USAHA mengendalikan penyakit kanker hati segera memasuki masa cerah. Reagensia, cairan yang dapat melacak hepatitis-B -- virus penyakit yang menakutkan itu -- kini mudah didapat bahkan berpeluang menjadi komoditi ekspor. Menurut rencana, lima juta tes cairan reagensia dari kebutuhan 1,6 juta per tahun, siap dipasarkan dari Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Komoditi itu diolah di sebuah gedung dua lantai, seluas 770 m2, yang diresmikan Presiden Soeharto Kamis pekan lalu di Mataram. Bernama Laboratorium Hepatika, gedung itu berdiri kukuh di atas tanah seluas 4.664 m2, di kota yang langka akan fasilitas ilmiah itu. "Pembangunan laboratorium ini mempunyai arti yang istimewa dan membanggakan," demikian Presiden dalam pidato sambutannya. Laboratorium dirintis sejak 1976, oleh 12 dokter di Mataram, yang bergabung dalam yayasan "Hati Sehat". Rintisan ini sejalan dengan mobilitas penyakit hati di Lombok, yang ternyata paling tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Sekelompok ahli dari Jepang kemudian ikut meneliti hepatitis ini sejak tahun 1982. Tim Indonesia-Jepang itu, untuk pertama kali, 1984, berhasil membuat dua jenis reagensia dasar hepatitis-B, yakni reagensia untuk mendeteksi ada atau tidaknya infeksi virus B dalam darah (HBsAG) dan reagensia untuk mengetes adanya kekebalan terhadap penyakit itu (anti-HBs). Deteksi semacam itu penting, karena di beberapa tempat di Lombok, virus sudah menyerang lebih dari 10% penduduk. Bahkan ada dua desa di Bayan, Lombok Barat yang 20% penduduknya mengidap hepatitis-B. Untuk bahan baku reagensia digunakan darah domba. Proses pembuatannya bertahap. Untuk menghasilkan reagensia pendeteksi penyakit, ke dalam darah domba lebih dulu ditambahkan zat kekebalan yang diperoleh dari darah kuda. Tentunya, sang kuda harus disuntik vaksin hepatitis-B dulu. Sedangkan untuk reagensia pengetes kekebalan, prosesnya lebih sederhana, yakni cukup dengan mencampurkan darah orang yang mengandung virus hepatitis-B, dengan darah domba tadi. Faktor lain yang mendorong pembangunan laboratorium adalah tingginya harga impor cairan reagensia itu. Per cc (cukup untuk mengetes sekitar 100 pasien) yang diimpor dari Amerika Serikat, Prancis, dan Belanda, berkisar dari Rp 125 ribu sampai Rp 400 ribu. Atau minimal Rp 3.000,00 untuk sekali pengetesan. Bayangkan berapa banyak devisa yang bisa dihemat bila setiap cc reagensia buatan Mataram, harganya cuma 40% dari harga impor. Apalagi penjualan khusus, yang hanya 20% dari harga impor, diberikan kepada PMI, yang setiap tahun membutuhkan tak kurang dari 400 ribu tes (4.000 cc). Mengingat produksi reagensia di Mataram itu melebihi kebutuhan dalam negeri, maka kemungkinan pemasaran ke Jepang dan negara-negara tetangga sudah dijajaki. "Paling tidak ke Singapura," ujar Wibisono, konsultan pemasaran PT Sindhu Mas Mutiara, agen penjualan reagensia. Oleh karena itu pula, tampaknya Pak Harto tak sungkan mendukung proyek yang dinilainya mempunyai arti besar ini. Beliau menyumbang Iyophilizer -- seharga Rp 125 juta -- sebuah alat yang berfungsi mengubah reagensia cair menjadi padat sehingga bisa tahan lama. Adapun modal yang sudah ditanam dalam proyek itu, Rp 750 juta, merupakan sumbangan dari pemerintah daerah, ditambah Rp 900 juta dari kas yayasan "Hati Sehat". Hanya saja target pemasaran agaknya tak akan tercapai dalam waktu singkat. Nyatanya, di kota-kota besar, di Jawa terutama, produk impor masih menguasai pasar. Dari 1,6 juta kebutuhan nasional, Mataram baru mampu menyuplai 300 ribu tes saja. Lagi pula, untuk menyuplai daerah-daerah seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, masih terbentur hambatan distribusi. Sebabnya, "Reagensia cukup sensitif, itu kesulitannya dalam pendistribusian," kata Magdalena, teknikus dari PT Waris, distributor tunggal. Soalnya, reagensia cair harus dikemas dalam suhu rendah, 2-8 derajat Celsius. Lagi pula, reagensia cair ini cuma berumur satu hari di perjalanan, berbeda dengan reagensia impor yang padat dan tahan lama. Moebanoe Moera (Jakarta) dan Supriyanto Khafid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini