Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ihwal Baru Talasemia

Data terbaru Lembaga Eijkman mencatat lonjakan jumlah pengidap talasemia alfa berat di Indonesia. Tak dianjurkan menikah dengan sesama pengidap.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak kecil Ferdiansyah bercita-cita menjadi pilot, tapi impiannya menerbangkan pesawat itu dirampas pagi-pagi oleh anemia. Baru tiga semester Ferdi belajar di sebuah sekolah tinggi penerbangan, hasil uji darahnya menunjukkan dia mengidap anemia sebagai penanda talasemia alfa. Ini jenis talasemia yang membuat penderita sulit kembali ke kondisi normal. Maka, pada Agustus tahun lalu, pihak sekolah menyampaikan kepada Ferdi bahwa dia tak bisa lagi belajar di situ. Alasannya: pilot harus memiliki kesehatan prima. "Saya stres dan down mendapat keputusan itu," kata Ferdi kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Pengalaman itu disampaikan Ferdi ke hadirin Seminar Keanekaragaman Fenotip dan Genotip Talasemia Alfa di Hotel Borobudur, Jakarta, dua pekan lalu. Dia mengaku kecewa karena anemia, yakni kondisi kadar hemoglobin kurang dari 12 gram per desiliter, tak diketahuinya sejak awal. Ketika dia menempuh tes kesehatan sebelum kuliah pada April 2010, hasil pemeriksaan kesehatannya baik. Ada dugaan, penyakit itu dipicu kebiasaan hariannya di kampus. Setiap hari Ferdi harus menggendong tas seberat 8 kilogram dari barak ke kampus dan sebaliknya. Meski positif mengidap talasemia alfa, pria 26 tahun ini belum pernah menjalani transfusi darah.

Happy S. Harbowo adalah pasien talasemia alfa lain yang ditemui Tempo. Penyakit Happy sudah terlacak sejak dia berusia setahun. Pemicunya infeksi. Suatu ketika sakit flunya tak kunjung sembuh. Tes darah dilakukan, dan diketahui bahwa pria 31 tahun ini menderita talasemia alfa. Sejak itu, dia menjalani transfusi darah setiap bulan. Kebiasaan itu berhenti setelah ia menja­lani operasi pengangkatan limfa di usia 15 tahun. Hingga kini Happy mengaku tak pernah lagi menjalani transfusi darah. "Ini penyakit keturunan dari Bapak dan Ibu. Tiga kakak saya juga penderita talasemia alfa, dan semuanya meninggal," ujarnya kepada Tempo.

Dokter Iswari Setianingsih, peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta, menjelaskan bahwa talasemia alfa adalah penyakit keturunan yang disebabkan oleh kelainan gen globin alfa. Akibatnya, rantai globin alfa tidak diproduksi atau jumlah produksinya berkurang. Pada stadium ringan, penderita bisa tak butuh transfusi darah. Bila levelnya meningkat berat, transfusi darah diperlukan bahkan sampai seumur hidup.

Jika kelainan terjadi pada gen globin beta—sehingga rantai globin beta tak diproduksi—yang muncul adalah talasemia beta. Pasien talasemia beta selalu membutuhkan transfusi darah untuk pengobatannya. Darah penderita talasemia alfa ataupun beta mengalami kerusakan karena produksi hemoglobinnya tidak sempurna. Kekurangan hemoglobin akan membuat oksigen dalam darah berkurang, sehingga pertumbuhan tubuh terganggu. Karena mengalami animea, penderita talasemia berwajah pucat.

Selama ini talasemia alfa kurang mendapat perhatian karena penemuan kasusnya tidak sesering talasemia beta. Implikasinya juga tidak seberat talasemia beta. Kelompok terakhir ini harus menja­lani transfusi darah seumur hidup. Mereka juga bisa mengalami perubahan bentuk tulang muka, misalnya dahi atau tulang pipi menonjol, jarak kedua mata menjadi jauh. Mengapa? Sumsum tulang pipih di wajah bekerja ekstrakeras memproduksi sel darah merah.

Iswari menegaskan, pengidap talasemia alfa yang masih bertahan hidup berarti tubuhnya masih mampu memproduksi globin alfa, meski tak sempurna. Ada kasus anak yang lahir dengan membawa bibit penyakit ini bisa tumbuh dan bertahan—sebagai hasil seleksi alamiah. Jika mengidap talasemia alfa berat, janin akan mati di kandungan.

Akhir-akhir ini kasus pasien talasemia alfa berat yang butuh transfusi laiknya talasemia beta semakin kerap ditemukan. Seminar yang menghadirkan Ferdi serta Happy adalah salah satu upaya menggali lebih banyak informasi mengenai penyakit ini. Hasilnya? Banyak cerita berbeda terungkap, meski sama-sama datang dari pengidap talasemia alfa.

Misalnya, ada pasien mengalami mutasi pada gen yang sama tapi satu pasien tak perlu transfusi darah, sedangkan pasien lain butuh transfusi. Ada pasien yang mendapat transfusi darah sejak bayi, ada yang hanya pada waktu hamil, dan sebagainya. "Belum semua penyebab terungkap. Ini tantangan bagi kita," kata Iswari, yang memprakarsai seminar tersebut.

Pengangkatan limfa seperti yang terjadi pada Happy, menurut Iswari, bisa menjadi pilihan. Pada penderita talasemia alfa, limfa menjadi organ yang merusak darah merah. Menurut literatur, kondisi tubuh pasien setelah operasi limfa menjadi baik, sehingga tak perlu transfusi darah. Namun tindakan ini tak menghentikan transfusi pada pasien talasemia beta, karena darah sudah rusak sejak dari sumsum tulang. Secara prinsip, pengambilan limfa boleh dilakukan setelah anak berumur lima tahun. Namun hilangnya limfa juga menimbulkan risiko lain. "Pasien menjadi lebih mudah terkena infeksi," kata Iswari.

Hingga saat ini, jumlah penderita talasemia alfa di Indonesia belum tercatat. Untuk mengetahui keberadaan penyakit ini, Lembaga Eijkman pernah melakukan penelitian dengan sampel warga Aceh, Sumatera Selatan, Jawa, Sulawesi Selatan, Sumba, dan Maluku Utara. Hasilnya, pembawa sifat talasemia alfa berat didapat 3-11 persen, dan pembawa sifat talasemia ringan 11-32 persen. "Screening adalah kunci untuk mencegah penambahan kasus penyakit ini," kata dokter Djumhana Atmakusuma.

Djumhana adalah konsultan hematologi—ilmu tentang darah—di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Skrining bisa dilakukan sebelum pernikahan dan pada kehamilan yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat. Bila janin dinyatakan sebagai penderita karena mendapat kedua gen talasemia dari ayah dan ibu, apa boleh buat, menggugurkan kandungan perlu dipertimbangkan. Jika sekadar membawa sifat, apalagi bebas dari gen talasemia, silakan si ibu meneruskan kehamilannya.

Menurut Iswari dan Djumhana, tak ada yang bisa melarang sesama pembawa sifat atau penderita talasemia alfa menikah. Yang penting, mereka mengetahui risikonya. Namun disarankan penderita talasemia menikah dengan pasangan normal, sehingga risiko terbesar bagi anaknya hanyal pada tingkat pembawa sifat. Kemungkinan anak dari pasangan pembawa sifat adalah 25 persen normal, 50 persen menjadi pembawa sifat (talasemia minor), dan 25 dapat menjadi pengidap talasemia berat.

Happy melakukan screening ini sebelum menikah dengan Surhartin pada Maret dua tahun lalu. Beruntung, dia mendapat pasangan hidup normal. Langkah serupa akan ditempuh Ferdi, yang berniat mengakhiri masa lajangnya pada usia 29 tahun.

Dwi Wiyana


Wajib Screening Sebelum Akad
Talasemia, baik alfa maupun beta, belum ada obatnya. Agar jumlah pengidap tak semakin banyak, screening talasemia amat dianjurkan kepada:

  • Mereka yang memiliki saudara sedarah penderita talasemia.
  • Mereka yang berniat menikah. Riset menunjukkan setiap orang berpotensi sebagai pembawa sifat atau penderita talasemia.
  • Mereka yang tengah mengandung dari pasangan pembawa sifat talasemia.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus