Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIANA Chaplin tak lagi menyuapkan nasi ke mulut anak lelakinya yang berusia dua tahun. Warga Kota New York, Amerika Serikat, ini baru saja mendapat informasi tentang adanya unsur berbahaya dalam beras yang beredar di negaranya. "Waduh, lagi-lagi makanan terkontaminasi," katanya seperti dikutip Huffington Post, bulan lalu.
Yang membuat Diana waswas, unsur berbahaya itu adalah racun arsenik. Ya, racun jenis inilah yang ditemukan dalam darah aktivis hak asasi manusia Indonesia, Munir Said Thalib, yang meninggal dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda delapan tahun silam.
Adalah majalah perlindungan konsumen Amerika Serikat, Consumer Reports, yang menemukan zat arsenik dalam beras. Kadarnya cukup tinggi dan ditemukan dalam 61 jenis beras dan penganan beras yang beredar di Negeri Abang Sam. Umumnya varietas tersebut dikembangkan di berbagai lokasi di Amerika.
Penelitian dilakukan setelah menguji 223 sampel yang dikumpulkan dari 63 produk beras pada April, Mei, dan Agustus 2012. Dalam beras, kandungan unsur zat kimia yang dalam tabel periodik memiliki simbol As dan nomor atom 33 ini bervariasi antara 50 dan 500 bagian per semiliar (bps).
Sebagai pembanding, batas aman arsenik dalam air minum menurut ketentuan United States Environmental Protection Agency adalah 10 bps. "Arsenik kadar tinggi ditemukan hampir di seluruh jenis beras yang kami teliti," tulis Consumer Reports pada September lalu.
Kepada situs berita ABC News, komisioner badan pengawas makanan dan obat-obatan Amerika (FDA), Margareth Hamburg, mengatakan telah menindaklanjuti temuan arsenik dalam beras dengan mengumpulkan sampel. Hasilnya ternyata sama dengan penelitian Consumer Reports. Meski mendapatkan kadar yang sama, ironisnya ia berkesimpulan berbeda. "Tidak mengancam kesehatan," katanya.
Manusia mengenal arsenik sejak zaman perunggu, sekitar 3.500 tahun sebelum Masehi. Ketika itu, ahli logam mencampurkan arsenik ke dalam leburan tembaga sebagai penguat logam. Sayangnya, di kemudian hari, arsenik dipakai sebagai racun. Dalam jumlah besar, zat ini memang mematikan. Tak mengherankan jika unsur ini sering dipakai untuk membunuh orang-orang penting, sehingga kemudian dijuluki "racun para raja" sekaligus "raja para racun".
International Agency for Research on Cancer, yang berbasis di Lyon, Prancis, memastikan unsur ini bersifat karsinogen. Posisinya berada di puncak kelompok bahan penyebab kanker bersama radiasi ultraviolet dan sinar-X. Mengkonsumsi arsenik dalam jangka panjang memicu kanker paru dan kandung kemih. Arsenik juga menyebabkan terjadinya hiperpigmentasi kulit, serta kelainan hati dan ginjal.
Di antara varietas beras berkadar arsenik tinggi, terselip pula empat jenis beras yang didatangkan dari luar Amerika. Keempat jenis tersebut adalah Organic Thai Jasmine White (kadar arsenik 104-150 bps) dan Organic Jasmine asal Thailand (122-121 bps) serta Organic Indian Basmati White (83-100 bps) dan Organic Basmati (55-82 bps) asal India.
Fakta ini tentu mengejutkan bagi Indonesia. Sebab, Badan Pusat Statistik menyebutkan, Indonesia mengimpor 1,9 juta ton beras sepanjang 2011, yakni 450 ribu ton dari Thailand dan 250 ribu ton dari India. Beras Amerika juga masuk ke Indonesia. Jumlahnya 14 ribu ton.
Menurut Ketua Laboratorium Tanah Umum Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Nasih Widya Yuwono, sifat racun arsenik dalam beras telah diteliti setidaknya sejak 1936. Ketika itu, Fielding Reed, ahli ilmu tanah, menyelidiki kesulitan petani Louisiana barat daya menanam padi setelah panen kapas. Rupanya, pestisida yang mengandung arsenik yang dipakai di perkebunan kapas menyebar ke lahan padi akibat terbawa banjir. Sejak saat itu, arsenik disadari sebagai ancaman bagi manusia.
Di alam, kata Nasih, arsenik dihasilkan dari biji tembaga dan timbel. Tak mengherankan jika daerah yang memiliki pertambangan emas dan tembaga seperti di sekitar Teluk Buyat, Sulawesi Utara, memiliki kandungan arsenik tinggi.
Sedimen lempung yang terdapat di sungai biasanya juga mengandung arsenik dalam jumlah tinggi. Di India dan Bangladesh, misalnya, masyarakat hidup di tengah tanah aluvial Sungai Gangga yang memiliki kandungan arsenik tinggi. Akibatnya, banyak kasus keracunan arsenik di daerah itu. Arsenik ini berasal dari air tanah yang bercampur logam berat.
Di Indonesia, terdapat dua sumber arsenik, yaitu tanah gunung di sekitar gunung berapi dan tanah rawa, yang biasanya mengandung kadar arsenik tinggi. Tanah di Indonesia biasanya memiliki kandungan arsenik 200-40.000 bps. Pemodelan tanah, air, dan iklim yang dilakukan Institut Ilmu dan Teknologi Air (Eawag) Swiss pada 2008 membenarkan hal ini.
Sumatera, satu-satunya pulau di Indonesia yang dipelajari dalam studi tersebut, ternyata memiliki risiko kontaminasi arsenik yang tinggi di dalam tanah. Wilayah seluas 100 ribu kilometer persegi di pantai timur Sumatera menjadi daerah dengan ancaman tertinggi. "Belum ada laporan terperinci mengenai terjadinya pencemaran arsenik di Indonesia," kata Nasih.
Arsenik dalam tanah kemudian dicerna oleh tanaman padi. Tanaman ini pada dasarnya penyerap arsenik paling efektif. Sebab, padi harus mengimbangi pertumbuhan yang cepat dengan memperbanyak asupan materi ke dalam tubuhnya. Arsenik yang terkandung dalam tanah ikut disedot.
"Awalnya, arsenik diserap akar, kemudian batang, lalu masuk ke bulir ketika berlangsung pembuahan," ujar Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia Hardinsyah Ridwan kepada Tempo pekan lalu.
Temuan arsenik dalam beras Thailand, India, dan Amerika, menurut guru besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor itu, seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk mengawasi kandungan arsenik dalam beras. Apalagi beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi mayoritas penduduk Indonesia. Konsumsi beras per orang Indonesia mencapai 139 kilogram setiap tahun dan tertinggi di dunia.
Badan Karantina Pertanian, yang bertugas memeriksa cemaran terhadap pangan impor, tidak pernah memeriksa kandungan arsenik dalam beras Thailand dan India. Alasannya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 88 Tahun 2011 tidak memerintahkan pengawasan terhadap cemaran arsenik dalam beras.
Pemeriksaan logam berat hanya dilakukan pada beras sosoh, itu pun hanya untuk kadmium dengan kadar maksimal 0,4 miligram per kilogram beras. "Tidak mungkin diperiksa karena tidak ada ketentuannya," kata Ridwan Alaidrus, Kepala Sub-Seksi Keamanan Hayati Nabati Impor Badan Karantina Pertanian.
Setelah ribut-ribut adanya racun arsenik dalam beras impor ini, Kementerian Pertanian akhirnya berencana mempertimbangkan masuknya pengujian arsenik sebagai syarat baku mutu beras luar negeri. Pengujian arsenik nantinya akan dilakukan di lokasi karantina di pelabuhan-pelabuhan Indonesia.
Hanya, belum ada kepastian berapa ambang batas maksimal arsenik yang ditoleransi. Waktu pengesahan ketentuan pun belum ada kejelasan. Satu yang pasti, arsenik bisa saja masuk ke perut orang Indonesia lewat jendela impor atau panen raya berikutnya.
Anton William
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo