Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atambua 39o Celsius
Skenario dan sutradara: Riri Riza
Produser: Mira Lesmana (Miles)
Pemain: Gudino Soares, Petrus Beyleto, Putri Moruk
Senja turun, langit merah, kapal melepas jangkar di depan siluet sebuah pulau. Lalu seorang pria merekam suaranya di dalam kaset untuk dikirimkan ke istrinya. Ia berbicara tentang keindahan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Keindahan yang muncul ketika matahari tenggelam dan kelelawar memenuhi langit yang hampir padam.
Dengan adegan itu Riri Riza membuka Atambua 39o Celsius, film tentang kota di perbatasan Indonesia-Timor Timur, 13 tahun setelah referendum kemerdekaan. Meski bercerita tentang keluarga yang terpisah oleh kemerdekaan Timor dan problem para pengungsi, Atambua amat berbeda dengan Tanah Air Beta yang disutradarai Ari Sihasale. Riri ingin memotret problem sosial di kota perbatasan itu sekaligus menyodorkan nilai nasionalisme yang lain.
Ada tiga pemain utama dan tiga cerita dalam Atambua. Ketiga pemeran utama itu adalah penduduk Atambua dan belum pernah main film. Salah satu alasan Riri memilih penduduk lokal adalah ia ingin dialog dalam film ini memakai bahasa Tetum-Porto, bahasa sehari-hari penduduk di sana.
Ada Petrus Beyleto yang memerankan Ronaldo, sopir angkutan antarkota yang selalu mabuk karena menyimpan kemarahan dan kerinduan. Ia menyeberang ke Indonesia, meninggalkan istri dan anak terakhir yang belum pernah dilihatnya di Timor. Ronaldo bersumpah tak akan kembali ke Timor sampai negeri itu menjadi bagian Indonesia lagi.
Mengungsi ke Indonesia, Ronaldo membawa anak sulungnya, Joao (Gudino Soares), "Karena anak laki-laki harus ikut bapaknya." Joao adalah tukang ojek yang suka nonton bokep (film seks). Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu mendengarkan kaset-kaset rekaman suara emaknya yang memanggil-manggil dari Timor: "Joao, Joao, pulanglah anakku…." Setiap pagi, ia mengambil air ke sungai dan membersihkan lantai tanah merah rumah mereka dari muntahan bapaknya yang mabuk semalam. Rumah mereka berdinding seng.
Joao jatuh cinta pada Nikia (Putri Moruk), tetangganya yang tiba-tiba datang setelah sempat menghilang bertahun-tahun. Nikia yang pindah ke Kupang itu datang lagi ke Atambua setelah mendengar kakeknya yang hidup sebatang kara meninggal. Ia datang sebentar hanya untuk menghias kuburan sang kakek. Setelah berbagai peristiwa, Nikia dan Joao akhirnya saling menyukai. Tapi itu bukan akhir cerita.
Dengan durasi sepanjang 90 menit dan cerita yang sederhana, Riri sebenarnya punya waktu yang cukup untuk menceritakan ketiga hal itu dengan mulus. Tapi perpindahan dari satu adegan ke adegan lain terasa terputus-putus. Penonton tidak diberi kesempatan melihat karakter lebih dalam atau merasakan apa yang mereka rasakan. Ada banyak hal yang tak tersampaikan.
Selain itu, kita punya beberapa pertanyaan yang tak terjawab sampai film selesai. Contohnya, bagaimana Ronaldo yang ditahan karena menganiaya orang tiba-tiba dilepaskan. Dalam sinopsis dibilang bahwa Joao-lah yang menebus bapaknya. Tapi itu tak terlihat di film. Kalaupun ya, bagaimana Joao menebusnya? Dari mengojek, dia hanya mendapat beberapa belas ribu rupiah per hari. Kita juga tak mengerti hubungan antara kota Atambua dan 39 derajat Celsius, seperti dalam judul.
Sebaliknya, banyak adegan yang tak membangun cerita justru dimunculkan. Misalnya, meski sangat puitis, kita tak tahu bagaimana menghubungkan adegan pembuka dari Labuan Bajo itu dengan cerita selanjutnya. Tidak pernah disinggung sekali pun soal Labuan Bajo atau pelayaran itu kemudian. Demikian juga adegan latihan bola dan voli yang sepertinya tak berpengaruh banyak jika dibuang.
Tapi hal terpenting yang membuat film tidak berjalan dengan lancar adalah hilangnya dialog. Dengan minimnya perbincangan, banyak informasi dan perasaan yang tak muncul. Tentu saja, dengan dialog yang minim pun sebuah film dapat bercerita dengan lancar. Tapi itu perlu pengadeganan yang kuat. Sayangnya, hal itu tidak bisa diharapkan muncul dari ketiga pemain baru ini.
Hal-hal yang tak terjelaskan itu kemudian dituturkan lewat rekaman kaset yang mereka buat. Kisah dituturkan secara verbal, bukan diceritakan lewat adegan.
Meski memiliki sejumlah kekurangan, film ini sangat cantik. Sinematografi yang ditata Gunnar Nimpuno harus dipuji. Demikian juga musik yang digarap Basri B. Sila. Tapi hal terpenting dari film ini adalah kesadaran yang muncul setelah film selesai. Riri, yang menulis sendiri skenarionya, membuka mata kita tentang nasionalisme. Tidak semuanya tentang merah putih. Semua orang memiliki tanah airnya, dan itu tidak harus Indonesia.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo