Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Delapan orang berjanggut

Teater terbuka tim 12 april lalu diisi oleh barrel house jazz band dari frankfurt. kelompok orang berjanggut yang pernah beberapa kali mengikuti festival jazz terkenal itu, tampil dengan sukses. (ms)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELASA malam, 12 April,8 orang dari Frankfurt turun di Teater Terbuka TIM. Mereka terbilang grup jazz paling gaek di kandang sendiri. Dengan menamakan diri 'Barrelhouse Jazz', mereka telah tetirah hampir ke 30 buah negara. Temmasuk mengikuti festival- festival terkenal di Nice, Wina, dan Breda. Malam itu telah membuat orang terkenang pada Harlem, New York, tahun 30-an. Terkenang New Orleans dengan penyanyi-penyanyi negro jalanan yang memainkan irama itu pertama kali. Memang sebuah nostalgia. Tetapi anak-anak muda yang datang memenuhi bangku penonton, telah ikut terperosok. Mereka bertepuk, bersuit dan menyatakan rasa suka. Sebuah sukses yang boleh membuat gembung dada Goethe Institut Jakarta - salah satu dedengkot kerepotan tersebut. Louis Amstrong "Selamat malam", kata Reimer Essen, peniup klarinet yang sekaligus pembawa acara dan pimpinan. "Kami memang memainkan musik orang Amerika dari Zaman yang lalu. tetapi musik itu telah menjadi bagian dari kebudayaan kami". Ia pun meraih klarinet, lalu Louis Amstrong bangkit kembali dari alam lain dengan musiknya yang lincah, mengalir akrab sembari memberi sentilan-sentilan. Itulah lagu berjudul You are driving me crazy - yang kendati pun jelas menyimpan watak hitam toh dapat dimainkan dengan baik oleh bule-bule ini. Ke-7 musisi yang semuanya berjanggut itu - yang satu ngumpet di belakang sebagai teknisi dan pemain bas cadangan - bermain bersih, kompak dan sopan. Semuanya memiliki kontrol yang bagus. Sementara kaki mereka tak henti-hentinya bergoyang mengikuti mat. Mungkin sekali temperamen Harlem dan New Orleans, dengan sudut-sudut kehidupan dalam kedai-kedai yang redup, lembab dan sunyi - miskin dan brutal - tidak benar-benar muncul. Tetapi teknik bermain serta kegairahan mereka untuk larut dalam musik yang hangat itu, cukup membuat mereka menarik. Dengan relaks, jauh dari formalitas - sebagaimana ciri jazz umumnya disabet juga ciptaan Duke Ellington I've got to be a rug cutter. Anda tentu tidak lupa musikus jazz kesayangan Gedung Putih yang pernah juga menunjukkan kebolehannya di Senayan itu. Penonton bertepuk riuh. Lalu von Essen, yang mengantar acara dengan bahasa Inggeri yang rapi, nyeletuk: "Hmmm. Teplik tangan anda didengar oleh Duke". Karya-karya George Lewis dan Geor ge Benson juga tidak dilupakan (antara lain Burgundy Street Blues dan Glory of lole). Seluruhnya meliputi 17 buah nomor, termasuk komposisi khusus untuk dram dan 2 buah lagu tradisionil (Bye and Bye, Rebecca). Yang paling mendapat sambutan adalah lagu I'll be glad when you're dead - dibawakan dengan sungguh-sungguh tapi penuh humor. Suara Frank Selten, meniru suara Louis Amstrong, mendapat sambutan meriah. Peniup terompet itu, mengenakan kaos merah, memang tidak sehebat Louis. Tetapi ia membuat banyak orang gembira - karena meskipun meniru Louis ia tidak kelihatan ngoyo. Apalagi kata-kata lagu tersebut memang aneh dan jadi lucu kedengaran. "Yah kami tak bermaksud apa-apa dengan kata-kata lagu tersebut. Kami hanya coba menyanyikannya", ujar von Essen dengan sopan dan rendah hati. Turun Ke Penonton Sudah dapat diperkirakan bahwa pada akhir pertunjukan penonton tidak mau pulang. Mereka bertepuk tems Biasa deh, mau tombok. Orang-orang berjanggut itu tampak sangat senang juga. Horst Schwarz, pemain sax yang eksentrik dan berapi-api, serta Hans Georg Kaluer pemain dram yang tenang tetapi sangat teliti gebukannya, tidak lelah. Bahkan sangat gembira. Kedua mereka boleh dikata menjadi bintang malam itu. Sebagai tanda suka, hadiah lagu berjudul Victory Bounch mereka tarik sambil turun ke penonton. Bayangkan alatalat tiup itu kemudian berbaris membelah penonton yang pada berdiri dan mengelu-elukan mereka dengan tepuk tangan. Ini sebuah kejutan yang bagus, mengingat sebelumnya. Semuanya bermain tenang-tenang saja. Tak berlebihan kalau para musisi itu bilang ingin kembali ke Indonesia pada kesempatan yang lain. Enak 'kan di Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus