INI tak ada hubungannya dengan ramalan cuaca - yang sering
sekali tidak tepat. Bila musim hujan tiba, mereka yang
bermaksud mengadakan perhelatan, atau keramaian lain, selalu
saja merasa was-was akan bahaya dari langit yang bisa mengusir
pengunjung itu. Karena itu daripada ramal-meramal, sebagian dari
mereka ternyata lebih suka menempuh cara "inkonvensionil". Maka
dipanggillah seorang pawang.
Demikianlah Pusat Kesenian Jakarta dengan TlM-nya mempunyai
tokoh kesayangan yang selalu muncul diam-diam. Bagai pahlawan
yang tak suka menonjolkan diri, dia duduk di Teater Terbuka.
Hanya sedikit yang tahu bahwa dia bukanlah sebagian dari
penonton.
Namanya Suhardijo Atmo Purwono. Kelahiran Sentolo. Kulon Progo,
Yogya, tahun 1922. Ayahnya seorang pegawai Kraton. Sedang
kakeknya seorang pegawai Kepatihan bernama Mas Ngabehi Wonosidi
ke-IV, yang terkenal sebagai seorang penangkap harimau pada
zamannya. Tak dikisahkan berapa sudah harimau yang sempat
ditangkap Bapak Wonosidi. Tapi keberanian dan ketabahan penakluk
binatang buas itu muncul dalam diri Suhardijo dalam bentuk lain.
Masa mudanya ternyata penuh pengabdian, terutama di dunia
kesehatan. Ia termasuk ahli dalam soal penyakit paru-paru -
bahkan sempat menulis buku pelajaran tentang penyakit TBC, pada
tahun 1959. Sesudah mengembara kian kemari - termasuk menjadi
anggota DPRDS Kabupaten Semarang tahun 1955 - ia menetap di
Jakarta. Perlu dicatat ia mengasuh semacam klinik yang berjalan
terus di daerah Pedurenan.
Petunjuk Ronggowarsito
Sesungguhnya tokoh kita ini tidak begitu demen disebut pawang.
Kata itu memang memberi asosiasi klenik. Seakan-akan Suhardijo
bisa membuat hitam putih udara semaunya. "Jangan kita dianggap
dukun. Ini pekerjaan sosial yang mengabdi pada masyarakat", kata
Pak Atmo. Ia pun tentu tidak suka dianggap mengkomersiilkan
cuaca. "Kita sendiri tidak dapat menentukan. Saya hanya
melanjutkan kehendak ummat", katanya. "Sesungguhnya saya tidak
menganggap diri saya pawang. Tapi orang sudah menganggap begitu,
ya tidak apa-apa".
Karena menjadi langganan TIM, dia harus siap tempur setiap
memasuki bulan hujan. Sebelum melaksanakan tugasnya yang pertama
dalam satu bulan, ia berpuasa 3 hari. Kemudian pada hari yang
ditentukan dia menyiapkan sesajen: 2 sisir pisang raja, kembang
telon (bunga tiga warna), rokok lisong, sirih, kemenyan.
Semuanya dikunci dengan persiapan hati yang bersih.
Tapi kenapa pisang? Bukan lumpia misalnya? "Sesungguhnya itu
simbul", kata Pak Atmo. "Pisang, dalam bahasa Jawagedang.
Maksudnya agar udara jadi padang - artinya terang". Lha lumpia
itu simbul apa? Ya to?
Tidak ada mantera khusus, katanya. Karena sifat pekerjaannya itu
hanyalah doa - yang sangat serius - dengan keyakinan bahwa
akhirnya semuanya tergantung pada Tuhan yang punya mau. Adapun
soal sajen tadi, orang tua yang Islam ini mempraktekkannya dari
buku petunjuk Ronggowarsito. Sesajen serupa juga dibuat di TIM
--hati-hati: biasanya diletakkan di bawah pohon pakis di sebelah
kiri panggung Teater Terbuka.
Kretek Bentoel Rawit hampir tak putus-putusnya bertengger di
bibir orang tua ini. Ia muncul tatkala kursi masih melompong,
sementara para petugas masih asyik bergunjing atau membagi-bagi
pekerjaan sebentar lagi. Dia duduk dengan tenang di dekat menara
lampu sorot. Celakalah kalau sementara dia berkonsentrasi
memohon kebersihan udara, ada yang mengumpat-umpat keadaan
cuaca. Itu konon bisa menghambat usahanya. Halangan juga bisa
datang dari keadaan udara yan memang begitu fatal. Atau dari
seseorang yang memang menghendaki udara terus muram. "Yang
pertama akan langsung membuat kita rasauya jadi berat. Sedang
kalau dari orang, kita segera merasa deg-degan".
Untuk Kampanye
Pawang tentu saja tidak hanya menjadi kesukaan TIM. Banyak
hotel-hotel mempergunakannya. Juga konperensi PATA dahulu Bahkan
pembukaan Pameran Teknik Perancis pun mempersilakan seorang
pawang dari Parung untuk menjinakkan udara. Jangan lupa, Golkar
juga memanfaatkannya untuk kampanye. Kalau pun tidak terdaftar
sebagai profesi resmi di Departemen Tenaga Kerja, toh susah
payah ini mampu juga menghasilkan rezeki lumayan. Hotel sering
memberi upah sekali panggil -- berhasil atau tidak berhasil - Rp
25 ribu. Perseorangan sekitar Rp 12,5 ribu sampai Rp 15 ribu.
Akan hal Pak Atmo langganan TIM itu, nasibnya tidak begitu
bagus. Karena TIM sudah biasa memberi Rp 2.500 saja setiap
malam. Ongkos jalan dan sajen berharga sekitar Rp 600 -
ditanggung sendiri. "Yah saya tidak menetapkan. Tidak dikasih
kalau tidak mampu juga tidak apa-apa", katanya dengan sederhana.
Maklum itu bukan pekerjaan utamanya. Ayah yang memiliki 8 putera
ini, jangan main-main, bukan termasuk orang yang kekurangan. Dia
seorang intelek: faham beberapa buah bahasa tidak hanya Belanda,
Indonesia dan Jawa tentunya. Salah seorang puteranya bahkan
dokter lulusan Gajah Mada.
Asap kemenyan yang barangkali menjadi ciri khas pawang-pawang
lain tidak dipergunakan Pak Atmo. Ini salah satu
keistimewaannya. Pawang sebelumnya di TIM (kini sudah almarhum)
malah lebih hebat. Dia tidak perlu datang on the spot. Cukup
kalau yang mendambakan agar hujan diblokir, percaya bahwa hujan
tidak akan turun. Lantas pawang tersebut menjamin tidak bakal
ada hujan. Hanya saja ini memang, menyulitkan administrasi yang
formil 'kan? Karena bagaimana akan didrop biaya sebagai honor,
kalau orangnya tidak nongol? Jangan-jangan pawang tidak
benar-benar dihubungi, lantas duitnya dipakai jajan si petugas.
"Jadi karena orangnya harus datang, lalu saya ganti dengan bapak
ini", kata seorang pihak dalam di TIM.
Pak Atmo bukan tak bisa berjuang dari jarak jauh, kalau di luar
TIM. Asal dia paling sedikit tahu keadaan medannya.
Gedung-gedungnya, pohon-pohonnya. Artinya paling sedikit
melihat sekali ke lapangan supaya mudah membayangkan. Juga ia
perlu tahu pasti sekitar berapa lama diharapkan cuaca
berkompromi dengan hajat. "Begitu datang, dapat dirasakan
perputaran udara, dan dapat diduga kira-kira akan berhasil atau
tidak", kata Pak Atmo. "Saya akan tetap di tempat meskipun basah
oleh hujan, sampai saya benar-benar yakin kalau memang tidak
mungkin. Baru saya beranjak".
Berat Berat
Selama 2 hari pertunjukan musik kedua grup Brotherhood dan
Silver Train - 9 dan 10 April - Pak Atmo bekerja cukup keras.
Tanggal pertama, setelah hujan sempat menghantam sorenya,
malamnya tetap terjaga bagus. Sedang di hari kedua udara tambah
buruk. Hujan terus mengucur, bahkan gerimis jatuh tak tertahan
selama pertunjukan. Pak Atmo tak henti-hentinya mengepulkan asap
Bentoel, sementara mulutnya komat-kamit, kaki dan tangannya
tampak sedikit gemetar. Penonton sangat minim - tetapi
pertunjukan diteruskan dalam godaan gerimis.
Syukur sampai usai tidak terjadi guyuran yang berarti. Lalu
orang tua ini meraih payung hitamnya dan membawanya ke luar.
"Berat, berat", katanya. Diam-diam ia pergi lewat pintu
belakang. Tidak ada yang mengacuhkan, orang tua ini menuju ke
gerbang. Di sana telah menunggu tukang tukang becak yang sudah
hafal penjinak hujan yang sederhana ini.
Bagaimana bisa jadi pawang? Ia sendiri tidak tahu. Itu bangkit
dan kebiasaan berdoa bersama sebelum tnelaksanakan
aktivitas-aktivitas yang penting di zaman revolusi dulu.
Sebagaimana biasa kini ada juga orang datang untuk maksud-maksud
pribadi yang tidak dapat disetujuinya. Dalam hal ini ia menolak
secara halus. Di lain waktu ada pula yang datang untuk minta
maaf. Barangkali pernah membua "kesalahan" dcngan sengaja,
khususnya sehubungan dengan susah-payah Pak Atmo selagi
"bertugas". Tapi Pak Atmo tidak tatnpak berlagak serem. Kabarnya
tidak pernah sakit. Pekerjaannya menjinakkan udara buruk di
Teater Terbuka TIM memang tidak selamanya berhasil. Dan banyak
yang tidak percaya kalau diceritai. Tapi dia sudah
melaksanakannya bertahun-tahun, diamdiam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini