Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ingat bahaya dari langit

Pusat kesenian jakarta dengan tim nya punya pawang hujan tetap. namanya suhardijo atmo purwano. ia tak minta bayar mahal. pawang yang selalu nongol setiap ada acara di tim itu ternyata orang intelek. (sd)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI tak ada hubungannya dengan ramalan cuaca - yang sering sekali tidak tepat. Bila musim hujan tiba, mereka yang bermaksud mengadakan perhelatan, atau keramaian lain, selalu saja merasa was-was akan bahaya dari langit yang bisa mengusir pengunjung itu. Karena itu daripada ramal-meramal, sebagian dari mereka ternyata lebih suka menempuh cara "inkonvensionil". Maka dipanggillah seorang pawang. Demikianlah Pusat Kesenian Jakarta dengan TlM-nya mempunyai tokoh kesayangan yang selalu muncul diam-diam. Bagai pahlawan yang tak suka menonjolkan diri, dia duduk di Teater Terbuka. Hanya sedikit yang tahu bahwa dia bukanlah sebagian dari penonton. Namanya Suhardijo Atmo Purwono. Kelahiran Sentolo. Kulon Progo, Yogya, tahun 1922. Ayahnya seorang pegawai Kraton. Sedang kakeknya seorang pegawai Kepatihan bernama Mas Ngabehi Wonosidi ke-IV, yang terkenal sebagai seorang penangkap harimau pada zamannya. Tak dikisahkan berapa sudah harimau yang sempat ditangkap Bapak Wonosidi. Tapi keberanian dan ketabahan penakluk binatang buas itu muncul dalam diri Suhardijo dalam bentuk lain. Masa mudanya ternyata penuh pengabdian, terutama di dunia kesehatan. Ia termasuk ahli dalam soal penyakit paru-paru - bahkan sempat menulis buku pelajaran tentang penyakit TBC, pada tahun 1959. Sesudah mengembara kian kemari - termasuk menjadi anggota DPRDS Kabupaten Semarang tahun 1955 - ia menetap di Jakarta. Perlu dicatat ia mengasuh semacam klinik yang berjalan terus di daerah Pedurenan. Petunjuk Ronggowarsito Sesungguhnya tokoh kita ini tidak begitu demen disebut pawang. Kata itu memang memberi asosiasi klenik. Seakan-akan Suhardijo bisa membuat hitam putih udara semaunya. "Jangan kita dianggap dukun. Ini pekerjaan sosial yang mengabdi pada masyarakat", kata Pak Atmo. Ia pun tentu tidak suka dianggap mengkomersiilkan cuaca. "Kita sendiri tidak dapat menentukan. Saya hanya melanjutkan kehendak ummat", katanya. "Sesungguhnya saya tidak menganggap diri saya pawang. Tapi orang sudah menganggap begitu, ya tidak apa-apa". Karena menjadi langganan TIM, dia harus siap tempur setiap memasuki bulan hujan. Sebelum melaksanakan tugasnya yang pertama dalam satu bulan, ia berpuasa 3 hari. Kemudian pada hari yang ditentukan dia menyiapkan sesajen: 2 sisir pisang raja, kembang telon (bunga tiga warna), rokok lisong, sirih, kemenyan. Semuanya dikunci dengan persiapan hati yang bersih. Tapi kenapa pisang? Bukan lumpia misalnya? "Sesungguhnya itu simbul", kata Pak Atmo. "Pisang, dalam bahasa Jawagedang. Maksudnya agar udara jadi padang - artinya terang". Lha lumpia itu simbul apa? Ya to? Tidak ada mantera khusus, katanya. Karena sifat pekerjaannya itu hanyalah doa - yang sangat serius - dengan keyakinan bahwa akhirnya semuanya tergantung pada Tuhan yang punya mau. Adapun soal sajen tadi, orang tua yang Islam ini mempraktekkannya dari buku petunjuk Ronggowarsito. Sesajen serupa juga dibuat di TIM --hati-hati: biasanya diletakkan di bawah pohon pakis di sebelah kiri panggung Teater Terbuka. Kretek Bentoel Rawit hampir tak putus-putusnya bertengger di bibir orang tua ini. Ia muncul tatkala kursi masih melompong, sementara para petugas masih asyik bergunjing atau membagi-bagi pekerjaan sebentar lagi. Dia duduk dengan tenang di dekat menara lampu sorot. Celakalah kalau sementara dia berkonsentrasi memohon kebersihan udara, ada yang mengumpat-umpat keadaan cuaca. Itu konon bisa menghambat usahanya. Halangan juga bisa datang dari keadaan udara yan memang begitu fatal. Atau dari seseorang yang memang menghendaki udara terus muram. "Yang pertama akan langsung membuat kita rasauya jadi berat. Sedang kalau dari orang, kita segera merasa deg-degan". Untuk Kampanye Pawang tentu saja tidak hanya menjadi kesukaan TIM. Banyak hotel-hotel mempergunakannya. Juga konperensi PATA dahulu Bahkan pembukaan Pameran Teknik Perancis pun mempersilakan seorang pawang dari Parung untuk menjinakkan udara. Jangan lupa, Golkar juga memanfaatkannya untuk kampanye. Kalau pun tidak terdaftar sebagai profesi resmi di Departemen Tenaga Kerja, toh susah payah ini mampu juga menghasilkan rezeki lumayan. Hotel sering memberi upah sekali panggil -- berhasil atau tidak berhasil - Rp 25 ribu. Perseorangan sekitar Rp 12,5 ribu sampai Rp 15 ribu. Akan hal Pak Atmo langganan TIM itu, nasibnya tidak begitu bagus. Karena TIM sudah biasa memberi Rp 2.500 saja setiap malam. Ongkos jalan dan sajen berharga sekitar Rp 600 - ditanggung sendiri. "Yah saya tidak menetapkan. Tidak dikasih kalau tidak mampu juga tidak apa-apa", katanya dengan sederhana. Maklum itu bukan pekerjaan utamanya. Ayah yang memiliki 8 putera ini, jangan main-main, bukan termasuk orang yang kekurangan. Dia seorang intelek: faham beberapa buah bahasa tidak hanya Belanda, Indonesia dan Jawa tentunya. Salah seorang puteranya bahkan dokter lulusan Gajah Mada. Asap kemenyan yang barangkali menjadi ciri khas pawang-pawang lain tidak dipergunakan Pak Atmo. Ini salah satu keistimewaannya. Pawang sebelumnya di TIM (kini sudah almarhum) malah lebih hebat. Dia tidak perlu datang on the spot. Cukup kalau yang mendambakan agar hujan diblokir, percaya bahwa hujan tidak akan turun. Lantas pawang tersebut menjamin tidak bakal ada hujan. Hanya saja ini memang, menyulitkan administrasi yang formil 'kan? Karena bagaimana akan didrop biaya sebagai honor, kalau orangnya tidak nongol? Jangan-jangan pawang tidak benar-benar dihubungi, lantas duitnya dipakai jajan si petugas. "Jadi karena orangnya harus datang, lalu saya ganti dengan bapak ini", kata seorang pihak dalam di TIM. Pak Atmo bukan tak bisa berjuang dari jarak jauh, kalau di luar TIM. Asal dia paling sedikit tahu keadaan medannya. Gedung-gedungnya, pohon-pohonnya. Artinya paling sedikit melihat sekali ke lapangan supaya mudah membayangkan. Juga ia perlu tahu pasti sekitar berapa lama diharapkan cuaca berkompromi dengan hajat. "Begitu datang, dapat dirasakan perputaran udara, dan dapat diduga kira-kira akan berhasil atau tidak", kata Pak Atmo. "Saya akan tetap di tempat meskipun basah oleh hujan, sampai saya benar-benar yakin kalau memang tidak mungkin. Baru saya beranjak". Berat Berat Selama 2 hari pertunjukan musik kedua grup Brotherhood dan Silver Train - 9 dan 10 April - Pak Atmo bekerja cukup keras. Tanggal pertama, setelah hujan sempat menghantam sorenya, malamnya tetap terjaga bagus. Sedang di hari kedua udara tambah buruk. Hujan terus mengucur, bahkan gerimis jatuh tak tertahan selama pertunjukan. Pak Atmo tak henti-hentinya mengepulkan asap Bentoel, sementara mulutnya komat-kamit, kaki dan tangannya tampak sedikit gemetar. Penonton sangat minim - tetapi pertunjukan diteruskan dalam godaan gerimis. Syukur sampai usai tidak terjadi guyuran yang berarti. Lalu orang tua ini meraih payung hitamnya dan membawanya ke luar. "Berat, berat", katanya. Diam-diam ia pergi lewat pintu belakang. Tidak ada yang mengacuhkan, orang tua ini menuju ke gerbang. Di sana telah menunggu tukang tukang becak yang sudah hafal penjinak hujan yang sederhana ini. Bagaimana bisa jadi pawang? Ia sendiri tidak tahu. Itu bangkit dan kebiasaan berdoa bersama sebelum tnelaksanakan aktivitas-aktivitas yang penting di zaman revolusi dulu. Sebagaimana biasa kini ada juga orang datang untuk maksud-maksud pribadi yang tidak dapat disetujuinya. Dalam hal ini ia menolak secara halus. Di lain waktu ada pula yang datang untuk minta maaf. Barangkali pernah membua "kesalahan" dcngan sengaja, khususnya sehubungan dengan susah-payah Pak Atmo selagi "bertugas". Tapi Pak Atmo tidak tatnpak berlagak serem. Kabarnya tidak pernah sakit. Pekerjaannya menjinakkan udara buruk di Teater Terbuka TIM memang tidak selamanya berhasil. Dan banyak yang tidak percaya kalau diceritai. Tapi dia sudah melaksanakannya bertahun-tahun, diamdiam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus