SELASA malam, 12 April,8 orang dari Frankfurt turun di Teater
Terbuka TIM. Mereka terbilang grup jazz paling gaek di kandang
sendiri. Dengan menamakan diri 'Barrelhouse Jazz', mereka telah
tetirah hampir ke 30 buah negara. Temmasuk mengikuti festival-
festival terkenal di Nice, Wina, dan Breda.
Malam itu telah membuat orang terkenang pada Harlem, New York,
tahun 30-an. Terkenang New Orleans dengan penyanyi-penyanyi
negro jalanan yang memainkan irama itu pertama kali. Memang
sebuah nostalgia. Tetapi anak-anak muda yang datang memenuhi
bangku penonton, telah ikut terperosok. Mereka bertepuk, bersuit
dan menyatakan rasa suka. Sebuah sukses yang boleh membuat
gembung dada Goethe Institut Jakarta - salah satu dedengkot
kerepotan tersebut.
Louis Amstrong
"Selamat malam", kata Reimer Essen, peniup klarinet yang
sekaligus pembawa acara dan pimpinan. "Kami memang memainkan
musik orang Amerika dari Zaman yang lalu. tetapi musik itu telah
menjadi bagian dari kebudayaan kami". Ia pun meraih klarinet,
lalu Louis Amstrong bangkit kembali dari alam lain dengan
musiknya yang lincah, mengalir akrab sembari memberi
sentilan-sentilan.
Itulah lagu berjudul You are driving me crazy - yang kendati pun
jelas menyimpan watak hitam toh dapat dimainkan dengan baik oleh
bule-bule ini. Ke-7 musisi yang semuanya berjanggut itu - yang
satu ngumpet di belakang sebagai teknisi dan pemain bas
cadangan - bermain bersih, kompak dan sopan. Semuanya memiliki
kontrol yang bagus. Sementara kaki mereka tak henti-hentinya
bergoyang mengikuti mat.
Mungkin sekali temperamen Harlem dan New Orleans, dengan
sudut-sudut kehidupan dalam kedai-kedai yang redup, lembab dan
sunyi - miskin dan brutal - tidak benar-benar muncul. Tetapi
teknik bermain serta kegairahan mereka untuk larut dalam musik
yang hangat itu, cukup membuat mereka menarik. Dengan relaks,
jauh dari formalitas - sebagaimana ciri jazz umumnya disabet
juga ciptaan Duke Ellington I've got to be a rug cutter. Anda
tentu tidak lupa musikus jazz kesayangan Gedung Putih yang
pernah juga menunjukkan kebolehannya di Senayan itu. Penonton
bertepuk riuh. Lalu von Essen, yang mengantar acara dengan
bahasa Inggeri yang rapi, nyeletuk: "Hmmm. Teplik tangan anda
didengar oleh Duke".
Karya-karya George Lewis dan Geor ge Benson juga tidak dilupakan
(antara lain Burgundy Street Blues dan Glory of lole).
Seluruhnya meliputi 17 buah nomor, termasuk komposisi khusus
untuk dram dan 2 buah lagu tradisionil (Bye and Bye, Rebecca).
Yang paling mendapat sambutan adalah lagu I'll be glad when
you're dead - dibawakan dengan sungguh-sungguh tapi penuh
humor.
Suara Frank Selten, meniru suara Louis Amstrong, mendapat
sambutan meriah. Peniup terompet itu, mengenakan kaos merah,
memang tidak sehebat Louis. Tetapi ia membuat banyak orang
gembira - karena meskipun meniru Louis ia tidak kelihatan ngoyo.
Apalagi kata-kata lagu tersebut memang aneh dan jadi lucu
kedengaran. "Yah kami tak bermaksud apa-apa dengan kata-kata
lagu tersebut. Kami hanya coba menyanyikannya", ujar von Essen
dengan sopan dan rendah hati.
Turun Ke Penonton
Sudah dapat diperkirakan bahwa pada akhir pertunjukan penonton
tidak mau pulang. Mereka bertepuk tems Biasa deh, mau tombok.
Orang-orang berjanggut itu tampak sangat senang juga. Horst
Schwarz, pemain sax yang eksentrik dan berapi-api, serta Hans
Georg Kaluer pemain dram yang tenang tetapi sangat teliti
gebukannya, tidak lelah. Bahkan sangat gembira. Kedua mereka
boleh dikata menjadi bintang malam itu.
Sebagai tanda suka, hadiah lagu berjudul Victory Bounch mereka
tarik sambil turun ke penonton. Bayangkan alatalat tiup itu
kemudian berbaris membelah penonton yang pada berdiri dan
mengelu-elukan mereka dengan tepuk tangan. Ini sebuah kejutan
yang bagus, mengingat sebelumnya. Semuanya bermain tenang-tenang
saja. Tak berlebihan kalau para musisi itu bilang ingin kembali
ke Indonesia pada kesempatan yang lain. Enak 'kan di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini