Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Rekomendasi IDI Standar Penilaian

Rencana Depkes tentang pencabutan rekomendasi IDI mengundang reaksi banyak kalangan. IDI berhasil menyusun standar penilaian setiap anggota IDI. pendapat prof. mahar mardjono & dr. kartono mohamad.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA tahun 1982 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendapat kehormatan untuk ikut mengontrol praktek dokter. Ini direalisasikan lewat Surat Keputusan Menteri Kesehatan Suwardjono Surjaningrat, yang mengharuskan, untuk perpanjangan Surat Izin Praktek (SIP), semua dokter lebih dahulu mendapat rekomendasi IDI. Prof. Mahar Mardjono tercatat sebagai salah seorang konseptor rekomendasi itu, yang ikut melakukan lobi ke Depkes. "Tapi ini terjadi sebelum zaman saya," ujar bekas rektor Universitas Indonesia itu. Maksudnya, sebelum ia menjadi Ketua Umum IDI. Tak heran jika Mahar tahu betul tujuan rekomendasi IDI ke jalur pengurusan SIP. "IDI dianggap lebih mampu menilai anggota-anggotanya, terutama dari segi etik dan profesi dokter," kata guru besar neurologi itu lagi. "Depkes sendiri hanya bisa menilai dari segi administratif dan tidak punya ketentuan melakukan penilaian etik dan tingkat profesi, terutama dari segi ilmunya," ujarnya lebih lanjut. "Di mana-mana di negara lain memang begitu," ujar Mahar lagi. Artinya, dalam kerja sama itu Departemen Kesehatan memanfaatkan organisasi profesi untuk mengontrol praktek dokter, sementara organisasi profesi yang bersangkutan juga berkepentingan menjaga citra anggotanya. Sejak itu, IDI terus mencari patokan untuk menetapkan penilaian. "Dan justru pada tahun-tahun terakhir ini kami akhirnya berhasil menyusun semacam standar, ujar Ketua Umum IDI, dr. Kartono Mohamad, di Bandung, Sabtu pekan lalu. Semua ini bertolak dari pemikiran bahwa ilmu kedokteran tidak diam, tapi berkembang. Yang hari ini dipraktekkan, besok bisa salah. Jika dokter tak aktif mengikuti perkembangan ilmu, ia bukan cuma tertinggal, tapi mungkin bisa salah praktek. Maka, pada Muktamar IDI di Bandung dua tahun lalu diputuskan, setiap dokter yang hendak mendapatkan rekomendasi untuk memperpanjang SlP-nya harus mampu mengumpulkan kredit -- dihitung dalam Satuan Kredit Partisipasi (SKP). Di beberapa negara, pengumpulan SKP ini, menurut Mahar, berbentuk ujian reguler. Namun, dalam kesepakatan IDI, SKP hanya catatan aktivitas mengikuti perkembangan ilmu kedokteran, apakah dengan cara seminar dan kegiatan ilmiah lainnya, ataupun dengan menulis karya ilmiah. Setiap kegiatan mempunyai nilai SKP dan bobot yang berbeda. Menulis karya ilmiah, misalnya, mempunyai bobot sampai 5 SKP, seminar, 2 atau 3 SKP, kursus keterampilan tambahan, 8 SKP. Dikatakan oleh Kartono, metode SKP mempunyai dua sasaran: memacu para dokter supaya terus belajar dan menggiatkan monitoring perkembangan ilmu kedokteran. Bagi dokter-dokter di daerah, SKP juga bisa diartikan sebagai ikhtiar mencari pendidikan lanjutan secara tertulis atau pengabdian di masyarakat. "Pada dasarnya, SKP adalah pencerminan tingkat keprofesionalan seorang dokter, baik dalam ilmu maupun pelayanannya pada masyarakat," ujar Kartono. Sistem SKP mulai dicoba tahun 186. Tahap pertama setiap dokter diminta mengumpulkan 10 SKP untuk mendapat rekomendasi bagi perpanjangan SKP-nya. Ini berarti jumlah itu dikumpulkannya dalam waktu lima tahun -- masa berlaku SIP. Untuk sementara ketentuan ini cuma berlaku di kota-kota besar, yang mempunyai fakultas kedokteran dan di banyak hal masih longgar. Nah, justru ketika sistem itu sedang dimantapkan, rekomendasi IDI malah mau dicabut oleh Departemen Kesehatan. Apakah berarti usaha penetapan standar itu akan bubar juga? "SKP akan jalan terus," jawab Kartono, "sebab sistem ini merupakan kesepakatan para dokter untuk memacu diri sekaligus menjaga citra dokter." Ini tidak harus selalu ada hubungannya dengan Depkes, sebab penilaian secara umum terutama datang dari masyarakat. Selain untuk rekomendasi, IDI sudah berencana memanfaatkan sistem SKP untuk memberikan penghargaan pada dokter-dokter yang mampu mengumpulkan jumlah SKP tertentu. Tak hanya itu. Nama dan kualifikasi para dokter, yang dihitung berdasar sistem SKP, akan dicatat dalam buku register dokter yang diterbitkan IDI. "Sehingga, kalangan resmi ilmu kedokteran dapat menilai mana dokter yang baik, mana yang tidak." Bila rekomendasi IDI untuk SIP jadi dicabut, buku register ini diharapkan bisa menjadi kekuatan baru bagi IDI untuk menjaga tingkat keprofesionalan anggotannya. Kepentingan IDI memang bukan cuma Depkes. "Saya sebagai Ketua Konsorsium Ilmu-Ilmu Kesehatan yang berada di bawah Departemen P dan K, misalnya, selalu memerlukan organisasi profesi," ujar Mahar Mardjono, "Pak Fuad, Menteri P dan K, juga bersikap sama." Gatot Triyanto, Agung Firmansyah (Bandung), Tri Budianto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus