, yang di dalamnya IDI berperan aktif. Dalam diskusi itu ada kesepakatan untuk tidak mengumumkan dahulu rencana ini pada pers, karena banyak hal masih dipertimbangkan. "Karena itu, sungguh aneh Sekjen Depkes tiba-tiba melanggar kesepakatan dan menyinggung hanya pencabutan rekomendasi IDI," kata sumber itu. "Ini mengikuti konsep yang mana?" Kata sumber itu lagi, pekan ini sebuah pembicaraan informal dengan Menpan mengenai penyederhanaan izin praktek masih akan diteruskan. Menarik untuk dicatat bahwa keterangan Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat pada pembukaan seminar "Kesehatan Bagi Semua di Tahun 2000" Sabtu lalu di Jakarta, ternyata berbeda dengan keterangan tentang pencabutan rekomendasi IDI yang diberikan sebelumnya. Kali ini penjelasannya dekat dengan pembentukan semacam Majelis Kesehatan Nasional. Menteri mengatakan, dalam peraturan baru yang akan dikeluarkan, IDI akan ditempatkan pada sebuah badan yang terhormat, untuk bersama Depkes melakukan pengawasan. Kini perlu dipertanyakan, ketetapan mana yang akan diganti, Surat Izin Praktek (SIP) atau rekomendasi IDI. Bila debirokratisasi yang dituju, agaknya memang aturan tentang SIP itu yang harus dicabut. Jim Supangkat, Moebanoe Moera (Jakarta), Ida Farida (Bandung), Aries Margono (Yogyakarta), M. Baharun, Herry Mohammad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini